5.1

12 4 0
                                    

Image Change

BAB 5 : Langit Cerah Yang Menjengkelkan

Bagian 1

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Sabtu, 6 Oktober 2013. Dua minggu berlalu, UTS pun sudah selesai, namun tidak dengan masalahku. Boro-boro mau memperbaiki hubungan, semenjak hari itu Aida terus menjaga jarak dariku. Kalau aku mendekat, Aida pasti pergi entah ke mana. Kalau aku panggil, Aida selalu mengabaikanku. Yang terparah sudah beberapa hari ini Aida tidak membalas SMSku, dan semenjak hari itu kami tidak berangkat bareng ke sekolah lagi. Kami masih pacaran, tapi aku merasa sudah seperti orang asing saja. Tidak ada kontak sama sekali.

"Mau sampai kapan tiduran di sofa? Tidak sekolah?"

Aku mendongak dan melihat ibu yang masih memakai piama katun berwarna hijau dengan motif kodok, rambut bangun tidur yang kusut, dan kacamata oval dengan frame tipis yang selalu dipakainya. Penampilan ibu benar-benar kacau, tapi karena wajah dan bentuk tubuh yang masih terjaga, itu semua teredam hingga terlihat biasa saja 'kalau' aku tidak tahu umurnya sudah lebih dari 30 tahun.

Tapi sayangnya aku tahu, dan aku malu melihat Ibuku yang sudah berumur ini masih memakai piama mencolok seperti itu. Dan sialanya kenapa dia cocok memakai piama itu?!

"Tidak sekolah?" tanya ibu lagi.

"Ini mau berangkat," balasku saat bangkit mengambil tas di meja.

Tidak peduli dengan jawabanku, ibu membuka kulkas dan mengambil botol air, dan kemudian dia meneguknya langsung dari botolnya. Kalau aku yang melakukan itu, pasti akan diceramahi tidak sopan lah, jorok lah, dan sebagainya sampai telingaku panas. Tapi kalau Sophia yang melakukannya, tidak akan ada yang mempersalahkannya.

Dan karena itu aku tahu hierarki rumah ini. Pertama, orang yang berada di puncak adalah Sophia. Kenapa? Itu karena Sophia selalu dimanjakan ayah dan ibu. Selanjutnya ada ibu yang bisa mengintimidasi ayah dengan mudahnya. Lalu ada ayah yang marahnya tenang namun menyeramkan, tapi ayah tidak pernah marah ke Sophia atau ibu, ayah hanya berani memarahiku. Dan tentu saja posisi terbawah, aku.

Masih mencekik botol di tangannya, ibu menghampiriku dan bertanya "ada masalah?" Aku menggeleng. "Jangan bohong, aku tahu ekspresi yang anakku buat," lanjutnya sambil mengelus kepalaku.

"Masalah apaan sih? Orang ga ada apa-apa kok," tampikku.

"Ya sudah, tapi kalau kamu berubah pikiran, hubungi Ibu. Oke?" kata ibu saat mengedipkan sebelah matanya.

Ingat umur!

"Ngapain? Lagian Ibu kan sibuk."

Ibu tersenyum kecut mendengarnya. "Seperti yang Rey bilang, Ibu memang selalu sibuk bekerja. Tapi, mau seberapa sibuk pun Ibu, kalau ada telepon dari kamu atau Sophia, Ibu pasti akan meluangkan waktu untuk kalian." Suara ibu terdengar begitu menyesal, ditambah senyum kecut yang terukir di wajahnya, itu benar-benar membuatku merasa bersalah. Ibu menarik napas dalam-dalam, lalu dia berusaha menghapus senyum kecut itu dengan senyuman yang lebih ceria. "Sabtu kamu pulang cepat kan?" lanjut ibu.

Aku mengangguk. "Jam 12 udah pulang kayanya."

"Mumpung libur, Ibu mau masak makanan kesukaan kamu," ucap Ibu dengan antusias.

"Beneran mau masak? Biasanya Ibu tidur terus kalau weekend." Ibu tersenyum sinis mendengar jawabanku.

Sial, sepertinya aku menginjak ranjau.

Saat situasiku sedang terpojok, Sophia grasah-grusuh menghampiriku dan berkata "Kak, Phia pinjam handphone dong" dengan napas yang terengah-engah. Dan entah kenapa dia masih memakai piama, dan piamanya pun sama persis seperti yang ibu pakai.

"Kau baru bangun tidur? Liat jam tuh."

"Kamu tidak tahu Rey?" tanya ibu.

"Tau apaan?"

"Sophia hari ini pergi study tour. Sophia, kamu tidak bilang?"

Sophia yang ditanya ibu malah cengengesan sambil menggaruk kepalanya seperti orang bodoh yang bilang "ehehe maaf kelupaan".

"Study tour ke mana? Bandung?" tanyaku, soalnya saat SMP aku study tour ke Bandung.

Meski namanya study tour, tapi selama dua hari semalam ga ada tuh yang namanya study. Kami hanya berkeliling taman, museum, dan tempat rekreasi. Dan parahnya para guru yang ikut membawa anak dan istri mereka, mereka benar-benar tidak memperhatikan muridnya. Jadi aku pikir daripada study tour, mungkin lebih baik dibilang pariwisata terselubung.

Tapi itu masih belum seberapa, yang paling parah adalah para pasangan yang pacaran. Saat study tour kelakuan para pasangan itu benar-benar membuatku jengkel, mulai dari berfoto sambil peluk-pelukan, suap-suapan, dan mesra-mesraan di tempat umum seperti dunia milik mereka berdua. Meledak saja kau sialan!

Intinya, pengalaman study tourku tidak ada yang bagus, hanya ada rasa kesepian dan dengki yang meluap-luap.

"Daripada itu, Phia pinjem handphone Kakak dong."

"Ha? Buat apaan? Kamu juga punya handphone kan?"

"Ada sih, tapi kameranya ga sebagus punya Kak Rey. Phia mau foto-foto sama temen Kak," ucap Sophia dengan nada memelas.

Sebenarnya aku tidak keberatan memberikan handphoneku ke Sophia, lagian tidak akan ada yang menghubungiku juga. Terlebih hubunganku sama Aida sedang renggang, dan sudah beberapa hari ini kita seperti orang asing.

"Kalo ada telepon dari nomor yang ga ada di kontak, jangan diangkat," kataku saat memberikan handphone ke Sophia.

Sophia mengangguk sambil tersenyum sumringah. "Nih, Kak Rey pegang punya Phia" ucapnya saat menyodorkan handphonenya padaku. Kalau saja dia tidak menyodorkan handphonenya, itu akan menjadi kalimat yang sangat ambigu.

"Kalau temanmu ada yang nelpon gimana? Mending pegang aja," tolakku.

Sophia menggeleng kuat. "Ga mau! Pokoknya pegang punya Phia, kita tukeran handphone!"

Melihat Sophia menolak sampai seperti itu aku hanya bisa mengalah, dengan pasrah aku mengambilnya. "Puas?"

Sophia mengangguk kuat dan berkata "nanti aku beliin oleh-oleh yang banyak Kak" sambil tertawa jahil. Dilihat dari ketawanya, sepertinya dia mau membelikan sesuatu yang tidak-tidak. Tapi ya, namanya Bandung, tidak ada hal yang buruk di sana kecuali rasa asam stroberi yang paling aku benci.

"Rey, cepat berangkat sana, nanti telat loh," tegur ibu.

Meski aku merasa seperti diusir, tapi aku tetap mengikuti perintah ibu. Soalnya jam di dinding sudah menunjukan pukul 6:49, kalau tidak buru-buru aku pasti bakalan telat. "Aku berangkat Bu," pamitku.

"Ya, hati-hati di jalan Rey."

Begitu aku membuka pintu, aku ingat belum pamitan dengan ayah. Tapi sepertinya ayah masih belum bangun, jadi lebih baik aku berikan ucapan spesial saja. Aku membuka pintu lebar-lebar, lalu berkata "aku berangkat Ayah, semoga mimpi indah~" sambil membanting pintu sekeras mungkin.

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang