5.3

10 3 0
                                    

Image Change

BAB 5 : Langit Cerah Yang Menjengkelkan

Bagian 3

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Bel yang menandakan jam pelajaran keempat berakhir berbunyi, waktunya istirahat pun tiba. Kelas lain sudah gaduh dengan langkah kaki yang berbodong-bondong menuju kantin. Dan sepertinya kelasku juga sudah tidak sabar, mereka sudah bersiap-siap seperti atlet yang menunggu aba-aba.

"Sepertinya cukup sampai di sini, kita lanjutkan dipertemuan berikutnya," kata Bu Melati. Semua orang sudah setengah berdiri bersiap untuk bangun. Namun, saat hendak keluar langkah Bu Melati terhenti, dan mereka semua kembali duduk. "Oh iya, nanti jangan pulang dulu. Sepulang sekolah kita ada pemilihan OSIS," lanjut Bu Melati sebelum benar-benar pergi.

Soal pemilihan OSIS sebenarnya sudah diumumkan sejak dua minggu yang lalu, tapi sepertinya banyak orang yang lupa. Hampir seisi kelas mengeluh karena tidak bisa langsung pulang, padahal satu-satunya hal yang ditunggu dari hari sabtu cuma jam pulangnya yang cepat. Dan ya, sebenarnya aku juga kecewa, tapi mau bagaimana lagi?

"Cuy, ke kantin yok!" Mendengar ajakan Andika, Favian dan Rifki bangkit.

"Kamu ikut ga Rey?" tanya Favian.

"Maaf, kayanya aku pass dulu."

"Begitu ya..." ucap Favian setelah melirik Aida yang berjalan keluar kelas.

"Udah, udah, jangan ajak dia. Dia mah bucin!" celetuk Andika saat merangkul Favian dan Rifki keluar.

Aku tidak tahu apa itu 'bucin', tapi aku yakin kalau Andika sedang mengejekku. Dan entah kenapa kata itu membuatku kesal, padahal aku tidak tahu artinya. Sepertinya aku harus mencari tahu apa arti kata 'bucin', tapi nanti, soalnya sekarang aku harus melakukan sesuatu.

Tidak ingin kehilangan jejak, aku bergegas menyusulnya. "Aida..." panggilku.

Aida tidak menghiraukan panggilanku, tapi teman sebangkunya menyetop Aida dan berkata "coba ngomong aja dulu, kasian tahu."

Aku hargai bantuanmu, tapi aku tidak perlu kasihanmu. Thank you!

Aida mengambil napas dalam-dalam, lalu membalikan badannya. "Apa?" kata Aida sambil memalingkan matanya dariku.

"Bisa kita cari tempat buat ngomong?" Aida mengangguk.

"Kalau begitu aku ke kantin duluan deh." Teman sebangku Aida mengatakan itu sambil mengedipkan sebelah matanya seakan bilang "semoga berhasil~".

Di parkiran hanya ada kami yang saling berhadapan, dan entah kenapa situasi ini membuatku berdebar, perasaan ini sama seperti waktu itu, saat aku menembak Aida. Tapi sayang suasananya berbeda, tidak ada mata yang menatap lurus kepadaku, dan tidak ada senyuman yang terukir di wajahnya. Sekarang hanya ada ekspresi datar dengan mata yang terus dipalingkan dariku.

"Aku sudah menjelaskan kalau aku meminta nomor Mutia bukan untukku, tapi untuk Rifki, kan?" Aida mengangguk, aku melanjutkan "terus kenapa kamu menjaga jarak dariku?" Aku menunggu beberapa saat, namun Aida tetap bungkam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. "Kalau kamu diam, aku tidak tau ken-." Aku terbungkam saat Aida menatapku, tapi itu bukan tatapan yang biasa dia diberikan kepadaku. Itu sesuatu yang lain, sesuatu yang aku tidak tahu apa.

"Tenang saja, sebentar lagi berakhir kok," ucap Aida lirih dengan senyum hampa.

Tidak perlu aku, siapa pun yang melihatnya pasti sadar kalau senyum yang Aida buat saat ini adalah senyuman hampa. Dan aku bertanya-tanya apa maksudnya "sebentar lagi berakhir"? Dan kenapa Aida membuat senyuman seperti itu?

"Apa yang sebentar lagi berakhir?"

Setelah itu aku berberapa kali mengulangi pertanyaan yang sama, namun Aida tidak pernah membuka mulutnya lagi, dia membisu layaknya patung yang tak dapat berbicara. Kami hanya saling menatap dalam hening. Tapi, tak lama kemudian keheningan itu dihancurkan oleh suara ketus yang memanggilku.

"Rey!" Aku melihat Leisha menghampiri kami. "Bisa kita bicara sebentar?" lanjut Leisha dengan santainya.

Leisha, bisa kah kau membaca suasana?!

Aida menatap tajam Leisha, sedangkan Leisha yang mendapat tatapan itu malah tersenyum seperti tidak ada apa-apa. Dan dengan santainya dia berkata "Kalian udah selesai kan? Soalnya dari tadi aku lihat kalian diam aja."

Memang benar kami tidak berbicara, tapi itu bukan berarti urusan kami sudah selesai bukan? Dan sebenarnya sejak kapan kau melihat kami?!

Aida yang sedari tadi bungkam membuka mulutnya. "Ya, urusanku sudah selesai." Setelah mengatakan itu Aida melengos pergi meninggalkanku bersama si Ratu Es.

Sebenarnya aku ingin mengejarnya, tapi dilihat dari sikapnya yang barusan, sepertinya itu hanya akan menjadi usaha yang sia-sia. Meskipun aku mengejar, aku yakin Aida tidak akan mendengarkanku. Selain itu, aku juga tidak bisa meninggalkan Leisha yang sudah mencariku sampai ke sini.

Sama seperti biasa, penampilannya tidak ada yang kurang. Kulitnya yang seputih susu, bibir merah muda, dan wajah cantiknya yang seperti boneka. Kalau ada kekurangan, itu pasti hidungnya yang tidak terlalu mancung dan tubuhnya yang slender, alias tepos.

"Eh? Mana kacamatamu?" tanyaku begitu sadar tidak ada kacamata yang nangkring di hidungnya yang tidak terlalu mancung itu.

"Ada, kenapa?"

"Emangnya kacamatamu cuma buat gaya ya?"

Tanpa menjawabanya Leisha membuat ekspresi seakan berkata "apa kau bodoh? Mana ada kacamata minus buat gaya? Dasar udik!"

Sebelum Leisha menjawab, aku melanjutkan "maksudku, memangnya kamu bisa melihat tanpa kacamata?"

"Oh, hari ini aku pakai lensa kontak."

"Kenapa?" Saat kutanya itu Leisha terlihat berpikir keras, dia bahkan sampai mengerutkan alisnya, padahal saat pelajaran matematika saja dia tidak pernah melakukan itu. Apa sebegitu sulitnya pertanyaanku?

"Suasana? Tidak, lagi mau aja? Mungkin?" balas Leisha dengan nada yang meragukan. "Apa aku terlihat aneh?"

"Aneh? Ya enggak lah..." lagian mana mungkin Leisha bisa terlihat aneh hanya karena melepas kacamata? Bahkan kalau dia rubah penampilan seperti apa pun, aku yakin dia bakalan cocok-cocok aja, "hanya saja, aku agak pangling."

"Mana yang lebih cocok, pakai lensa kontak atau kacamata?"

"Ha? Daripada itu, bukannya kamu mau ngomongin sesuatu?" Leisha memberikanku tatapan dingin, tanpa perlu berbicara saja aku tahu kalau Leisha memaksaku menjawab pertanyaannya. "Aku sudah terbiasa melihatmu pakai kacamata, jadi aku pikir kamu lebih cocok pakai kacamata. Puas?"

Leisha mengangguk kuat. "Good, it's not that hard right? And how about their progress?"

Begitu ya, jadi Leisha mencariku mau menanyakan kemajuan hubungan Mutia dan Rifki. "Don't worry, everything's alright." Tunggu, kenapa aku ikut-ikutan pakai Bahasa Inggris? Ah, masa bodoh lah.

"I see... Well then, see you Rey," pamit Leisha.

"Wait, you not asking me to vote you on election?"

"Why should I do that?" balas Leisha penuh percaya diri, "I've given all my ideas, so, I'll leave it to you."

Ah... Aku lupa, Leisha itu orang yang seperti itu. Dia tidak pernah meminta seseorang untuk memilihnya, tapi dia membuat semua orang memilihnya karena pidato yang dia lakukan. Terlebih visi dan misi yang Leisha gunakan untuk berpidato sangat logis dan realistis, aku yakin akan ada banyak yang memilihnya.

Hanya saja, aku khawatir dengan lawan Leisha di pemilihan kali ini. Kalau saja lawannya bukan 'dia', kemenangan Leisha pasti sudah 100 persen. Semoga saja apa yang aku takutkan tidak terjadi.

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang