Saat ini aku sedang berdiri di samping patung kolonel penjual ayam goreng yang serba putih, bahkan rambut dan janggutnya juga putih. Dan yang paling aku bingung kenapa seorang kolonel menjual ayam goreng? Dasar kolonel kurang kerjaan.
Oke, itu tidak penting. Aku melihat gadis yang setengah berlari menghampiriku dengan rambutnya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti langkah kakinya, gaun one piece putih selutut dengan pita biru di dada, kardigan berwarna biru muda, dan flat shoes putih melengkapi penampilannya. Selagi berlari pita itu naik dan turun seperti sedang maniki wahana, mataku tidak bisa berpaling. Tidak, aku ingin kalian paham, aku tidak melihat dadanya, aku hanya salut dengan kualitas pita itu. Sumpah!
"Maaf... aku telat..." ucap Aida dengan napas yang terengah-engah. "Kamu pasti menunggu lama ya?" lanjut Aida dengan wajah yang khawatir.
Aida pasti takut aku marah, padahal dia hanya telat 5 menit. Sebagai lelaki sejati, aku tidak bisa marah hanya karena masalah seperti sepele ini. "Tidak, aku juga baru sampai kok," kataku dengan senyum lembut untuk membuatnya lebih tenang, padahal aslinya aku sudah datang hampir satu jam yang lalu.
Mendengar balasanku ekspresi Aida kembali cerah. "Kalau begitu ayo kita masuk." Aida mengucapkan itu dengan penuh semangat dan menarik tanganku. Tangannya lebih kecil dariku, halus dan lembut, ini pertama kalinya aku memegang tangan seorang gadis selain Sophia. Dan ini membuatku sedikit berdebar. "Rey, kita mau ke mana dulu?" Kenapa Aida bertanya padaku? Padahal dia yang menarik tanganku. Aida kadang bertingkah sangat bodoh, tapi itulah yang membuatnya lucu.
"Kita pesan tiket bioskop dulu, setelah itu baru kita berkeliling. Oke?" Aida mengangguk, melambatkan langkahnya hingga kami berjalan berdampingan. Tangan kami menyatu, jemariku terkait di antara sela-sela jemarinya, dan kehangatan dari tangannya entah mengapa membuatku merasa tenang. Aku merasa seperti bocah yang digandeng oleh orang tuanya, padahal orang tuaku saja jarang sekali menggandeng tanganku. Sial, itu membuatku sedih sendiri kalau mengingatnya.
Kami sampai di lantai teratas, tempat bioskop berada. Sepanjang jalan menuju bioskop terdapat deretan lightbox yang menampilkan poster film yang akan diputar, mulai dari yang romantis, hingga yang sadis. Dan nampaknya Aida tertarik dengan poster suram yang memperlihatkan sebuah pohon besar dengan rumah tua di belakangnya.
"Mau nonton film ini?"
"The Conjuring ya..." gumamku membaca judul poster suram itu. Ini adalah film yang sedang hype di barat, yang katanya cukup seram. Andai kami menonton film ini, lalu ada adegan seram hingga Aida memelukku karena ketakutan, maka itu akan menjadi hal yang bagus. Namun sayangnya aku tidak percaya diri untuk bisa tetap tenang, parahnya lagi bagaimana jikalau aku yang menjerit?
"Anu... Sebaiknya kit-" Mulutku terhenti melihat ekspresi Aida yang memelas. Kalau dia memperlihatkan wajah seperti itu mana mungkin aku bisa menolaknya. "O-oke! Kita nonton film itu!" Meskipun aku lebih memilih menonton Frozen atau Monster university.
Mendengar balasanku Aida mengembalikan wajah memelasnya menjadi sumringah dalam sekejap. "Kalau begitu ayo kita beli tiketnya sebelum tempat yang bagusnya habis." Aida menarik tanganku hingga kami berdiri di barisan antrean. "Rey, kamu pernah nonton bioskop sebelumnya?"
"Apa-apaan pertanyaan itu? Meledekku?"
"Bukan bukan, aku tidak meledekmu." Aida mengibaskan tangannya berusaha menyangkal tuduhanku. "Aku... Aku hanya ingin tahu saja."
"Tentu saja aku pernah, memangnya kenapa?"
"Saat itu kamu nonton sama siapa? Perempuan?"
Aku mengangguk. Secara teknis Sophia itu perempuan, jadi aku tidak berbohong. "Kamu sendiri pernah nonton sebelumnya?"
Aida menggeleng malu-malu, "Ini yang pertama." Aida mengucapkan itu dengan wajahnya yang bersemu merah hingga ke telinga. Melihat reaksi dan balasan manis itu tentu saja membuatku berdebar, aku tidak menduga kalau seorang gadis bisa seperti ini. Aku pikir semua gadis sama seperti adikku yang menjengkelkan.
"O-oh... Begitu kah."
Setelah itu suasana kami menjadi sangat canggung. Aida terus malu-malu melirik ke arahku, sedangkan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sampai kami selesai memesan tiket tidak ada percakapan lagi di antara kami, hening, seperti ninja.
"Anu... A-ayo kita berkeliling."
Saat aku mengatakan itu, genggaman Aida semakin kuat, lalu dia menyeretku turun ke lantai bawah dan membawaku ke lorong yang sepi. Aku menengok kiri dan kanan, tidak ada orang yang mau lewat lorong ini. Terlebih gerai di lorong ini masih banyak yang tutup, padahal sudah jam 10.
Aida berhenti dan berbalik menghadapku. "Ada apa? Ngapain kita di sini?" tanyaku.
"Rey..." Aida menggenggam kedua tanganku, "ini terlalu lama. Mau sampai kapan seperti ini terus?"
"Apa maks-." Aida mendekatkan tubuhnya hingga dadanya menekan tubuhku. Lembutnya~
"Ini sudah sebulan, apa kamu ingin aku yang mengucapkannya?" Aida mendongak dan memasang wajah memelas. Aku bukan orang yang tidak peka, malah aku sangat peka akan sesuatu. Aku juga paham apa yang Aida inginkan, tapi aku masih belum yakin dengan diriku sendiri.
"Rey!"
"Oke oke, aku paham." Aida mundur beberapa langkah dan melepaskan tanganku.
Ayo Rey, ini tidak sulit. Hanya empat kata, lalu semuanya akan jelas.
"Aida... Ma-maukah kamu..." jantungku serasa ingin loncat dari mulut, "menjadi..." satu kata lagi, berjuanglah aku! "... pacarku?" Tamat sudah, aku mengatakannya. Aku baru saja mengatakannya!
Aku memejamkan mata, aku tidak berani melihat ekspresi Aida. Karena dari ekspresi saja aku bisa tahu apa yang akan Aida katakan, apa dia menolakku atau menerimaku. Meskipun aku pikir chanceku diterima cukup besar, tapi kemungkinan untuk ditolak juga masih ada. Dan bisa saja Aida memaksaku mengatakan ini agar hubungan kami jelas seperti apa, hingga dia bisa mendekati orang yang dia suka.
Sial, perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba saja aku ditubruk oleh sesuatu yang hangat dan lembut. "Ya, aku mau. Tentu saja aku mau!" Aida memelukku dengan erat, aku bisa merasakan sesuatu yang lembut menekan tubuhku.
"Eh? Serius?" Aida mengangguk kuat. "Sumpah demi apa?!"
Aida melepaskan pelukannya. "Kdamu pikir aku mau memeluk orang yang tidak aku suka?" ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.
Apa-apaan makhluk manis ini? Kalau menculik bukan tindakan kriminal, aku pasti sudah membawanya pulang!
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja... Aku masih tidak percaya kamu mau berpacaran dengan orang sepertiku."
"Kamu terlalu merendah Rey. Asal kamu tahu saja, kamu itu cukup populer di kalangan para gadis, makanya..." Aida menundukkan kepala sambil memainkan rambutnya, "makanya aku ingin cepat-cepat memastikan hubungan kita. Aku tidak ingin kamu diambil yang lain," lanjutnya dengan telinga yang memerah.
Barusan itu kata-kata yang sangat memalukan, aku salut Aida bisa mengucapkannya. Kalau aku jadi dia, aku pasti tidak akan bisa mengucapkannya. Kenapa? Karena aku ini pengecut. Alasanku mengincar Aida juga tidak kalah menyedihkan. Aku memilih Aida karena aku pikir lebih sedikit pesaing dan mudah untuk didapatkan, bukan karena suka atau tertarik.
Meski aku sudah tahu ini dari awal, tapi tetap saja, aku ini benar-benar seorang bajingan. Apa aku pantas menerima perasaan Aida?
"Rey? Kamu ga apa-apa?"
"A-ah, aku tidak apa-apa kok. Ayo kita berkeliling."
"Beneran ga apa-apa?"
Perasaan bersalah menyeruak memenuhiku, padahal seharusnya aku senang bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Masa sekolah yang normal, memiliki seorang pacar, dan menikmati asam manis percintaan. Tapi entah kenapa aku tidak bisa menemukan rasa senang itu, yang ada hanya rasa bersalah karena sudah memilih Aida dengan alasan yang sangat bodoh.
"Ya, aku tidak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Image Change [COMPLETED]
RomanceRey Razak memiliki tubuh yang gempal, saat SMP dia dijauhi dan dijadikan bahan ejekan oleh orang-orang sekitarnya. Karena itu, Rey memutuskan untuk merubah bentuk tubuhnya. Setelah UN, dia menggunakan waktu itu untuk diet ketat dan berolahraga agar...