5.4

12 3 0
                                    

Image Change

BAB 5 : Langit Cerah Yang Menjengkelkan

Bagian 4

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Seharusnya aku sudah pulang dari tadi, tapi karena pemilihan OSIS, aku masih tertahan di sekolah. Dan parahnya pemilihan dilakukan bergiliran mulai dari kelas 12, 11, dan 10, yang artinya kelasku mendapatkan giliran terakhir. Itu saja sudah membuatku down, tapi masih ditambah lagi dengan urutan absenku yang paling buncit. Sial!

Setelah menunggu giliran hampir dua jam, akhirnya giliran kelasku tiba. Kami pergi ke lapangan- tempat pemilihan sambil membawa kartu pelajar kami. Dan kami mengantri di tempat pengambilan kartu suara berurutan dengan absen.

Aida yang urutan absen ke empat langsung mengambil kartu suara dan membawanya ke bilik pemilihan yang ada di tengah lapangan. Bilik pemilihan terbuat dari kardus. Tidak, aku tidak keberatan dengan bilik kardus, yang jadi masalah di sini biliknya terlalu sedikit, hanya ada empat. Makanya pemilihan berlangsung sangat lama.

Setelah memilih, Aida memasukan kartu suara ke dalam kotak suara. Dan sebelum keluar Aida mencelupkan jarinya ke dalam tinta sebagai penanda kalau dia sudah memilih.

Hingga akhirnya giliranku pun tiba. Aku mengambil kartu suara dari panitia yang sedari tadi duduk ditemani oleh teriknya matahari, bajunya basah kuyup dengan keringat, dan ekspresinya benar-benar tersiksa. Terima kasih atas kerja kerasnya! Pujiku menghargai panitia yang malang itu.

Tanpa berlama-lama aku berjalan ke bilik pemilihan dan membuka kartu suara. Di kartu suara ada empat kandidat calon OSIS, namun yang membuatku tertarik hanya dua. Leisah Yaneza kelas 10-Bilingual, dan Ahmad Faqih kelas 11-IPS 1. Dan aku pikir orang yang akan menjadi hambatan kemenangan Leisha ya dia, Ahmad Faqih.

Kesanku terhadap Ahmad Faqih cukup kuat, padahal waktu SD aku berada satu angkatan di bawahnya, namun aku sangat tahu kalau sosok Ahmad Faqih seperti apa. Dibilang pintar ya tidak, dibilang bodoh juga tidak. Namun, dia sangat pandai memanupulasi kerumunan, dia juga disukai banyak orang karena pribadinya yang ceria, disiplin, luwes, dan tidak memilih-milih saat bergaul.

Andai Leisha kalah dipemilihan ini. Maka moral, reputasi, dan persona seorang Ahmad Faqih lah yang menjadi penyebabnya. Karena mau seberapa tinggi ilmu dan kemampuan Leisha, kalau dia tidak diakui maka semuanya hanyalah hiasan kosong. Tapi, aku tidak akan pernah menyangkal kemampuan seseorang hanya karena aku tidak suka dengan orang itu. Apa pun alasannya.

Setelah membuat pilihan, aku memasukan kartu ke dalam kotak suara, mencelupkan jari ke dalam tinta dan kembali ke kelas untuk mengambil tas. Kelas sudah kosong, hanya ada tasku yang berada di atas meja. Tidak mau berlama-lama lagi, aku pergi ke parkiran untuk mengambil sepeda.

Parkiran sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan dan sepeda keranjangku saja. Namun, saat aku sudah dekat, aku melihat sebuah kertas? Tidak, itu sebuah amplop berada di dalam keranjang sepedaku.

Aku menengok kiri dan kanan, tidak ada siapa pun. Tanpa pikir panjang aku langsung membukanya, dan isi amplop itu selembar kertas bertuliskan "CEK LAB KIMIA". Tapi bukan tulisan tangan, tulisan itu dicetak melalui komputer. Kalau orang ini cuma iseng, aku hargai usahanya karena niat banget mencetak selembar kertas hanya untuk hal konyol seperti ini.

Mengikuti perintahnya, aku pergi mengecek Lab Kimia. Dari dekat lab aku bisa mendengar suara tawa yang sangat aku kenal, suara yang belakangan ini jarang aku dengar, tapi tidak mungkin aku salah mengenalinya. Pelan-pelan aku mengintip jendela yang tidak tertutupi gorden, dan benar saja, itu suara tawa Aida. Aida bersama seorang lelaki, duduk bersebelahan, bercanda dan tertawa. Tidak seperti saat bersamaku.

Mungkin ini yang Aida maksud "sebentar lagi akan berakhir", yaitu akhir dari hubungan kami. Aida pasti berencana memutuskan hubungan kami saat dia sudah berpacaran dengan lelaki itu.

Dan tiba-tiba saja mataku bertemu dengan mata lelaki itu, lalu lelaki itu tersenyum. Jelas itu bukanlah senyum kebetulan, itu senyum meledek yang dia lontarkan kepadaku.

Aku mendobrak pintu lab, Aida terlihat kaget bercampur panik, namun lelaki itu tetap tenang dan berkata "selamat datang! Gimana rasanya memergoki pacar sendiri mojok sama orang lain?" ucapnya dengan nada yang benar-benar menjengkelkan. Aku hanya bisa tersenyum getir. Lelaki itu bangkit, lalu berjalan menghampiriku dan berbisik "gimana rasanya punya pacar kaya dia? Udah lu ap-."

"BISA DIEM GA?!" bentakku, "Aida bukan perempuan murahan seperti itu. Ya kan, Aida?" Aida memalingkan wajahnya dariku. "Apa-apaan reaksi itu... Jangan bilang kamu sama seperti apa yang dia bilang?"

Aida malah menundukkan kepala, dia sama sekali tidak menyangkalnya. Aku tidak percaya, dan aku tidak ingin mempercayai apa yang lelaki itu katakan. Tapi sayangnya respons yang Aida berikan membuatku mempercayai ucapannya, dan itu benar-benar membuatku kecewa.

"Begitu ya..." gumamku pasrah.

"Kau tidak marah Aida melakukan ini kepadamu?"

"Tentu saja aku marah... Tapi, aku juga salah karena tidak bisa memahami siapa Aida. Dan kau, kau mendekati Aida meskipun kau tau Aida sudah punya pacar, kan?"

Lelaki itu mendengkus dan tersenyum meledek.

Sial! Ini benar-benar sakit. Apa pacaran selalu sesakit ini?Kalau iya, aku lebih memilih tidak pacaran.

"Aida..." sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan hubungan ini, "aku ingin kita putus" dengan begitu asam manis percintaanku berakhir.

Tidak ada balasan atau respons dari Aida, dia hanya menunduk diam, dan itu benar-benar membuatku jengkel. Tidak ingin melihat kedua orang itu lebih lama lagi, aku bergegas pergi sebelum emosiku meledak. Tapi, aku juga tidak bisa langsung pulang. Kalau aku pulang sekarang, aku hanya akan melampiaskan kekesalanku pada orang sekitarku, dan aku tidak mau itu. Terlebih di rumah ada ibu dan ayah, aku tidak mau merusak liburan mereka.

Dan sebenarnya siapa orang yang menaruh amplop ini di sepedaku? Dan kenapa dia melakukan itu? Tapi, ada kemungkinan yang menaruh amplop ini adalah lelaki itu. Soalnya saat mata kami bertemu, dia tidak terlihat kaget atau panik. Bahkan saat aku mendobrak pintu dia tetap tenang dan sempat melontarkan ejekan kepadaku. Namun sayangnya itu hanya tebakanku saja, aku tidak bisa membuktikannya. Sial!

Aku meremas amplop itu dan membuangnya ke tempat sampah. 

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang