5.5

10 4 0
                                    

Image Change

BAB 5 : Langit Cerah Yang Menjengkelkan

Bagian 5

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Aku melamun melihat penghitungan suara di lapangan, waktu juga sudah berlalu cukup lama semenjak aku melongo layaknya orang bodoh. Tapi, gejolak yang ada di dalam diriku tidak ada tanda-tanda akan mereda, yang ada malah semakin parah.

Tidak nyaman berdiam diri, aku coba menggerakan tubuh dengan berkeliling sekolah. Kenapa? Karena aku pernah dengar kalau peredaran darah yang lancar akan membuat pikiran lebih jernih. Namun, seberapa pun aku bergerak, tidak ada perubahan sama sekali. Pikiran dan emosiku masih menyangkut di sana, hingga aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini. Semuanya menjadi tidak penting.

Dan saat aku sudah tidak peduli dengan semuanya, aku mendengar suara yang menghentikan langkahku. Suara isak tangis yang begitu pelan, hampir tidak terdengar, aku bahkan ragu apa benar itu suara tangisan atau bukan. Selain itu, lingkungan sekolah sudah sepi, dan semua murid terfokus ke lapangan untuk melihat penghitungan suara.

"Jangan bilang suara hantu?" gumamku, "enggak enggak, mana mungkin ada hantu?" lanjutku sambil menggelengkan kepala berusaha menyangkal ucapanku sendiri.

Tapi setelah beberapa langkah aku berjalan, isak tangisnya terdengar semakin jelas. Dekat, tidak jauh dari posisiku. Aku memfokuskan telingaku mengikuti suara tangis lirih itu, hingga akhirnya aku berdiri di depan sebuah pintu. Pintu yang setiap hari aku lewati, dan kelas yang setiap hari aku masuki. Ya, kelas 10-6.

Dan dari celah kecil pintu yang terbuka aku melihat seorang gadis terduduk di lantai, dia menyandarkan punggunya di dinding sambil memeluk lututnya dengan begitu erat, dan di tangan kirinya ada sebuah kacamata yang belakangan ini sering aku lihat. Ditambah rambutnya yang bermodel bob, aku yakin tebakanku tidak akan salah. Dia itu Cerberus penjaga gerbang neraka, alias preman yang terkurung di dalam tubuh seorang gadis. Asiana.

Sialnya, begitu aku mengetahui kalau suara isak tangis itu bukan suara hantu, handphoneku berdering. Dan sepertinya aku yang akan menjadi penunggu kelas ini, aku pasti akan dihajar habis-habisan sama Asiana karena mengintip dia menangis.

Asiana yang mendengar deringku terkesiap dan berlari membuka pintu. Wajah Asiana sangat kacau dengan air mata yang membasahi seluruh pipinya, matanya juga sembap dan memerah. Tapi! Itu tidak berarti apa-apa, Asiana dengan wajah seperti itu langsung menarik kemejaku hingga satu kancingku copot dan memelintir lenganku ke belakang.

"Sejak kapan kau di sini?" tanya Asiana saat mendorongku ke tembok. Gerakan yang dia lakukan seperti polisi yang meringkus kriminal, dan kriminalnya itu aku. Sialan!

"Barusa-."

"Jawab jujur!" bentak Asiana.

"Barusan! Sumpah demi Tuhan!" teriakku sekuat tenaga. Kalau aku tidak melakukannya sekaut tenaga, Asiana pasti tidak akan mempercayainya.

Pelintiran Asiana mulai melemah, tapi dia tidak melepaskanku. "Jadi sedang apa kau di sini?"

"Ha? Ini lingkungan sekolah. Mau aku di mana, mau apa juga bukan uru- Aaaa, sakit, sakit, sakit!"

Asiana memelintir lenganku sebelum aku selesai berbicara. "Makanya jawab yang benar!"

"Aku sudah jawab pertanyaanmu, mau kamu kira benar atau tidak ya terserah. Tapi sekarang giliranku bertanya, ngapain kamu di sini?" Asiana melepaskan pelintirannya, lalu mengusap wajahnya yang kotor dengan air mata di bajuku.

Oi! Seenak udel aja ngelap muka di baju orang!

Asiana mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. "Enggak, enggak ada apa-apa kok," balas Asiana seperti orang bodoh yang mencoba mengelak saat semuanya sudah terbongkar.

"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kamu menangis dan terduduk di sana?" kataku saat menunjuk tempat di mana Asiana terduduk. Asiana mencoba membuka mulutnya, "tidak ada gunanya juga mengelak, terlebih untuk apa mengelak? Kalau memang iya, lalu apa? Kamu malu karena aku melihatmu menangis?" Asiana memalingkan wajahnya dariku. "Kenapa harus malu? Kamu itu perempuan- tidak, lelaki juga wajar untuk menangis. Lagi pula menangis itu respon fisik dari gejolak emosi yang dirasakan oleh seseorang. Jadi malu karena menangis itu adalah hal yang sangat konyol."

"Kau tidak akan mentertawakanku?" ucap Asiana lirih.

"Ya, enggak lah. Buat apa aku mentertawakan seseorang yang sedang bersedih? Apa aku terlihat seperti orang yang tidak tahu tata krama di matamu?"

Asiana menggeleng, lalu menatapku sambil berkata "kalau kau mentertawakanku, aku pasti akan menghajar kau sampai kau lupa ingatan."

Asiana membuatku merinding saat mengatakan kalimat yang mengerikan seperti itu dengan santainya.

"Uhum! Daripada itu, di mana kamu belajar pelintiran tadi? Sakit banget gila."

"Oh... Dulu pas SMP aku memegang sabuk hijau Pencak Silat."

Aku ini bukan orang yang menekuni bidang olahraga, tapi kalau tidak salah aku pernah baca kalau sabuk hijau itu berada di tingkat yang lumayan tinggi. Meskipun aku tidak tahu apa arti dari warna sabuk itu.

"Apa karena itu juga kamu ditakuti para lelaki?"

"Mungkin? Lagian aku enggak pernah benar-benar berkelahi dengan lelaki sebelumnya. Aku hanya pernah adu tanding saja."

"Yang menang?"

"Tentu saja aku, aku membanting dia dalam lima gerakan," jawab Asiana sambil tersenyum sumringah. Sekarang sudah jelas kenapa Asiana ditakuti. Dia ditakuti bukan hanya karena kekuatan preman yang terkurung di dalam tubuhnya, tapi Asiana juga ditakuti karena ilmu bela dirinya. "Rey..." panggil Asiana lirih, "boleh aku curhat?"

"Yakin mau curhat denganku?" Asiana mengangguk, "kamu tidak takut aku membeberakan curhatanmu?"

"Enggak. Kalau kau membeberkannya, aku hanya perlu menghajar kau. Mudah kan?"

Dasar gadis barbar!

"Kalau aku menolak?" sebelum Asiana menjawab aku melanjutkan, "jangan bilang kamu akan menghajarku juga?"

Asiana tersenyum sinis seakan berkata "cih, ketahuan ya?"

"Oke, oke! Aku akan dengerin curhatanmu!"

Lagi, handphoneku berdering.

"Angkat aja," kata Asiana.

Menuruti perintahnya aku mengambil handphoneku yang ada di tas, dan kemudian mengangkatnya.

"Phiiiiaaa~ Ayah kangen! Pas Ayah libur Phia malah Study Tour, Ayah kesepian tahu~"

Suara ayahku yang agak berat sangat tidak cocok berkata begitu, dan apa-apaan nada manja barusan? Apa ayah selalu seperti ini saat menelepon Sophia?

"Aku tidak bermaksud mengganggu kesenangan Ayah, tapi aku dan Sophia sedang bertukar handphone."

Aku mendengar suara decakan lidah dari balik telepon, lalu"oh, kamu Rey" ucap Ayah dengan nada yang datar, berbeda sekali dengan yang sebelumnya. "Ngomong-ngomong kamu lagi di mana? Ibu nyariin kamu, katanya kamu pulang cepet, tapi jam segini belum pulang juga."

"Er... Aku lupa bilang ke Ibu kalau hari ini ada pemilihan OSIS."

"Pemilihannya masih lama?"

"Enggak, ini sudah penghitungan suara. Sebentar lagi aku pul-."

Tut, tut, tut, tut.

Ayah menutup teleponnya, padahal aku belum selesai berbicara. Perbedaan sikap yang ayah berikan kepadaku dan Sophia memang menyebalkan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku ini anak tertua, jadi mana mungkin aku merengek minta dimanja.

"Siapa?" tanya Asiana begitu aku menutup telepon.

"Tidak penting, daripada itu kamu ingin curhat soal apa?"

Asiana memakai kacamata, lalu duduk di atas meja sambil memeluk lututnya. "Aku ingin menceritakan soal hubunganku dengan Moreno."

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang