"ask yourself, are you alive or just breathing?"
"Kalian ingat Park Siyeon?" tanya Ningning kepada ketiga sahabatnya.
"Ah, si sosiopath gila itu?" ucap Giselle yang mengemudikan mobil sportnya.
Karina terdiam mendengar nama Siyeon disebutkan. Katakanlah masa lalunya buruk dengan Siyeon, gadis itu penyebab Karina tidak memiliki teman, bersyukurlah Giselle, Ningning dan Winter menyelamatkannya. Setidaknya begitulah dimatanya.
"Aku masih dendam pada gadis itu" titah Winter dengan raut wajah marahnya
"Kalian tau" Ningning membalikkan badannya. "Adikku mendaftar kelas ballet, dan yang mengejutkan Siyeon ada disana mengajar ballet. Dia pikir dia siapa berani mengotori tempat itu, ibuku langsung mengeluarkan Ella dari kelas itu." jelas Ningning pada sahabatnya
"Aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi ibumu" ucap Winter
Giselle mengangguk. "Bahkan saat SMA saja dia bekerja di Bar. Dia pasti mendapatkan uang dari menjajahkan selangkangnya"
"Aku berani bersumpah aku pernah melihatnya berpakaian minim di bar dan ia pulang ke rumah dengan banyak botol soju di tangannya" sahut Winter.
Ningning tertawa, "Hei apa yang kau harapkan? Kau ingat guru-guru berkata dia mencuri soal ujian? Itu sebabnya nilainya selalu bagus. Kenyataannya dia hanya wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa."
Keempat gadis itu tertawa lepas, Karina jelas mengingat Siyeon, gadis yang menjebaknya dalam kegelapan.
Aku bersyukur lepas darimu, Park Siyeon
Batin Karina.
-o0o-
"Darimana kau?"
Suara itu menggema seiring Karina berjalan di Mansion besar keluarga Yoo. Tampak tuan Yoo yang duduk di ruang keluarga dengan wajah yang tidak mengenakkan. Ada apa? Apa dirinya melakukan kesalahan? Kenapa ayahnya tampak marah?
Tuan Yoo melempar beberapa kertas yang ada di hadapannya ke wajah Karina.
"JD Cooperation membatalkan kontraknya. Terlalu banyak yang harus di revisi, kau benar-benar tidak becus dalam hal ini, bagaimana bisa aku memiliki anak setidakberguna dirimu?" ucapnya dingin.
Karina menahan air mata itu. Jangan, jangan sampai ayahnya melihatnya menangis "A-apa yang Ayah maksud?"
"Mereka tidak suka dengan desain milikmu, terlalu banyak hal yang tidak mereka suka. Mereka menarik kontrak marketing pada Yoo Company, kenapa kau sebodoh itu sehingga tidak tahu apa yang diinginkan klien? Percuma aku menyekolahkanmu jika kau seperti ini. Membesarkan gadis bodoh sepertimu hanya membuang waktuku."
Tuan Yoo pergi dari hadapan Karina. Air mata yang tadinya tertahan kini tak dapat dibendung lagi, harus berapa lama ia bertahan seperti ini. Ia tidak minta untuk lahir dengan kondisi seperti ini.
Suara tawa membuyarkan lamunan Karina, dihadapannya ada Wonyoung dan ibunya yang tersenyum licik.
"Memang kau harus pergi secepatnya dari rumah ini. Kau benar-benar tidak berguna." desis wanita itu.
"Eonni, maafkan aku. Tapi percayalah, suatu hari nanti akulah yang akan memimpin Yoo Company, dan kau? Entahlah, menikah dengan Jeno-oppa?"
Wonyoung mendekati Karina dan membisikkan kalimat yang begitu menyakitkan. "Kau... hanyalah sampah tak berguna, akuilah. Sirosis hati? Oh ayolah, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk otakmu yang bodoh, berapa banyak ayah mengeluarkan uang agar kau lulus di SNU? Akuilah bahwa dirimu itu tidak berguna, ayah akan selalu ada di pihakku dan ibu, dan kau? Akan selalu sendiri"
Cukup.
Karina, menatap Wonyoung tidak percaya. Gadis itu sudah gila, Karina pergi menaikki anak tangga menuju kamarnya. Sesampainya di kamar ia menumpahkan segala tangisannya.
Ia tidak memilih untuk membunuh ibunya.
Ia tidak memilih untuk dilahirkan dengan penyakit sialan itu.
Ia tidak memilih untuk menjadi bodoh.
Ia tidak punya pilihan.
Itulah takdirnya.
Ia menangis, hingga ia sadar akan darah yang mengalir dari hidungnya. Secepat mungkin ia berlari menekan bel yang ada di kamarnya. Dengan sigap, seorang perawat dan dokter masuk ke kamar Karina.
Ya, seperti ini lah hidupnya.
"Akan saya panggilkan tuan Yoo" ucap perawat itu.
"Jangan" Karina menahannya.
"Telfonkan Jeno, kumohon."