"I fear no monster, for no monster I see. Because all this time, the monster has been me"
"Kapan si bajingan Lee itu akan menikahimu?" tanya Giselle
"Hey jangan menyebutnya seperti itu" ucap Karina
Giselle mendengus panjang begitu juga dengan Ningning. Winter hanya diam menanggapi, mereka bersahabat sejak SMA, awalnya ketiganya tidak menyukai Karina. Hingga sampai suatu saat keempatnya menjadi sangat dekat.
"Apa lagi yang kau tunggu. Jeno jelas memiliki finansial yang stabil dan kau jelas sudah sangat tergila-gila padanya" ucap Ningning
"Pernikahan tidak semudah yang kalian pikir, lagipula aku tidak yakin ayahku akan mengizinkan aku menikah dibawah usia 30 tahun" elak Karina
Keempatnya jelas lahir dari sendok emas. Orang tua Winter merupakan salah satu penyanyi opera terbaik di Asia. Giselle merupakan anak dari pemilik sekolah seni berstandar internasional yang kini mendominasi tiga negara Asia yaitu Jepang, China dan Korea. Sementara Ningning adalah perantau dari China, orangtuanya pemilik salah satu hotel kelas satu di Beijing.
Mereka jelas jadi sorotan banyak orang di Cafe itu. Barang-barang branded, wajah yang cantik, tentu tidak ada yang kurang.
Tapi Karina merasa...
Kosong.
-o0o-
"Tuan Muda, Lee Jeno menunggu Anda di rumah kaca," ucap salah seorang kepercayaan milik Zhong Chenle.
Pria muda bermarga Zhong itu menaiki mobil golf miliknya menuju rumah kaca. Menemui sahabatnya sejak kecil, tentu saja mereka kenal sejak kecil, alasan mengapa Jeno menempuh pendidikan di Australia adalah karena Chenle bersamanya.
"Hai, mate!" Panggil Chenle dengan suara lumba-lumbanya.
Dimata Jeno, Chenle diibaratkan sebuah kertas putih tanpa goresan bahkan lipatan, seperti sungai yang mengalir. Ia ceria tanpa rintangan, hidup mewah dan seorang wanita anggun yang siap mendampinginya di masa tua. Lelaki yang lahir dari sendok emas itu bisa saja bersifat kekanak-kanakan, tapi Chenle selalu benar dalam percintaan.
Mereka memasuki rumah kaca dengan taman milik Tuan Muda Chenle yang dibuat persis seperti Jewel di Changi Airport Singapura atas permintaan tunangannya menjadi pemandangan di hadapan Jeno sekarang. Tanpa dijelaskan, dapat digambarkan seberapa kaya Zhong Chenle?
"Tanpa hujan dan badai, apa yang membuatmu datang kesini?"
Jeno bungkam tanpa suara dan Chenle menatap pria yang sudah lama dikenalnya itu.
"Apa ini ada hubungannya dengan Siyeon? atau mungkin Karina?"
Masih belum ada jawaban dari pria bermarga Lee itu, membuat Chenle tersenyum pahit pada sahabatnya itu.
"Aku tidak ingin menyakiti keduanya."
"Maka pilihlah satu diantaranya." ucap Chenle
"Ck, kau benar-banar tidak membantu." Jeno bangkit dari duduknya dan memutuskan meninggalkan tempat itu
Chenle terkekeh, "Katakan itu jika hubunganmu akan menjadi lebih baik, dan kuperingatkan bahwa kau mengambil langkah yang salah jika bertanya hal seperti ini pada Jaemin"
"..."
"Kau dibudaki oleh cintamu sendiri, Tuan Muda" ia masih tidak ingin berbalik badan.
"Cinta adalah pengorbanaan, meski kau memiliki segalanya, akan ada hal yang perlu kau korbankan dalam hidupmu, dan saat itu terjadi, maka itu adalah cinta yang sebenarnya, kau akan rela mengorbankan apapun bahkan dirimu sendiri."
ungkap Chenle.Dengan seringainya, ia berkata "Cinta adalah lingkaran ajal. Dimana pengorbanan akan terasa sia-sia karena pada akhirnya yang hadir hanyalah penyesalan. Tidak ada yang tau apa itu cinta yang sebenarnya, semuanya hanyalah ilusi yang timbul dari manusia itu sendiri."
Jeno menatap pantulannya di air mancur. Indera pendengarannya mendengar setiap percikan air yang jatuh disana dan memejamkan matanya sejenak. Jeno berjalan pelan setelah membuka matanya menuju salah satu tanaman yang ada di sana dan mencabut setangkai bunga dari pot itu.
"Aku harus memilih, aku tidak bisa." ucap Jeno.
Di akhir kalimatnya, ia melangkah menjauh dari hadapan Chenle hingga sosok itu benar-benar hilang dari hadapannya. Pandangannya jatuh pada pot bunga berisi bunga mawar semerah darah yang di hampiri Jeno, menatap tanaman itu dengan tersenyum kecut. Ia kembali duduk dan mengambil buku yang ada di meja, sastra kesukaan tunangannya.
Tangannya menimang-nimang buku itu, hingga ia membuka halaman secara acak. Dan sebait kalimat keluar dari bibirnya seiring ia membaca isi buku tersebut.
"Apakah cinta begitu lembut? Cinta terlalu kasar, terlalu kejam, terlalu rumit dan menusuk bagaikan duri."
Bagaikan mantra yang keluar dari bibir Chenle, pandangannya kembali jatuh pada mawar yang dilindungi oleh puluhan duri. Ia banting buku karya Shakespear itu dan pergi melesat keluar dari rumah kaca.