Bulan November di Korea Selatan, cuaca mulai terasa dingin mengingat musim dingin akan segera tiba di bulan Desember. Meskipun salju belum turun, tapi suhu udara sudah mulai membuat para warga sekitar menggunakan jaket untuk menghangatkan tubuh mereka.
Lee Jeno baru saja keluar dari gedung J Company setelah beberapa diskusi mengenai properti baru yang akan dibangun di sekitar Daejeon. Sebelum pulang ke rumah Jeno menyempatkan diri pergi ke toko bunga yang tidak jauh dari kantornya. Dan membeli sebuket bunga untuk dibawa pulang.
Pilihannya jatuh pada buket mawar merah.
-o0o-
Jeno memarkirkan mobilnya di garasi, ketika ia memasuki rumah, pria itu disambut oleh beberapa asisten rumah tangga yang membawakan tasnya.
"Dimana Karina dan Hyein?" tanya Jeno.
"Nyonya masih di studio dan Nona Lee sudah di kamarnya"
Jeno menangguk lalu menaiki anak tangga, menuju kamar putri tunggalnya. Pelan-pelan ia buka pintu kamar Hyein, mendapati sang anak tengah terduduk manis di atas kasur, tampak mengamati sesuatu.
"Ayah!" pekik Hyein manja.
Gadis berusia 5 tahun itu turun dari kasurnya dan menghambur kepelukkan Jeno. Pria itu memeluk sayang Hyein sambil mencium pipinya.
"Ayah tadi kenapa langsung pulang?" rengeknya.
"Maaf ya? Paman Jaehyun menelfon, jadi Ayah langsung pergi, tapi Hyein senang kan? Bagaimana mana pamerannya?"
Hyein mengangguk semangat, "Lukisan Ibu dipajang! Ayah tau? kata Ibu seseorang dari Kerajaan Belgia membeli lukisan Ibu, Ibu keren ya!"
"Ibumu memang hebat" kata Jeno mencubit singkat pipi Hyein.
"Ayah...." Hyein kembali dengan nada memelas, lalu menarik tangan Jeno ke tempat tidurnya.
Atensi Jeno jatuh pada gambar-gambar yang berserakan di kasur Hyein. Tunggu, itu jelas bukan gambar melainkan foto, beberapa foto polaroid lama.
Polaroid Siyeon.
Menampakkan foto cantik Siyeon.
Jeno mengambil salah satu dari banyaknya foto itu, Jeno ingat hari itu, sore hari ketika matahari hampir tenggelam, di apartemen mungil mereka ia memotret wanita nomor satu di hidupnya. Sejak dulu Jeno memang suka mengabadikan gambar Siyeon, bahkan Jeno tidak ingat sejak kapan ia mulai mengambil gambar Siyeon.
Dalam foto itu, Siyeon tidak tersenyum.
Siyeon memang jarang tersenyum.
Tapi ia selalu cantik.
Ah... berapa kali Jeno menyelipkan kata 'cantik' saat ia melihat Siyeon?
"Hyein?" bisik Jeno "...darimana mendapatkan foto ini?"
Hyein menunduk, sedikit takut sebenarnya. Ia memilin ujung bajunya untuk menghilangkan rasa gugup, "Ibu yang memberinya" ucap Hyein.
"Ada tugas untuk menceritakan tentang diri sendiri, Hyein mau memasukkan Ibu Siyeon ke cerita Hyein" Hyein berdecit pelan pada akhir kalimatnya.
Jeno tersenyum dan memangku Hyein, mengelus surai gelap putrinya.
Demi tuhan, Jeno merindukan Siyeon, sangat.
Melepaskan Siyeon adalah hal paling berat yang pernah Jeno lakukan. 5 tahun berlalu, dan kalimat tulus yang Siyeon ucapkan dengan raut mata penuh kasih masih terbayang di benak Jeno. Bagaimana malaikat itu pergi untuk selamanya?
"Karina harus hidup... untukmu dan Hyein"
Jeno masih terbayang dengan tetesan darah Siyeon di pangkuannya dan bagaimana jemari lemah itu menggengamnya erat. Ada saatnya Jeno ingin menyerah, Siyeon adalah segalanya.