"I grew a flower that could never bloom in a dream that couldn't ever come true"
Jeno pergi.
Meninggalkannya.
Siyeon selalu berfikir jika Jeno memilihnya.
Walau pada kenyataannya Jeno selalu pergi.
Entah sudah berapa hari Jeno tidak kembali, dan selama itu juga Siyeon menghabiskan waktu di rumahnya sendiri. Wanita itu menatap dinding dipenuhi gambar dirinya dan Jeno. Tak lupa menempelkan foto usg bayi mereka yang awalnya hanya tersimpan di dalam laci. Hingga suara ketukan pintu mengalihkan konsentrasinya.
Siyeon membuka pintu mendapati sosok yang tidak pernah ia bayangkan akan kembali.
-o0o-
"Bisakah kita bicara?" tanya Karina.
Siyeon memberi jalan agar Karina masuk. Karina meletakkan barang bawaannya, dan tentu saja atensinya kembali jatuh pada gambar-gambar yang ada di dinding itu. Salah satu yang menyita adalah gambar Siyeon yang sangat cantik, aura Siyeon selalu dingin, tapi begitu memancar.
"Berapa lama kalian tinggal disini?" tanya Karina pada Siyeon yang kembali dari dapur dengan setekoh teh diatas nampan.
"Sejak kami pindah, enam tahun yang lalu." ucap Siyeon.
Karina duduk disamping Siyeon, dan menyeruput teh itu. Teh mawar, Karina menoleh pada jendela yang ada di ruang tamu, rintik hujan mulai turun membasahi kaca.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Siyeon dingin.
Karina mencengkram cangkir tehnya, ragu.
Lalu ia meletakkan cangkir itu dan membuka bawaannya. "A-aku memasak makanan untukmu, cobalah"
Ia membuka salah satu masakkannya, dan memberi sumpit pada Siyeon. Wanita bermarga Park itu mengambil sumpit dari tangan Karina, dan mengambil kimchi yang ada di container.
"Enak?" Siyeon mengangguk.
Karina tersenyum, "Kau suka masak?"
Siyeon menggeleng, "Tidak, Jeno selalu memasak untukku" balasnya.
Karina menunduk kecewa. Bukan, bukan karena Jeno memasakkan Siyeon, tapi nada suara Siyeon yang masih belum berubah. Siyeon yang begitu ceria saat mereka bertemu seperti telah mati dalam tubuh itu. Dan Karina lah yang telah membunuh sosok itu.
"Cukup dengan basa basi nya, katakan apa keperluanmu menemuiku."
"Jeno menceritakan tentangmu padaku" ucap Karina.
Keduanya terdiam cukup lama.
"Lalu? Apa yang akan kau lakukan? Melemparkan sumpah serapa padaku? Atau kau ingin bergabung bersamaku dan Jeno? Kenapa? Kau tidak pernah ditidurinya?" Pedas, ucapan Siyeon begitu pedas.
Ego Siyeon berdiri diatas segalanya, disaat Karina ada dihadapannya, ia tidak mau kalah, ia tidak ingin berbelas kasihan. Ia sudah cukup tersakiti. Kalimat Siyeon setajam belati yang mampu menyayat hati Karina.
Gadis itu bersimpuh di hadapan Siyeon.
"Maafkan aku, kumohon, maafkan aku"
Badan Karina bergetar menahan tangis. Hingga sebuah tarikkan di rambutnya menjalarkan rasa sakit, Siyeon menarik rambut Karina dan melemparnya ke sofa.
"Kau itu bukan apa-apa dibandingkan denganku, kau pikir kau siapa? Kau manusia yang paling tidak berguna. Lihatlah betapa bodohnya dirimu."
"Aku benar-benar muak denganmu."
"Keluar dari rumahku."
Karina menangis, dan berjalan keluar.
Dan Siyeon belajar bahwa memaafkan tidak semudah yang ia bayangkan.
-o0o-
"Cukup..." perintah Jaemin.
Jeno melempar botol minuman alkohol yang ada di tangannya dan menjambak rambutnya. Ia berjalan ke dalam gudang tua itu diikuti dengan Jaemin, sang psikopat itu tersenyum gila melihat sosok pria yang kini sedang babak belur di habisi anak buahnya.
"Jeno sudah cukup, dia bisa mati" ucap Jaemin.
Dua orang berbadan kekar itu selesai memukuli sandera yang telah Jeno simpan selama ini.
Ayah tiri Park Siyeon.
"Dia tidak boleh mati, dia harus menderita seumur hidupnya."
Jeno menarik mantelnya dan mengemudikan mobilnya. Ia sudah mabuk, tapi emosinya sudah diluar akal sehat. Dengan laju kecepatan kencang, Jeno menyetir ke tempat Siyeon.
-o0o-
"Karina?"
Karina menatap wanita yang ada dihadapannya. Wanita itu mengulurkan tangan, "Yujin, sahabat Siyeon" ucapnya.
Karina menerima uluran tangan itu dan tersenyum.
Lalu rasa pusing membuatnya hilang keseimbangan.
"Kau baik-baik saja?" ucap Yujin membantu Karina, gadis itu mengangguk.
"Ingin bertemu Siyeon?" tanya Karina
"Yup! Aku harus menemaninya ke dokter hari ini"
Karina tersenyum pahit. Sudah berapa lama Siyeon hamil? 4 bulan? 3 bulan? Karina tidak tahu. Sejujurnya ia ingin membantu, ia ingin meluruskan segalanya. Dan pergi dari kehidupan Jeno maupun Siyeon. Hanya itu.
"Hei Karina!" panggil Yujin.
"Mau minum kopi bersamaku? Ada kedai kopi enak di sebrang jalan."
"Siyeo-"
"Dia bisa menunggu, lagi pula Eric belum datang menjemput"
-o0o-
Disinilah kedua perempuan cantik itu. Duduk berhadapan dengan kopi masing-masing di tangan. Yujin benar bahwa kopi itu terasa enak ditambah dengan cuaca dingin.
"Aku tahu apa yang terjadi diantara kalian bertiga" ucap Yujin.
Tanpa basa basi, ia seperti bisa membaca raut kebingungan Karina.
"Eric mengenalkanku, pada Jeno dan Siyeon. Lalu dirimu dan posisimu di hubungan mereka."
Karina menunduk, "Lalu? Apa aku salah?"
Yujin menggeleng, "Kau tahu? Seluruh keluarga Jeno sangat menyukaimu"
Karina mengangkat kepalanya. Ia tahu mereka dijodohkan dan ia tahu terjadi kesepakatan antara mereka, tapi ia tidak tahu bahwa keluarga Jeno menyukainya.
"Kau seperti penyembuh untuk Jeno. Bersamamu, Jeno bisa kembali normal. You brings out the best of him, and it's a good thing."
Dahi Karina mengkerut kebingungan. "Not gonna lie, Siyeon is my bestfriend. Tapi dia juga harus memikirkan dirinya sendiri, kau tahu bahwa hubungan mereka sudah lama tak sehat. Baik Siyeon atau Jeno harus sembuh" ucap Yujin
"Mereka akan hidup dalam hubungan tanpa restu keluarga dan itu bukanlah hal yang baik."
Yujin menggenggam tangan Karina. "Bertahanlah pada Jeno."