8

979 126 6
                                    

"what is more deadly? a gun or a thought?"

Bentuk apartment itu selalu sama, berputar pada satu poros pasti. Dan Jeno tahu akan selalu ada Siyeon yang menunggunya kembali. Seperti sekarang, wanita itu membelakanginya membiarkan rambut panjang hitamnya teruntai begitu saja menutupi bahunya.

"Kalian bertunangan?" tanyanya pelan

Jeno ragu namun akhirnya menjawab, "Ya"

"Sampai kapan kita akan seperti ini?"

"Kau tahu, Karina tidak punya waktu lama, dan ia pantas bahag-"

Detik itu juga Siyeon melempar gelas wine yang ada ditangannya ke lantai di hadapan Jeno. Beruntung gelas itu tidak mengenai Jeno, perempuan itu berjalan tanpa alas kaki, membiarkan seluruh kaki terluka penuh darah menginjak pecahan kaca yang berserakan dilantai, mengarah pada Jeno ia berjalan, ia tampar wajah Jeno dan pria itu hanya diam tak bertindak.

"Kau, kau benar-benar akan menikahi si dungu itu? Apa yang kau lihat darinya? Dia tidak lebih dari gadis bodoh yang lemah, gadis sialan itu..."

"Berhenti"

"...hanya jalang dungu yang tidak akan mampu-"

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Siyeon, aroma amis darah memenuhi indra penciumannya. Cairan merah kental itu mengalir di sudut bibir Siyeon. Ia terdiam membeku sebelum akhirnya tertawa. Dia tertawa pahit, hingga tawa itu berganti menjadi isak tangis yang tak terbendung

Siyeon menangis, tapi Jeno tidak membiarkan hal itu. Sekuat tenaga ia mencoba memeluk Siyeon agar gadis itu tenang. Tapi Siyeon memberontak dan memukul dadanya keras sampai puas. Keduanya tersungkur di lantai penuh pecahan kaca.

"KAU JAHAT! KAU JAHAT! KAU JAHAT!!!" pekik Siyeon.

"Hush, tenanglah Siyeon" Siyeon terisak di pelukkan Jeno.

Darah milik Siyeon berceceran dimanaa mana, tapi tidak, bukan tetesan darah itu yang membuat Siyeon sakit, hatinya jauh lebih sakit. Ia ingin Jeno, ia hanya perlu Jeno.

Hanya Jeno.

Itulah yang terlintas di otak Siyeon sebelum penglihatannya gelap.

-o0o-

"Kapan dia mulai tantrum seperti tadi?" tanya Yireon.

Jeno terdiam mengingat kapan Siyeon mulai tidak terkendali, Jeno ingat akan vas bunga yang sebulan lalu ia temukan pecah di lantai. Seminggu yang lalu Jeno juga menemukan bangkai burung gereja di dekat dapur. "Sebulan yang lalu"

Yireon menghela nafas panjang. "Ada apa?" tanya Jeno.

"Itu berarti dia menginginkannya, dia berhenti minum obat penenangnya" ucap Yireon.

"Menginginkannya? Dia ingin marah? Apa yang kau bicarakan?"

Yireon paham arah percakapan ini.

"Jeno, Siyeon hamil. 13 minggu, terhitung sejak menstruasi terakhirnya" ucap Yireon.

Jeno membeki sejenak, tidak mungkin Jeno ingat pasti akan pil kontrasepsi yang ia berikan. Tiap bulan ia rutin memberikan pil itu pada Siyeon, dia tidak yakin Siyeon siap jika semua ini terjadi.

"Dia masih meminum pilnya 3 bulan terakhir, apa kau yakin?"

"Kemungkinan pencegahan melalui pil hanya 50% lagi pula apa kau yakin dia meminum pilnya?" decak Yireon "Aku harus memeriksa pasien lain, pastikan kau disampingnya saat bangun."

-o0o-

Siyeon membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah lampu, lalu Jeno. Pria itu ada disampingnya, mengenggam tangannya dan mengelusnya lembut.

"Ingin sesuatu?" tanya Jeno.

Siyeon menggeleng, ia mencoba duduk sampai akhirnya dibantu oleh Jeno.

"Kau hamil" ucap Jeno

Siyeon tidak menemukan jawaban yang pas, hingga akhirnya mengatakan "Aku tahu."

Iris mata Siyeon yang sekelam malam bertemu dengan mata Jeno, Siyeon tidak dapat membaca pria itu. Terlalu sulit, terlalu banyak rahasia dan misteri di dalamnya. "Kau marah?" tanyanya.

"Kenapa kau tidak memberi tahuku?" pinta Jeno

Siyeon membuang wajahnya, "Bagaimana dengan Karina?"

Jeno menarik Siyeon kedalam pelukannya mengelus punggung itu lembut, "Kau tidak akan mengerti betapa bahagianya aku" ucap Jeno.

Ia tarik tengkuk Siyeon dan mencium bibir itu. Bibir yang selalu ia rindukan setiap harinya, ia akan membuat Siyeon menjadi wanita paling bahagia di dunia. Itulah sumpahnya.

-o0o-

Setelah Siyeon tertidur, Jeno keluar dari ruang rawat itu. Ia dikejutkan oleh dua pasang muda mudi yang ada disana, Chenle dan Yireon. Keduanya tengah berdiskusi hingga akhirnya Jeno mengintrupsi pembicaraan itu.

"Maaf terlalu ikut campur, tapi aku merasa harus menelfon Chenle kesini" ucap Yireon.

Bukan setahun atau dua tahun Jeno mengenal pemuda Zhong itu. Ia jelas tau apa yang akan terjadi jika Chenle marah, "Ikut aku" perintah Chenle.

Tepat di atap rumah sakit, Chenle melempar bogem mentah pada wajah Jeno. Yireon tak mengirah hal itu akan terjadi, segera ia tenangkan tunangannya itu. Dan memastikan Jeno baik-baik saja.

"Lee Jeno, aku tahu kau bajingan. Tapi aku terkejut bahwa kau semenjijikan ini" ucap Chenle.

"Apa maksudmu?"

"JANGAN PURA-PURA TIDAK MENGERTI!"

Chenle menarik kerah baju Jeno dan membanting tubuh pria itu ke dinding. "Apa yang kau inginkan dari mereka hah?! AKU TAHU MASA LALUMU! TAPI HARUSKAH KAU MELIBATKAN KARINA?! DAN SIYEON?!"

"Aku ingin membahagiakan keduanya"

"BAJINGAN!" sekali lagi, bogem mentah mendarat di wajah Jeno.

"CUKUP!" teriak Yireon.

"Chenle, berhenti!" Gadis Wang itu mencoba menenangkan Chenle, dia tahu tunangannya jarang sekali menunjukan emosi, tapi Jeno sudah melewati batas.

"Hanya ada dua opsi, Karina atau Siyeon. Kau harus memilih salah satu diantara mereka."

"Karina tidak mendapatkan cinta dari Ayahnya, dan sirosis hati itu membunuhnya setiap hari. Siyeon akan selalu tidur dalam mimpi buruk itu, aku hanya ingin membahagiakan keduanya" bisik Jeno

in betweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang