27

854 107 4
                                    

"I don't live in darkness, darkness lives in me"

Suara resleting koper yang ditutup terdengar sedikit menggema di studio Karina. Ia melihat sekitar studionya yang mulai kosong, seluruh lukisannya terjual habis setelah ia letak pada pelelangan, pandangannya kembali merenungi berbagai macam kertas yang ada di meja kerja. Tiket pesawat, passport dan berbagai macam berkas medis.

Sebulan terakhir sejak persalinan Siyeon, ia menghabiskan waktu untuk berbenah diri, mencoba berdamai dengan segala takdir yang telah terjadi di tanah kelahirannya. Keputusan untuk pergi ke Seattle, sebuah rumah sakit ternama dengan teknologi canggih yang di tawarkan Wonyoung, akan ada banyak terapi yang ia jalani, dan jika memungkinkan, Karina bisa mendapatkan donor hati untuk menyelamatkannya.

Ia memejamkan mata, membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi. Dari laci, ia ambil sebuah kertas dan mulai menggoreskan pena diatasnya.

-o0o-

Pantulan di cermin itu tidak lagi sama. Siyeon menyadari perubahan pada tubuhnya, ia jelas tidak seperti dulu lagi. Pinggulnya membesar, ada beberapa stretch marks samar di sekitar pinggangnya, ia pun juga menyadari bahwa payudaranya membesar.

Semuanya terlalu nyata terlihat oleh mata. Ditampakkan oleh tank top putih yang ia kenakan sekarang, dan Siyeon membenci itu.

Ia tidak secantik dulu.

Diraihnya gelas di samping cermin, tempat menaruh sikat gigi. Lemparan gelas yang membentur cermin memekakkan telinga, menghancurkan benda refleksi itu menjadi keping-keping tak bernilai guna lagi.

Siyeon benci refleksi itu.

-o0o-

Jeno membuka pintu rumah mereka, mendapati seluruh ruangan gelap, hal yang biasa terjadi di rumah ini, ditambah sekarang sudah jam 11 malam. Ia baru pulang dari kontrol rutinnya dengan psikiater, hal yang rutin dilakukan sejak perpisahannya dengan Siyeon kemarin. Sejak saat itu, Jeno rajin mengonsumsi obat dari dokter, untuk menjaga kewarasannya.

Pria itu berjalan kedapur meraih gelas, dan meneguk obatnya. Ia yakin Siyeon dan Hyein pasti sudah tidur. Pandangannya jatuh pada kantong obat miliknya, dan pikirannya kembali pada Siyeon yang menolak pergi ke psikiater, ia enggan meminum obat karena bayi yang ada di kandungannya. Tentu saja tidak ada seorangpun yang bisa memaksa Siyeon.

Indera pendengarannya menangkap suara tangisan Hyein, ia berjalan kearah kamar bayi. Tapi pemandangan yang ia dapat bukanlah sesuatu yang ia pikirkan. Dilihatnya Siyeon yang terduduk disamping boks bayi dengan sebotol susu di tangannya, sementara Hyein sudah menangis keras didalam boks bayi.

"Siyeon?! Apa yang kau lakukan?!" hardik Jeno.

Ia tarik botol susu dari tangan Siyeon dan menggendong Hyein, dengan cepat ia berikan asupan nutrisi itu pada putrinya. Ini sudah jam 11 dan Hyein belum meminum susunya. Apa yang Siyeon pikirkan?

Pandangan Siyeon kosong menatap Jeno dan Hyein, ia masih terduduk di lantai melipat kaki di dadanya. "Masuk ke kamar sekarang!" perintah Jeno.

Seperti robot yang mendengar perintah, Siyeon bangkit dan keluar dari kamar Hyein.

-o0o-

Pintu kamar mereka tak tertutup, dapat dilihat Siyeon terduduk di ranjang, pandangannya masih kosong layaknya orang melamun tanpa arah. Jeno dapat melihat Siyeon mengenakan gaun tidur malamnya yang dipenuhi rendah.

Hyein akhirnya tertidur dan Jeno kembali ke kamar mereka, ia tidak bisa membaca pikiran Siyeon, membiarkan putrinya kelaparan? Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia duduk di sisi ranjang, dan meraih bahu wanita itu. "Ada apa? Kenapa kau membiarkan Hyein kelaparan?" tanya Jeno.

"Jeno..." panggil Siyeon "...apa aku cantik?"

Jeno menahan tawanya, lalu mendekat pada Siyeon. Ia mendekat pada Siyeon, dan memeluk wanita itu dari belakang. Menaruh dagu di bahu Siyeon, "Kau selalu cantik, selalu" jawab Jeno.

Dalam hitungan detik, Siyeon sudah berada diatas Jeno. Menaikki tubuh pria itu, mencium bibir Jeno dengan kasar, tangannya bergerak mencoba menarik pakaian Jeno. Siyeon mencakar leher Jeno, meluapkan semua pikiran dan emosi pada pria di hadapannya.

Ini gawat

"Siyeon!"

Jeno melepas ciuman itu dan memegang kedua bahu Siyeon. Menatap iris mata kosong wanita dalam kukungannya, pegangannya melemah, lalu tangan kanannya melepas genggaman itu, Jeno selipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga Siyeon. "Ada apa?"

Wajah wanita itu masih mengeras dan kalimat selanjutnya keluar dari bibir Siyeon.


















"Bayi itu harus mati"





















"Bayi itu tidak seharusnya hidup"



















Siyeon mendorong tubuh Jeno ke kasur dan mencekik leher sang kekasih, menancapkan kukunya pada leher Jeno dan membuat pria itu kehabisan nafas. Jeno dapat merasakan sesak, ia melihat sorot amarah dari mata Siyeon. Jeno paham situasi ini, ia mencoba melepaskan tangan Siyeon dari lehernya, tapi dalam posisi tertahan seperti ini semuanya seakan sia-sia. Berat, tapi ada jalan yang bisa pria itu ambil.

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Siyeon, membuat tubuh itu terhempas kesudut ruangan, jatuh dari tempat tidur mereka. Jeno bangkit dengan nafas yang terengah-engah, menatap Siyeon yang memeluk diri di sudut ruangan sambil memegang pipinya.

Suara tawa dari Siyeon memekakkan telinga sebelum akhirnya berganti menjadi isak tangis. Jeno berlutut dan memeluk tubuh Siyeon, menyalurkan ketenangan pada perempuan malang itu. Isak tangis Siyeon menyayat hati Jeno, ia dapat mendengar gadis kecil tersakiti yang berteriak dari dalam tubuh Siyeon minta dilepaskan dari rantai kasat mata.

Siyeon meronta, melepaskan diri, dan menatap mata Jeno, dengan memar kebiruan di pipinya. Wajahnya berantakan, "Diantara kita... hanya kau yang sembuh. Dan aku, akan terus seperti ini" isak Siyeon.

"Shh" Jeno memeluk erat kembali wanitanya.

Tangisan Siyeon seperti lagu kesedihan di telinga Jeno, "Aku gila Jeno, ini semua tidak waras"

Dengan hati-hati, ia mendekap tubuh rapuh Siyeon, dan membawanya keatas ranjang, mengelus punggungnya lembut, dan merapalkan doa agar semuanya cepat berlalu. Malam ini mimpi buruk itu terjadi lagi, semuanya kembali pada porosnya, dan mereka harus menerima kenyataan bahwa memang ada yang harus dilepaskan dalam diri Siyeon.

Siyeon tidak gila, Siyeon harus sembuh, batin Jeno.

in betweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang