"It didn't kill me, but something inside me died that day"
SMP Seoli, Seoul, Tahun XXXX
Karina, putri sulung Yoo Company. Kini terduduk di ruang kesenian sekolahnya. Menggambar sebuah lukisan, Karina mencintai seni. Beberapa orang berkata ia mendapatkan bakat itu dari Ibunya. Karina sendiri tidak mengenal siapa Ibunya, bagaimana wanita itu semasa hidup. Tidak ada yang pernah menceritakan padanya.
Goresan kuas pada kanvas besar itu bagaikan melodi di telinga Karina. Bagaimana warna berpadu membentuk sebuah warna yang baru. Andaikan kehidupan seperti itu, sesuatu yang segelap warna hitam bisa kembali terang, jika ada putih disampingnya.
Seperti tumpahan kesedihan, sirosis hati itu akan selalu membunuh Karina, setiap harinya diisi dengan obat-obatan dan berbagai macam suntikkan, itu menyakitkan.
"Karina?"
Gadis itu terperanjak dari duduknya, menatap sosok yang kini berdiri di pintu ruang seni. Pria itu, seseorang yang selalu ia kagumi.
"Kau menggambar sesuatu?" Jeno mendekat mendapati gadis itu tengah menggambar padang rumput yang dipenuhi dengan bunga.
"Indah" pujinya "Adakah makna dibaliknya. Ah tidak biar kutebak!"
"Luas" ucap Jeno.
Karina tertawa, "Mirip, lebih tepatnya bebas"
"Ada apa dengan kebebasan?"
Gadis Yoo itu tersenyum pahit pada lukisan berwarna itu, "Kau tahu kondisiku... pil dan suntikan itu terlalu menakutkan. Aku ingin bebas"
Pat!
Jeno mengelus surai kecoklatan milik Karina dan menyelipkan beberapa dibelakang telinganya. "Kau akan mendapatkan kebebasanmu Karina, aku yakin" ucapnya.
Pria itu keluar dari ruangan itu sebelum Karina memanggilnya, "Jeno!"
"K-kau, akan pergi ke kelas?"
Jeno tersenyum, "Ah, mungkin kau belum tahu, aku pindah kelas hari ini. Guru-guru memindahkanku ke kelas istimewa"
"Tapi itu artinya..."
"Aku akan lulus dua bulan lagi."
Karina tersenyum. Pahit. "Selamat, kau akan menjadi anak SMA termuda"
"Ya, tapi sayangnya, aku tidak akan melanjutkannya disini."
"Apa?"
"Aku akan pindah ke Australia"
***
SMA Yuseong, Ulsan, Tahun XXXX
Karina gagal. Ia gagal di ujian akhirnya, sungguh memalukan. Nilainya menjadi yang terkecil diangkatannya, bahkan masuk ke SMA Yuseong sudah sangat beruntung. Ia harus berada di urutan terakhir. Tidak segan, Ayahnya memindahkannya sejauh mungkin dari perkotaan Seoul.
"Dia Yoo Karina bukan? Si peringkat terakhir?"
Bisik-bisik itu menghantui Karina. Bahkan ketika istirahat ia tidak bisa makan dengan tenang. Hingga sosok itu datang, seorang gadis bername tag Park Siyeon. "Kau Yoo Karina? Perkenalkan aku Siyeon" ucapnya mengulurkan tangan.
"Park Siyeon? Si peringkat pertama?" Karina tersenyum lebar dan menerima uluran tangan itu.
Entah apa yang terjadi. Karina sangat nyaman terhadap Siyeon, seperti seorang sahabat yang kenal lama.