Chapter 7

17.6K 1.2K 28
                                    

Happy reading!

"Ma, tolong jangan diemin aku." Alvandra terus membujuk. Sedari ibunya selesai mengobati luka di wajahnya, wanita itu terus mendiaminya. 

Tak ada balasan. Di ruangan yang disebut kamar itu Alvandra menghela napasnya. 

"Mama mau kita ke rumah Zahra besok. Kamu harus berusaha untuk tanggung jawab, setelah itu baru Mama maafin."

Alvandra mengembangkan senyum. "Aku janji bakal tanggung jawab."

"Malam ini Raina pulang, sampai jam lima. Mama mau kamu jemput dia," ucap Rossa sebelum benar-benar keluar dari kamarnya seraya membawa gelas kosong yang ia genggam. 

Raina. Gadis itu adalah adik dari Alvandra. Hampir sebulan ini, dia di Surabaya. Mumpung libur begini, tinggal menunggu pengumuman kelulusan Raina memutuskan untuk ke kampung halaman neneknya. Saat ini gadis itu baru saja selesai ujian akhir di SMP. Itu tandanya, dia akan masuk SMA.

                           ***

Sampai di rumah, mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Terlihat Zafran yang tengah bersantai-santai menonton TV. Anak sulung Hardi dan Hani itu baru saja pulang dari rumah temannya.

"Kalian dari mana? Aku kok pulang, rumah udah sepi aja." Zafran bertanya seraya menatap ketiganya.

"Habis nangis lo, Ra?" Zafran dapat melihat mata adiknya yang memerah dan sedikit bengkak. Hidungnya juga memerah. Saudara Zahra itu tahu, bahwa adiknya habis menangis.

Zahra hanya diam, tak menjawab satu katapun. Hani yang tahu anaknya sangat lelah, mengerti. "Kepo banget si, Af. Udah ah, Mama mau antar Ara ke kamarnya."

Zafran memang biasanya dipanggil Afran oleh keluarga atau teman terdekatnya.

"Bukan kepo doang, Ma. Aku khawatir aja, makanya nanya."

Tanpa berkata lagi, Hani meninggalkan Zafran bersama Hardi yang sudah duduk di sofa, dan memejamkan kedua matanya.

Zafran mendengus pelan. Ibunya sangat menyebalkan, padahal ia sangat khawatir dengan keadaan Zahra. "Ara kenapa, Pa?"

"Pa!" Lelaki itu sedikit meninggikan suaranya saat tak mendapatkan jawaban sama sekali dari Ayahnya.

Hardi membuka kedua matanya, menoleh ke sebelah menatap anak sulungnya. "Apa?"

"Ara kenapa?"

Menarik napas dalam, Hardi mulai menjelaskan semuanya. "Adik kamu diperkosa, Af."

Mata Zafran memerah. Napasnya memburu. Lelaki itu berdiri dari duduknya. "Siapa yang berani gituin, Ara?!"

"Alvandra."

"Anaknya Tante Rossa?" Hardi mengangguk.

"Sialan! Harus dikasih pelajaran!" Dengan emosi yang meluap-luap, Zafran melangkah keluar dari rumahnya.

"Zafran!" Mengikuti langkah Zafran, Hardi berteriak memanggil nama anak laki-lakinya itu.

Berhenti melangkah, tanpa berbalik, Zafran berkata, "Apa lagi, Pa? Dia harus dikasih pelajaran!"

"Papa udah kasih dia pelajaran, udah cukup. Sekarang gak perlu! Cukup tenangin Zahra aja. Dia butuh kita."

Zafran terdiam. Benar kata ayahnya, sekarang kita hanya perlu menenangkan Zahra, adiknya butuh dia. Lelaki itu berbalik. "Benar kata, Papa."

"Tapi aku merasa bersalah, Pa. Aku ngerasa gagal jadi kakak buat Zahra, gak bisa jaga dia."

Hardi melangkah maju mendekati anak sulungnya, menepuk bahu kanan Zafran. "Papa sama seperti kamu. Merasa gagal, tapi kita gak bisa seterusnya nyalahin diri sendiri. Mungkin ini memang udah takdir buat Ara. Kita cukup doakan yang terbaik buat dia, bantu dia bangkit lagi."

Alvandra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang