Happy reading🖤
Faikal semakin menyipitkan matanya, masih memperhatikan kabel rem itu dengan teliti.
Faikal berdiri. "Ujung putusan kabelnya seperti di potong. Ini sangat kentara karena ujung potongannya sangat mulus."
Alvandra yang baru saja selesai mengecek bagian lain sistem pengereman mobil itu ikut berdiri.
"Yang Bapak cek, bagaimana?"
"Tidak ada yang aneh. Akibat rem mobilnya blong sepertinya hanya karena kabel remnya putus," jelas Alvandra.
"Oke, saya foto kabelnya dulu, buat salah satu bukti nanti." Faikal mengambil handphone miliknya di saku celana yang ia gunakan. Lalu mulai memotret kabel rem itu. Lelaki itu juga memotret beberapa bagian mobil yang menurutnya penting dalam penyelidikan ini.
"Gak ada sidik jarinya?" tanya Zahra. Faikal sontak menoleh ka arahnya. "Ini di cek."
---
Setelah selesai mengambil sidik jari, mereka kembali masuk ke dalam rumah Alvandra. Penyelidikannya akan di lanjut besok. Dan hanya Faikal yang melanjutkannya.
"Aku pulang sekarang ya," pamit Naila meletakkan handphone miliknya ke dalam tas, setelah panggilan dari seseorang terputus.
"Tidak makan dulu?" tanya Alvandra.
"Kan udah kenyang tadi."
Alvandra mengangguk."Assalamualaikum." Setelahnya, Naila berjalan keluar dari rumah itu.
"Saya juga ikut pulang." Kemudian, Zahra ikut berjalan keluar dari rumah itu bersama temannya.
***
Hari ini adalah, Minggu. Yang artinya, semua pelajar dan pekerja, libur.
Zahra tengah bersiap-siap untuk menemani anaknya ke mall. Begitu pun dengan Rava yang sudah tak sabar.
"Siap, ayo Maa, Ayo!" ajak Rava.
Anak laki-laki itu sudah siap dengan hoodie berwarna putih di hiasi tulisan dengan bawahan celana panjang berwarna hitam, kaos kaki hitam dan sepatu putih. Tak lupa juga memakai kupluk kesayangannya, yang selalu ia pakai jika jalan-jalan bersama Ibunya.
(Gambaran)
"Ayo." Zahra mengambil tangan Rava untuk ia genggam. Kemudian berjalan keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah.
Hani yang sedang menonton TV di ruang tengah, menoleh ke belakang mendengar suara langkah kaki yang berlompat-lompat kecil milik Rava yang kegirangan.
"Cucu Nenek mau ke mana nih? Ganteng banget."
"Mall," ucap Rava.
"Nenek gak di ajak nih?"
"Ga dulu. Ava mau jalan sama Mama dulu." Hani sontak memanyungkan bibirnya. Sedangkan Zahra, wanita itu terkekeh geli.
Anak itu sudah lumayan lancar berbicara, mungkin karena sudah sangat terbiasa mendengar orang berbicara dengan bahasa Indonesia.
Selama tinggal di Jerman, Rava hanya mendengar sedikit keluarganya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Yang lainnya, menggunakan bahasa Jerman.
"Ayo, Mama!" Rava menarik tangan Zahra untuk keluar dari rumah.
"Salim dulu sama Nenek, Va."
"Hehe, lupa Maa." Anak itu menyengir, lalu berbalik dan mendekat ke arah Hani. Kemudian mencium punggung tangan Neneknya itu. Di ikuti oleh Zahra.
"Assalamualaikum." Anak dan Ibu itu mulai berjalan keluar dari rumah, dan masuk ke dalam mobil yang ada di garasi. Setelahnya, Zahra mengemudikan mobil itu.
---
Selang beberapa menit, keduanya sudah sampai di mall, tempat tujuan mereka. Zahra membuka pintu mobilnya lalu turun, dan segera membukakan pintu untuk Rava.
"Ava pegang tangan Mama terus. Nanti kamu hilang," ucap Zahra memperingati.
"Siap!"
Di dalam mall, Rava berjalan lebih dulu dari pada Ibunya. Namun, masih tetap memegang tangan Zahra, sesuai perintah wanita itu.
"Ma, itu ada lobot, ke sana yu!" ucap Rava antusias melihat robot, mainan kesukaannya. Anak itu berlari ke tokoh itu, melepaskan pegangan tangan Ibunya.
"Rava, jangan lari-lar-" ucapan Zahra terpotong, karena melihat Rava yang sudah menabrak seseorang.
Wanita tersebut segera menghampiri anaknya, yang sedang di bantu berdiri oleh seseorang yang Rava tabrak.
"Kamu gak papa kan?" tanya seorang Ibu paruh bayah yang di tabrak oleh Rava. Terlihat anak kecil itu hanya mengangguk kecil.
Sampai di belakang anaknya, Zahra berjongkok, lalu membalikkan tubuh Rava pelan agar mengahadapnya. "Kan, Mama udah bilang. Pegang tangan Mama terus, kamu sih ngeyel banget."
Wanita itu kemudian mengusap pipi anaknya, menghapus air matanya. Sedangkan Ibu paruh bayah yang ada di belakang Rava terdiam, memperhatikan interaksi keduanya.
Rava menunduk. "Soly, Mama."
"Jangan di ulangin lagi. Udah, sekarang kamu minta maaf sama orang yang kamu tabrak." Rava mengangguk menurut.
Anak itu membalikkan badannya menghadap seseorang yang ia tabrak. Zahra sendiri, berdiri untuk melihat seseorang yang di tabrak oleh Rava. Wanita itu ikut terdiam.
Setelahnya, anak itu mendongakan kepalanya untuk menatap Ibu paruh bayah yang telah ditabraknya. "Maaf , Ava udah tablak Nenek," ucap Rava.
Rossa yang merupakan Ibu paruh bayah itu tersenyum. "Gak papa, Nak."
Kemudian, Rossa kembali menatap Zahra yang masih terdiam kaku. "Anak kamu?"
"Iya M-Tante," jawab Zahra.
"Udah lama nggak bertemu ya."
"Sekalinya ketemu, ternyata kamu udah punya anak sebesar ini aja," lanjut Rossa, kemudian terkekeh pelan.
"Hehe iya Tan. Aku baru sebulan ini balik ke Indonesia lagi."
Rossa mengangguk. "Karena kita baru ketemu lagi. Gimana kalo kita makan siang, bersama? Sekalian Tante juga mau ngomongin sesuatu sama kamu," tawarnya.
Zahra berpikir sejenak. Dia tak enak untuk menolaknya. Sungguh, menjadi orang tidak enakan benar-benar tidak enak. Akhirnya, dia mengangguk.
"Kita jalan dulu Mamaa! Bayu makan," sahut Rava.
"Tap---"
"Gak papa Ra, nanti kita temenin ... siapa lagi namanya?"
"Rava, Tan."
"Nanti kita temenin Rava belanja dulu, baru makan siang. Lagian waktu makan siangnya juga belum."
"Tapi gak papa, Tan?" Zahra menatap mantan mertuanya tak enak.
"Gak papa, udah ayo kita temenin Rava belanja."
Jangan lupa Vote dan Komen🖤
Kira-kira apa yang mau di omongin Rossa sama Zahra?
Tim happy/Sad?
Buat yang mau gabung gc Alvandra, chat aku aja ya, di wp. Nanti ku kirimin linknya, soalnya ku taro di bio, gak muncul di akun lain.
Terima kasih sudah membaca🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvandra (END)
Художественная прозаAlvandra dan Zahra. Dua manusia yang terpaksa menikah dan akhirnya harus hidup bersama selama bertahun-tahun. Apakah pernikahan terpaksa mereka akan bertahan lama? Atau ... bahkan sebaliknya? --- Start: 05 Mei 2021 RILL HASIL PEMIKIRAN SENDIRI