Chapter 17

14.8K 1.1K 6
                                    

Happy reading!

Selesai makan malam, kini suami-istri itu berkumpul di ruang tengah sambil menonton film.

"Pak," panggil Zahra menoleh ke samping menatap suaminya.

"Hm?" Alvandra mengangkat sebelh alisnya.

"Udah nemu pengganti saya?" tanyanya dengan pandangan bertanya.

"Kenapa?"

"Boleh ya, saya kerja lagi? Please. Baru sehari tinggal di rumah aja udah bosan Pak," bujuk Zahra.

Melihat Alvandra yang menghela napasnya, cepat-cepat Zahra membuka suara lagi.

"Sementara aja deh Pak, nanti kalau udah dapet karyawan yang pas di kantor Bapak, saya berhenti. Mau ya?"

"Fine. Tapi kita berangkat bersama."

"Iya deh, daripada nggak kerja," pasrah Zahra.

"By the way, Bapak jadi nyari art?"

"Besok dia mulai bekerja."

Zahra mengerutkan kening, tanda ia sedang bingung. "Loh? Kapan pendaftarannya, Pak? Kok saya nggak tau?"

"Bukan urusan kamu."

Mendengar hal itu, tentu saja Zahra kesal. Bukan urusannya? What? Dia tidak salah dengarkan? "Ih, Pak! Saya kan istri kamu, ya ada urusannya dong! Ada sangkut pautnya sama saya! Harusnya Bapak nanya saya kalau udah nemu art yang cocok buat rumah ini."

"Ayra, saya sudah menemukan art yang cocok untuk kita. Besok dia mulai bekerja. Sudah, kan?"

"Terlambat!" 

***

Keesokan harinya, kini dua orang sepasang suami istri itu telah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Zahra sudah siap dengan setelan panjang berwarna abu, dalaman dan tas hitam, serta sandal heels silver.

Saat ini wanita itu sedang berada di meja makan untuk sarapan, sedangkan Alvandra masih berada di kamarnya, siapa yang menyiapkan sarapan? ia adalah Bi asi, asisten rumah tangga mereka yang baru saja datang tadi pagi.

"Ini, non sarapannya sudah siap," ujar bi Asi setelah melihat Zahra duduk di kursi meja makan.

Zahra yang melihat itu, mengembangkan senyumnya pada bi Asi. "Makasih ya, Bi."

"Iya non, kalau begitu saya ke dapur dulu ya non," pamit bi Asi yang di balas anggukan kepala oleh Zahra, sebagai jawaban.

Setelah Bi asi sudah tidak terlihat, Zahra menggerutu kesal, saat Alvandra tak juga menampakkan batang hidungnya.

"Nah tuh orangnya," gumam Zahra setelah melihat Alvandra turun dari tangga.

"Lama banget, Pak," sindir Zahra saat Alvandra sudah duduk di kursi yang biasa ia tempati, di hadapannya.

Alvandra hanya menghiraukan perkataan istrinya.

---

Di sebuah mobil berwarna putih, hanya keheningan yang merajai suasana di dalamnya.

Alvandra fokus menyetir dan Zahra yang sibuk bermain sosial media di ponselnya.

Sampai di parkiran kantor pun, masih saja tidak ada yang membuka suara.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Zahra membuka suara setelah menyimpan ponselnya di tas.

"Pak," panggil Zahra saat Alvandra hendak membuka pintu mobilnya.

Alvandra mengurungkan niatnya, dia berbalik menatap Zahra, sambil mengangkat satu alisnya. "Iya?"

Zahra tak langsung menjawab, melainkan mengambil tangan kanan lelaki di hadapannya terlebih dahulu. "Salim."

Wanita yang mengenakan setelan berwarna abu itu mencium punggung tangan suaminya, berbeda dengan Alvandra yang hanya tersenyum tipis.

Mereka kemudian turun dari mobil bersamaan, berjalan beriringan masuk ke dalam kantor.

Di perjalanan ke ruangan masing-masing, banyak sekali yang menyapa mereka. Beberapa orang menatap Zahra dengan heran, bukankah wanita itu sudah tidak bekerja lagi? batin mereka bertanya-tanya.

Alvandra membalas sapaan mereka hanya dengan senyum tipisnya, lalu lelaki itu berjalan lebih dulu masuk ke ruangannya.

"Mbak Zahra bukannya sudah resign ya?" Akhirnya, ada yang mewakili mereka semua.

"Iya, saya emang udah resign dari lama, tapi sekarang cuma sementara, sampai ada pengganti saya," balas Zahra.

Terjawab sudah pertanyaan mereka semua. "Ohiya, Mbak."

Zahra mengangguk, dan tersenyum tipis. Kemudian melangkah maju mendekati mejanya.

Salsa, gadis itu tak sadar bahwa sahabatnya berada di kantor. Dia sibuk dengan pekerjaannya.

"Sibuk amat Bu," celetuk Zahra, lantas Salsa mengangkat kepalanya.

Matanya melebar. "Araaa!" pekik Salsa tertahan.

"Kok lo bisa ada di sini?"

"Kerja."

Sontak, Salsa menyipitkan matanya. "Kok bisa? Bukannya dilarang sama si Alpandra itu?" 

Zahra mengambil napas dalam. Melangkah maju mendekati sahabatnya, memegang bahu gadis itu.

"Sasa, lo masih dendam sama, pak Al?" Zahra bertanya dengan suara yang sepelan mungkin, agar orang lain tak mendengarnya.

Salsa mengangguk. "Karena dia udah buat sahabat gue hancur kemarin."

"Kalau bukan karena keuangan orang tua gue mulai menurun, gue bakal resign dari perusahaan ini. Apalagi sekarang nyari kerjaan susah."

Memang, keluarga Salsa sedang terkena masalah. Mereka baru saja terkena tipu, dalam berbisnis. Membuat orang tua Salsa rugi sangat banyak, dan harus meminjam uang untuk membangkitkan perusahaannya lagi.

Tapi, di kondisinya yang seperti itu, Salsa masih bisa menutup kesedihannya dengan senyum palsu.

Zahra tersenyum, ia merasa sangat beruntung mendapatkan sahabat seperti Salsa dan Naya. "Jangan dendam lagi, ya? Gak baik dendam sama orang. Di maafin, Tuhan aja maha pemaaf, masa kita yang cuma seorang hamba, nggak? Gue juga yakin, pak Al orang baik kok."

"Emang lo udah maafin, pak Al?" Alis Salsa terangkat sebelah.

"Belum sepenuhnya. Tapi gue bakal berusaha."

"Tapi, ngelupain hal itu susah, Ra. Susah buat maafin seseorang yang udah nyakitin sahabat kita."

"Gue pernah denger kata-kata gini, Allah tidak meminta untuk kita melupakan, Tapi Allah meminta kita untuk memaafkan. Dan lo nggak perlu lupain hal itu, cukup di maafin aja. Dendam sama seseorang itu nggak baik loh, hati kita jadi kotor."

"Yaudah, gue juga bakal berusaha kayak lo," ucap Salsa yang dapat mengembangkan senyum Zahra lagi.

"Nah gitu dong, peluk duluuu." Zahra merentangkan kedua tangannya, memeluk sahabatnya erat.

Jangan lupa vote dan komen, Terimakasih.

Alvandra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang