Happy reading!
S
etelah duduk dengan nyaman, Naila menarik napasnya. "Kamu pernah nuduh aku ngasih obat penggugur kandungan ke Zahra kan?"
Tentu saja wanita yang ada diantara mereka bingung. Namun memilih tetap diam karena bukan dia yang ditanya.
"Kenapa?" tanya Alvandra balik.
"Bukan aku, Al. Aku punya bukti, selama ini aku bener-bener nggak bisa tenang mikirin hal ini."
"Bukti? Mana?"
Naila mengambil ponselnya di dalam tas, memencet sesuatu lalu melihatkan sebuah video pada Alvandra juga Zahra.
Di dalam video tersebut terlihat Faras yang sedang berbicara dengan seorang laki-laki berbadan besar.
Dalam video itu, terdengar Faras berkata. "Berikan obat ini ke minuman perempuan itu, saya akan membayar kalian mahal-mahal kalau berhasil."
Zahra sekarang mulai mengerti. Dia tentu saja terkejut, mengapa selama ini ia tak tahu menahu tentang hal ini?
Tatapannya teralih pada Alvandra, ingin meminta penjelasan walaupun itu hanyalah masa lalu. Wajah laki-laki itu terlihat sedang menahan amarah.
Lalu, Alvandra menatap Naila. "Maaf, saya sudah menuduh kamu yang tidak-tidak."
Naila tersenyum, ia mengangguk. "Nggak papa. Btw, soal kecelakaan Zahra waktu itu, kalian nggak curiga sama dia juga?"
"Gue curiga sama dia. Bukan mau zuudzon, tapi emang dianya mencurigakan. Ada sesuatu yang ngebuat gue curiga juga. Mau nggak cari tahu tentang itu? Eh dia sekarang udah bukan istri Alva lagi kan?" tanya Naila.
Bukan istri Alva, berarti sudah cerai? Zahra lagi-lagi mengetahui suatu hal.
Alvandra mengangguk sebagai jawaban. "Boleh."
"Yaudah, Minggu depan mulai ya?" Lagi-lagi Alvandra mengangguk.
Ponsel Naila tiba-tiba bergetar sebentar. Setelah melihat pesan dari seseorang, Naila menatap dua orang di hadapannya. "Pulang duluan ya, anakku udah nangis di rumah neneknya. Maaf sempat mengganggu waktu kalian."
Zahra ingin bangkit juga dari duduknya ketika melihat Naila sudah tak terlihat. Namun, tangannya dicekal oleh Alvandra. "Ayra, tunggu! Saya ingin berbicara sesuatu."
Menoleh, itu yang dilakukan oleh Zahra setelah menghela napas. "Kenapa?" tanyanya.
Sebelum menjawab, Alvandra menarik tangan Zahra ingin menggenggamnya. Tapi perempuan itu menepis. "Apaan sih!"
Alvandra memejamkan mata. Tak apa sekarang Zahra menolaknya. Ia mengerti, dan tahu bahwa tak segampang itu juga untuk memaafkan kesalahannya yang fatal.
"Duduk dulu," katanya.
"Saya ada urusan," balas Zahra datar.
Melihat mantan suaminya ingin membuka suara lagi, akhirnya Zahra menyerah dengan duduk kembali di sofa tadi.
Alvandra melebarkan senyumnya. Ia kemudian ikut duduk. Mengambil tempat di dekat Zahra.
"Apa?" Dan karena wanita itu sadar Alvandra semakin mendekatinya, dia bergeser sampai ke ujung sofa.
"Ayra, maafin aku," ucap lelaki itu, matanya menatap manik hitam milik mantan istrinya dalam. Bahkan, gaya bicaranya pun dia ubah.
Sebelum kembali berbicara, tangannya meraba tangan mulus milik Zahra, berniat menggenggamnya, tetapi gagal karena pemilik tangan tersebut lagi-lagi menepisnya.
"Kita mulai dari awal lagi, ya?" lanjut Alvandra berharap Zahra luluh.
"Aku nggak bisa." Zahra ikut mengubah gaya bicaranya. Namun, niatnya hanya untuk sementara. Untuk kali ini saja.
"Kenapa? Aku bakal berubah jadi lebih baik lagi. Nggak akan pernah khianati kamu lagi."
"Aku udah terlanjur kecewa, Alva. Kamu bentak aku di depan umum, talak aku di sana. Semuanya cuma karena Faras. Kamu sadar nggak? Gimana malunya aku waktu itu? Nggak kan?" ucap Zahra menjelaskan semua kekecewaannya selama ini.
"Dan kamu tau? Aku trauma karena kejadian yang membuat kita menikah. Tapi aku cuma diem, berusaha buat nggak takut sama kamu. Dan Alhamdulillah aku bisa sedikit ngendaliin diri aku sendiri buat nggak takut dan trauma lagi, walaupun kadang rasa itu suka muncul. Tapi apa? Kamu sia-siain aku, Al," lanjut perempuan itu lirih.
Tangan Alvandra terulur ingin menggenggam tangan putih Zahra. Walau lagi-lagi gagal karena di tolak dengan halus.
"Maaf, aku janji setelah ini nggak ada lagi kalimat Alvandra menyia-nyiakan Ayra."
"Kamu bilang, kamu tau aku belum nikah lagi setelah cerai, kamu yakin kalau Rava anak kamu, tapi? Kamu tes DNA. Seharusnya kalau emang yakin, nggak perlu kayak gitu segala, Alva. Kamu kayak gitu, seakan-akan bilang kalau aku perempuan nggak bener, yang hamil tanpa menikah." Ia tak menjawab sesuai apa yang Alvandra katakan.
Terlalu malas untuk meladeni perkataan itu. Menurutnya sudah basi.
"Aku cuma mau---"
"Mau yakinin? Basi. Dan yang intinya saya nggak bisa kembali lagi sama kamu. Kita hanya akan menjadi sekadar mantan, untuk selamanya." Zahra memotong ucapan Alvandra yang belum selesai. Ia kembali menggunakan saya-kamu. Memang rencananya begitu bukan? Menggunakan aku-kamu hanya untuk sementara saja.
"Saya pamit, anak saya sudah pulang. Assalamualaikum." Setelah berkata demikian, Zahra melangkah keluar tanpa memperdulikan panggilan dari Alvandra.
Jangan lupa vote dan komen. Semoga suka, dan terimakasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvandra (END)
General FictionAlvandra dan Zahra. Dua manusia yang terpaksa menikah dan akhirnya harus hidup bersama selama bertahun-tahun. Apakah pernikahan terpaksa mereka akan bertahan lama? Atau ... bahkan sebaliknya? --- Start: 05 Mei 2021 RILL HASIL PEMIKIRAN SENDIRI