Lil Bonus

2.9K 419 23
                                    

"Satu."

"Thatu!"

"Dua."

"Dua!"

"Tiga."

"Tiga!"

Chenle mencubit pelan pipi gembul anaknya seraya tertawa. "Masih ada yang salah, tapi tidak apa. Anak pintar. Siapa yang pintar?"

"Jinjin." Anak yang duduk di pangkuan Chenle menyentuh dadanya, menunjukkan bahwa dialah anak pintar yang ditanyakan ibunya.

"Eomma! Hm." Anak itu menoleh dan menepuk-nepuk Chenle, kemudian menepuk perut buncit khas anak-anaknya.

"Lapar? Tunggu sebentar, ya?"

Sungjin yang dipindahkan ke atas sofa duduk manis tanpa merengek sedikit pun. Dia sudah tahu ibunya pasti akan membawakannya makanan tanpa dia harus merengek atau menangis.

Chenle senang sekali ketika sadar Sungjin tidak seperti anak pada umumnya yang rewel ketika lapar, kecuali anak itu sudah sangat lapar. Entah menuruni dirinya-Chenle tidak ingat dia rewel atau tidak ketika dia seumuran Sungjin-atau Jisung, gen siapa pun itu Chenle bersyukur sekali gen itu diturunkan kepada Sungjin.

Sungjin memandangi televisi di depannya. Hanya ada warna hitam di kotak lebar itu. Biasanya, sebelum dia makan sudah ada beragam karakter dan orang di sana. Sungjin mengerutkan dahinya, merasa tidak senang dengan warna hitam di depannya.

Dengan hati-hati dia turun dari sofa. Kaki kecil bergoyang-goyang ketika belum menyentuh dinginnya lantai, kemudian mulai berjalan ketika kakinya menapak di lantai. Dipandanginya layar lebar di depannya ketika berada dekat dengan meja televisi, kemudian tangannya menyentuh layar hitam itu dan melepasnya. Matanya melebar, menunggu layar itu memunculkan karakter dan orang-orang yang biasa dia lihat.

"Hm?" dia kembali menyentuh layar, kali ini lebih lama, tapi layar itu tetap berwarna hitam.

Duk! Duk! Duk!

Kedua tangan mungilnya menepuk-nepuk televisi dengan keras.

"Jinjinie? Tunggu sebentar lagi ya?"

Sungjin menoleh sebentar, tapi dia tidak melihat Chenle di mana pun. Kemudian matanya melihat benda panjang di atas sofa. Biasanya ibunya memegang benda itu kemudian karakter-karakter kesukaannya muncul.

Sungjin melangkah cepat untuk mengambil benda panjang itu kemudian mengarahkannya ke televisi. "Muncul!"

Layar tetap hitam dan kesabaran anak kecil itu semakin menipis. Dia goyang-goyangkan benda panjang di tangannya dengan kasar, tapi tetap tidak ada yang berubah. Dia maju beberapa langkah agar dekat dengan televisi, tapi tidak ada yang berubah.

"Aak!"

Kesabarannya habis. Dia melempar benda panjang itu ke televisi, melampiaskan kekesalannya.

"Jinjin- astaga!"

Sungjin membeku di tempatnya. Matanya yang membulat memandang Chenle yang menatap televisi penuh keterkejutan.

"Ya Tuhan... kau apakan televisinya, nak?"

Merasa ditanyakan, Sungjin membuka mulutnya. "Kaltunnya tidak ada." Dia pikir penjelasannya bisa membuat Chenle tampak seperti biasanya, tapi ibunya sama sekali tidak berbicara. Sekarang dia pun merasa takut.

"Appa pulang."

Mendengar suara ayahnya, Sungjin berjalan cepat menuju pintu utama. "Appa!" dia berteriak. Tangannya terentang lebar dan memeluk kaki ayahnya yang sedang melepas sepatu.

"Oh? Jinjinie ingin menyambut Appa? Terima kasih." Jisung yang dipeluk mengusap lembut pucuk kepala anaknya. Senyum diwajahnya berubah menjadi raut heran begitu sadar ekspresi tidak biasa tergambar di wajah Sungjin. Anak itu tampak takut.

"Kenapa?"

"Eomma."

"Hm?"

Jisung mengangkat Sungjin, menggendong anak itu dan membawanya bersamanya untuk melihat maksud Sungjin. Telunjuk Sungjin teracung menunjuk Chenle begitu dia melihat ibunya.

Dahi Jisung berkerut melihat Chenle yang mematung. "Lele?"

Chenle tidak menjawab, hanya menunjuk televisi yang layarnya tidak lagi mulus. Jisung yang melihat juga merasa terkejut, tapi dengan segera tahu siapa pelakunya.

"Eii, anak Appa melakukan sesuatu, hm." Dengan lembut Jisung mencubit hidung muncil Sungjin yang tampak ketakutan.

"Kaltunnya tidak ada. Mau kaltun."

Jisung terkekeh. "Jadi kau lempar remotenya?"

"Apa itu?"

"Benda untuk menyalakan televisinya." Jisung menunjuk benda panjang yang tergeletak di lantai. Bibir Sungjin membulat, kemudian mengangguk. "Tapi tetap tidak ada." Dia menunjuk televisi yang layarnya retak.

"Kalau kau lempar tidak akan muncul, sayang." Jisung meletakkan Sungjin di atas sofa dan mengusap punggung Chenle yang masih membatu.

"Lele, sudah tidak apa. Kita beli saja yang baru."

Chenle menoleh dan memukul pelan pundak Jisung. "Paman Ji mudah sekali mengatakannya."

Jisung ingin membalas karena memang itu mudah untuk dilakukan, tapi Chenle mungkin akan bertambah kesal jika dia membalas seperti itu.

"Sungjin tidak mengerti cara menyalakannya. Wajar jika dia kesal."

Chenle memandang anaknya kemudian menggeleng-geleng. "Kau bisa menunggu eomma membawakan makanan, tapi tidak bisa bersabar karena televisi tidak menyala?"

"Eomma pasti datang. Itu tidak tahu."

"Eomma pasti datang, tapi televisi belum tentu bisa menyala? Maksudmu karena eomma pasti datang jadi Jinjinie tidak pernah menangis jika lapar?"

Chenle tersenyum ketika Sungjin mengangguk. "Aigoo, baiklah. Eomma maafkan karena kau lucu."

Sungjin tersenyum. "Terima kathih."














--
Daripada membusuk di draft, mending Z publish aja chapter ini :) masih ada beberapa lagi, tapi belum tau mau Z publish apa ngga, tergantung mood Z hehehe.

Pasti kesannya aneh karena sebenernya cerita ini kan udah selesai. Tapi Z tiba-tiba pengen nulis cerita batitanya Sungjin satu bulan yang lalu. Cuma beberapa aja sih.

Our Days [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang