"Paman Ji."
Jisung yang baru saja berbaring di ranjang menoleh dan memandangi Chenle yang tampak sedikit murung. Meski sudah bertahun-tahun bersama, Jisung masih tetap merasakan ngilu setiap kali melihat Chenle murung seperti ini. Jadi dia menempelkan tubuhnya dengan Chenle dan memeluk pinggang pasangannya.
"Kenapa, hm?"
"Apa Lele harus mengubah panggilanku untuk Paman Ji? Uh, tetangga baru mendengar kemarin dan tadi kami mengobrol sebentar. Dia bilang panggilan Lele untuk Paman Ji aneh."
Jisung mengernyit. Dari nada Chenle bicara, Jisung bisa tahu ada yang lebih dari itu. "Dia pasti mengatakan lebih dari itu."
Chenle terdiam dan diam itu Jisung ambil sebagai sebuah jawaban untuk pernyataannya.
"Katakan apa yang tetangga baru itu katakan kepadamu."
"Um, dia bilang... dia bilang pernikahan kita pasti tidak akan bertahan lama karena perbedaan umur yang jauh. Pasti sebentar lagi selesai."
Jisung merasa seperti ditusuk sepuluh pisau secara bersamaan. Itu menyakitkan, sangat menyakitkan untuknya. Jika ini sudah sangat menyakitkan untuknya, bagaimana dengan Chenle? Chenle memiliki perasaan yang sensitif, kata-kata seperti itu sangat mungkin bisa membuatnya menangis.
"Lele... baik-baik saja?" Jisung bangun dan merangkul Chenle.
"Uh..." Chenle menoleh kepada Jisung, tapi kemudian menoleh ke arah lain, kepalanya mengadah ke atas.
Tanpa berkata apa pun Jisung Chenle dengan erat. Punggung Chenle dia usap dengan lembut. "Tidak apa, tidak apa."
Chenle menyeka air matanya. "Maaf karena menangis atas perkataan orang lain."
"Tidak ada yang salah dari menangis. Lagipula perkataan itu juga menyakitiku, wajar saja jika itu juga menyakiti Lele."
Jisung melepas pelukannya, tangannya berpindah ke wajah Chenle, menangkup wajah pasangannya dan mengusap kedua pipinya. "Yang bisa menentukan berapa lama pernikahan ini berjalan adalah kita. Mereka sama sekali tidak bisa. Kita sudah menikah hampir enam tahun, mungkin bagi orang lain belum ada apa-apanya, tapi mereka tahu apa? Selama ini aku selalu berada di sisi Lele dan tidak pernah pergi. Kita pernah berdebat, tapi kita selalu mengakhirinya dengan baik. Kedua mataku hanya bisa melihatmu dan anak kita. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Lele. Aku tidak pernah melihat kemungkinan untukku meninggalkan Lele, apa Lele pernah?"
Chenle menggeleng. Dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri apa yang dia miliki sekarang. Bahkan di saat dia begitu lelah, dia tidak pernah merasa terbebani untuk mengurus keluarga kecilnya. Chenle menyayangi suami dan anaknya, mereka adalah sumber kehidupan Chenle. Tanpa mereka mungkin Chenle tidak akan mampu melanjutkan hidup. Mereka adalah cahaya mentari untuknya.
"Lele tidak bisa hidup tanpa Paman Ji dan Sungjin."
"Ucapan mereka hanya angin lewat belaka. Mungkin dia pernah mengalami kejadian yang dia katakan atau mungkin dia hanya iri."
Chenle menyentuh tangan Jisung yang berada di pipinya. "Menurut Paman Ji begitu?"
Jisung mengangguk. "Ya. Sudah, jangan lagi dipikirkan. Ah, soal nama panggilan itu. Aku tidak pernah merasa jika itu aneh. Akan terasa aneh jika Lele memanggilku hyung— ugh." Jisung bergidik. Ingatan ketika mereka bertengkar karena hal sepele dan Chenle memanggilnya hyung lewat di kepalanya. Tidak hanya saat itu, tapi juga saat lainnya. Chenle selalu memanggilnya hyung ketika keadaan mereka sedikit tegang. Panggilan itu membuat Jisung trauma.
"Lele bisa memanggil dengan panggilan lain jika Paman Ji mau. Seperti... y-yeobo?"
Jisung terkekeh. Itu terdengar canggung di telinganya. Dia pun menggeleng. "Sudah, tidak perlu dipaksakan. Aku suka panggilanku yang sekarang. Biar saja orang lain tidak suka, mereka tidak tahu makna di baliknya." Jisung mendekat dan memberikan kecupan di kedua mata Chenle, kemudian pindah ke pucuk hidung, lalu ke kedua pipi pasangannya. "Jangan bersedih lagi."
Senyum Chenle mengembang dan dia memberikan kecupan singkat di bibir Jisung. "Terima kasih, Paman Ji."
"Sama-sama. Sekarang ayo tidur, besok kita akan pergi ke taman hiburan dengan Sungjin. Kita butuh banyak tenaga."
Jisung melirik rumah di sebelahnya. Dia sedang "jalan pagi" sekaligus memeriksa manusia macam apa yang berani membuat Chenle menangis. Jisung berdecih begitu melihat seorang wanita dengan tampilan mencolok sedang berjalan keluar dengan anjing mungil digendongannya. Dari tampilannya, kemungkinan besar wanita ini yang sudah membuat Chenle menangis.
"Pagi." Jisung menyapa ketika wanita itu membuka pagar rumahnya.
Wanita itu menoleh dan tampak terkejut. Senyumnya kemudian dipoles secantik mungkin seraya membalas sapaan datar Jisung.
"Pagi. Tetangga sebelah, benar?"
Jisung hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban. "Apa kau kemarin berbincang dengan pasanganku lusa yang lalu?"
"Yah, itu tergantung pembicaraan mana yang kau bicarakan."
"Komentarmu tentang pernikahan kami."
Wanita itu tampak berpikir sesaat sebelum menepuk kedua tangannya. "Ah, itu. Apa ada yang salah dengan itu?"
Jisung tertawa sinis. "Kau pernah mengalami pernikahan seperti itu atau bagaimana hingga berani menilai pernikahan kami seperti itu?"
Wanita itu mengendikkan satu bahunya. "Memang pengalaman. Aku hanya memeringatinya. Biasanya itu yang terjadi, belum lagi jika pasangannya tampan sepertimu."
Jisung ingin sekali menjambak rambut wanita ini.
"Lalu tentang panggilan kalian. Itu memang aneh dan kekanakan. Tidak ada pasangan yang memanggil satu sama lain seperti itu. Itu menunjukkan jarak dalam pernikahan kalian, aku bisa melihatnya."
Jisung terdiam, tapi kemudian tertawa pelan dan tawanya semakin membesar sebelum dia berhenti.
"Wah, pantas saja pernikahanmu tidak berhasil. Kau jelas bukan istri yang pintar. Ini terlalu jelas. Pernikahanmu didasarkan atas kau menikahinya karena hartanya dan dia menikahimu karena selangkangannya bukan?"
Jisung tersenyum puas begitu wanita itu tampak marah dan malu di saat yang bersamaan. "Jelas sekali tidak akan bertahan. Semakin dia tua, rasanya semakin merepotkan bukan? Hahaha, aku kasihan padamu."
"Yak! Seperti kalian tidak saja!"
"Oh, memang tidak." Jisung tersenyum sinis. "Satu lagi, kau jelas bukan wanita pintar jadi jangan berlagak pintar. Satu-satunya hal yang bisa kau lihat adalah ilusimu sendiri, hal-hal yang kau percaya, bukan fakta. Jangan pernah berani mencoba membaca pernikahan kami karena jelas kau tidak akan bisa. Apa yang terlihat di permukaan belum mencerminkan apa yang ada di dalamnya. Jangan pernah berani berbicara dengan pasangaku lagi. Jika aku sampai memergokimu, aku akan menghancurkan hidupmu. Camkan itu."
Jisung menaruh kedua tangannya di saku jaketnya dan pergi dengan santai. Persetan dengan wanita yang sekarang berteriak itu. Biar tetangga lain yang menegurnya atau mengajukan protes. Akan lebih baik jika mereka sampai membuat petisi untuk meminta wanita ini pindah.
Jisung mengulas senyumnya lebar kala Chenle menyambutnya ketika dia membuka pintu. "Pagi, Lele."
"Jinjinie hampir menangis karena dia pikir kita tidak jadi pergi."
"Oh, maaf, tadi aku lari pagi sebentar."
"Hm? Paman Ji lari pagi? Bukankah Paman Ji selalu bilang Paman Ji terlalu malas?"
Jisung terkekeh. "Tidak untuk pagi ini."
--
Lebih cepat dari yang Z kira ternyata update chapter yang ini haha.Sambil nungguin Z update bonus Our Days, kalian bisa baca Ocean Deep lho hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfic✨A Story by Z✨ ⚠️Age gap ▶JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB ⚠️Mpreg ▶️top!Jisung [220721] #1 in minhyung (out of 4.18k stories)