Ngidam! [Part 2]

6.1K 798 40
                                    

Matahari sudah berada di puncaknya. Chenle melirik jam dinding di ruangannya dan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sudah waktunya istirahat dan perut Chenle sudah lapar.

Chenle sedang bangun dari duduknya ketika pintu ruangannya terbuka, menampakkan seorang pria dengan wajah khas baratnya dan seorang lelaki yang lebih pendek di sampingnya.

Lelaki itu melambaikan tangannya pada Chenle dengan senyum lebar. "Chenle!"

Pria di sampingnya juga tersenyum padanya. "Renjun made this for you." Harvey, pria itu, menunjukkan sebuah kotak makan berwarna biru muda lalu meletakkannya di meja Chenle.

Chenle menggaruk tengkuknya. "Uh... terima kasih gege. Tapi aku sedang ingin sesuatu yang lain. Hahah, bawaan hamil." Dia berucap kikuk.

Renjun yang mengerti membulatkan bibirnya dan mengangguk. "Tidak apa-apa, aku dan Harvey bisa memakannya. Kau puaskan saja bayimu itu. Aiyoo, jadilah anak yang baik eoh." Lelaki itu membungkuk, seolah berbicara pada calon bayi dalam perut Chenle.

"Sekali lagi maaf, gege."

Renjun mengibaskan satu tangannya. "Jangan khawatirkan itu. Kalau begitu, aku dan Harvey pergi." Lelaki itu menarik pria di sampingnya dan keduanya pun pergi.

Chenle yang lapar melangkah keluar dari ruangannya seraya melihat-lihat ponselnya, mencari restoran atau kedai dengan ramen yang lezat.

Lelaki berkulit pucat itu terus menatap ponselnya hingga tidak terasa dia sudah berada di luar gedung. Chenle memandang sekeliingnya lalu kembali menatap ponselnya. Ada restoran dengan ramen yang lezat, tapi sedikit jauh dari sini. Namun Chenle tidak masalah karena masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Perutnya yang sudah sedikit membesar dielus dengan lembut. "Aegi-ya, ayo kita jalan-jalan!" Chenle berucap dengan senyum lebar.

Chenle memulai perjalanan kecil bersama calon bayinya. Cuaca hari ini cukup cerah dan meskipun sudah memasuki musim panas, udaranya cukup sejuk, hari yang cukup sempurna untuk jalan-jalan. Mata Chenle memandangi sekitarnya. Ada banyak toko yang dia lewati dan ada banyak yang bagus, terutama toko boneka dan peralatan rumah. Chenle pikir mungkin dia harus mengajak Jisung untuk melihat-lihat ke sana.

Karena akan lebih baik bersama Jisung untuk berjaga-jaga jika saja Chenle ingin membeli sesuatu.

Chenle kembali memeriksa ponselnya. Restoran yang ditujunya tidak jauh lagi. Chenle mengusap perutnya. "Aegi-ya, kita hampir sampai."

Chenle tersenyum ketika logo dari restoran tujuannya sudah bisa terlihat. Namun ketika hanya tersisa beberapa langkah lagi, tangannya ditarik seseorang.

Chenle sudah siap menghajar dan mengomeli orang yang menarik tangannya, tapi menahan semuanya ketika melihat wajah tampan suaminya.

"Jangan tiba-tiba menarik Lele seperti itu, hampir saja Lele menghajar Paman Ji."

Jisung terkekeh. Kalaupun Chenle memukulnya, Jisung tidak yakin dirinya akan merasakan sesuatu.

"Maaf. Lele sedang apa sendirian di sini, hm? Dimana Haechan?"

"Haechan sudah berjanji makan siang bersama Minhyung hyung, jadi tidak bisa menemani Lele makan ramen. Paman Ji sendiri kenapa di sini?"

"Aku dan ayah mertua sedang melakukan riset di sekitar sini tadi, sekarang kami sedang mencari restoran yang bagus untuk makan. Lele ingin ramen? Sekarang kan musim panas... Lele sudah menemukan restoran?"

Chenle mengangguk. "Iya, Lele ingin ramen. Paman Ji dan baba makan dengan Lele saja."

Jisung tersenyum. "Tunggu di sini, aku akan memanggil ayah mertua dulu."

Chenle tetap diam di tempatnya ketika Jisung berjalan menjauh. Perutnya berbunyi dan Chenle pun terkekeh. "Sabar aegi-ya, appa sedang memanggil wai gong."

Begitu Chenle dapat melihat ayahnya yang sedang berjalan ke arahnya, Chenle melambaikan tangannya. "Baba!"

Sudah cukup lama sejak Chenle dan Tuan Besar Zhong bertemu. Tuan Besar Zhong pun berlari cepat menghampiri anaknya dan menghambur memeluk Chenle.

"Hai anak baba! Sudah lama sekali. Apa kau sehat?" Tuan Besar Zhong mengusap punggung anaknya.

"Ya, sudah lama. Lele baik! Bagaimana kabar baba?"

"Baba baik dan sehat." Tuan Besar Zhong melepas pelukannya namun tangannya menggandeng tangan Chenle yang terbebas dari ponsel.

"Jisung, kenapa tidak bilang jika ada Chenle?"

Jisung tersenyum seraya menggoyangkan kedua tangannya. "Kejutan."

Ketiganya akhirnya masuk ke dalam restoran yang Chenle tuju. Ketika memesan makanan masing-masing, Tuan Besar Zhong dan pelayan yang mengambil pesanan mereka mengerutkan dahi mendengar pesanan Chenle. Karena ini musim panas, orang-orang lebih memilih untuk memesan naengmyeon. Namun Chenle dengan wajah gembiranya memesan semangkuk ramen pedas.

Akhirnya setelah menunggu cukup lama, makanan mereka pun tiba. Semangkuk ramen berukuran besar yang diletakkan di depan Chenle menjadi pusat perhatian bagi Tuan Besar Zhong dan Jisung. Ini bukan masalah ukurannya...

Tapi seberapa merah kuah ramen itu.

Jisung menelan salivanya. "Lele yakin Lele kuat?"

Chenle mengangguk dengan yakin. "Lele sedang ingin makan sesuatu yang sangat pedas dan berkuah. Selamat makan baba, Paman Ji." Lelaki itu membuka mulutnya, siap melahap sesendok ramen berkuah merah itu.

"Tunggu, tunggu." Tuan Besar Zhong menahan tangan anaknya. Chenle pun menatap Tuan Besar Zhong dengan sedikit kekesalan terlihat di matanya. "Ada apa, baba?" Tanyanya.

"Kau yakin perutmu kuat? Bagaimana jika sesuatu terjadi setelah kau memakan makanan sepedas ini?"

Chenle mengangguk. Jika dia menginginkan ini, itu berarti tubuhnya lebih dari mampu untuk menanganinya. Itu adalah yang Chenle pikirkan.

"Sudah ya, selamat makan."

Chenle hampir memasukkan sesendok ramen itu ke dalam mulutnya sebelum Jisung menahan tangannya.

"Apa lagi?"

"Lele yakin?"

Chenle yang merasa frustasi karena ditahan dari apa yang diinginkannya, mengerutkan dahinya dalam dan matanya mulai memerah. "Iya! Lele yakin!" Jawabnya penuh penekanan.

Chenle kembali menyendokkan ramennya dan kali ini Jisung dan Tuan Besar Zhong menahannya.

Chenle melempar sendoknya ke atas meja. Dadanya naik turun dengan cepat. "Lele hanya ingin makan! Kenapa ditahan?!"

Air mata lelaki yang sedang mengandung itu mengaliri kedua pipinya. Chenle menatap nyalang kedua pria di depannya dengan kondisi dirinya yang sedikit terisak.

Tuan Besar Zhong melambaikan satu tangannya. "Bukan bermaksud menahan, kami hanya takut nak."

Jisung mengangguk cepat, membenarkan pernyataan mertuanya. "Namun jika Lele merasa sanggup makan saja, tidak apa-apa."

Jisung tidak ingin Chenle menangis, maka dari itu dia mengalah, mengebelakangkan ketakutannya.

Chenle kembali mengangkat sendoknya. Matanya menatap Jisung dan babanya dengan tajam. "Jangan tahan Lele lagi." Dia memperingatkan dengan nada datar, memberi kesan menakutkan bagi Jisung dan Tuan Besar Zhong yang tidak pernah melihat Chenle seperti itu.

Jisung membuat catatan di kepalanya. Jangan pernah menahan Chenle yang sedang hamil dari apa yang diinginkannya.




Our Days [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang