Bonus! [Part 3]

9.7K 1.2K 150
                                    

Chenle mengerjapkan matanya beberapa kali ketika dia terbangun. Matanya menyapu sekitarnya dan alisnya tertaut begitu melihat ruangan asing yang diisi oleh beberapa orang.

"Syukurlah kau sudah bangun."

Chenle menoleh dan mendapati Haechan duduk di sampingnya. Lelaki berkulit madu itu tampak seperti baru bangun tidur.

"Haechan, kenapa aku di sini?"

"Kau tiba-tiba tidak sadarkan diri! Kita di UGD sekarang. Ya Tuhan, semuanya panik tadi! Huuh... Chenle, sepertinya kau kelelahan belakangan ini."

Chenle hanya terdiam, tangan kanannya bergerak mengambil minum yang dipegang Haechan dan tangannya yang lain mengusap perutnya.

"Oh ya, di ambulans tadi aku menghubungi Jisung hyung."

Mata Chenle terbelalak dan lelaki itu menggerakkan tubuhnya menghadap Haechan dengan cepat. "Haechan, seharusnya jangan."

"Lho, memang kenapa?"

Tepat saat itu, sesosok pria yang tinggi dengan rambut hitamnya yang berantakan datang. Wajahnya tertutup masker, tapi hanya dengan melihat sekilas saja Chenle tahu itu Jisung.

Nasi sudah menjadi bubur, Jisung sudah di sini dan Chenle tidak bisa melakukan apapun tentang itu.

"Lele, Lele tidak apa?! Apa Lele merasa sakit? Pusing? Mual? Lele ingin sesuatu? Apapun—"

"Paman Ji, tenang." Chenle bangun dan menarik tangan Jisung, mengusapnya, menenangkan Sang Suami yang panik. "Tenang, Lele baik-baik saja."

"Setelah empat tahun menikah kau masih memanggilnya Paman Ji? Serius?"

Chenle melirik Haechan. "Mau bagaimana lagi, sudah biasa."

"Dan aku lebih menyukai panggilan itu ketimbang panggilan lain." Jisung yang sudah tenang menambahkan

Mata Haechan memicing. "Memangnya Chenle pernah memanggil hyung apa selain Paman Ji?"

"Hyung." Jisung menjawab. Ingatannya kembali pada kejadian di depan kamar tamu tadi pagi.

Kedua alis Haechan tertaut dikarenakan rasa heran. "Itu terdengar lebih bagus."

Namun Jisung menggeleng. "Jadi tidak istimewa."

Haechan berdecak seraya menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, kutinggal kalian. Chenle, aku pulang." Haechan berdiri dan melangkah menjauh setelah menutup bilik Chenle.

Begitu Haechan pergi, Chenle secara tiba-tiba memeluk Jisung dengan erat. Dikarenakan posisi Jisung yang berdiri, wajah Chenle terbenam di perut Sang Suami yang terasa keras.

"Maaf karena bersikap menyebalkan semalam. Lele hanya kesal karena Paman Ji tidak merawat diri dengan baik. Bukan bermaksud buruk, tapi Lele takut sesuatu terjadi walau Paman Ji hanya melewatkan beberapa rutinitas." Suara Chenle bergetar.

Mata Jisung terasa panas, tapi untuk kali ini Jisung menahan air matanya. Chenle benci menangis di tempat umum. Jika Jisung menangis pasti Chenle juga akan menangis. Seorang suami tidak boleh menangis di depan istri ketika keadaan buruk, bagaimana istrinya akan bertahan jika dirinya sebagai suami tidak bertahan?

"Aku juga minta maaf karena membentakmu dan bersikap buruk semalam." Jisung membelai kepala Chenle dengan lembut. "Aku kelelahan karena tidak melakukan rutinitas sehat yang sudah Lele buat untukku. Aku yang salah."

Jisung tersenyum ketika Chenle mengangkat kepalanya dan menatapnya. Disekanya genangan air mata yang hampir lolos dari pelupuk istrinya dengan lembut. Chenle pun melakukan hal yang sama pada Jisung setelahnya. Keduanya melempar senyum manis pada satu sama lain.

"Oh iya, Paman Ji."

Jisung menangkup wajah Chenle dengan kedua tangannya dan salah satu ibu jarinya membelai pipi Chenle.

"Kenapa, hm?"

"Lele ingin memberitahu sesuatu."

"Aku akan mendengarkan."

Tatapan manis Chenle berubah menjadi tatapan mengancam. Namun tetap terlihat menggemaskan jika dilihat. "Tapi Paman Ji jangan bereaksi berlebihan."

Jisung melebarkan senyumnya dan mengangguk.

"Paman Ji..." Chenle melepas salah satu tangannya untuk memegang salah satu tangan Jisung. "Kita akan menjadi orang tua."

Jisung membeku, senyumnya surut. "A-apa?"

Chenle kembali membenamkan wajahnya pada perut Jisung, wajahnya terasa panas. "Lele hamil."

Bibir Jisung tertarik membentuk senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. Sesuatu dalam dadanya terasa membuncah seolah-olah akan meledak dan menghasilkan ribuan konfeti dalam dirinya. Namun air mata mengaliri wajahnya. Jisung sulit menjelaskan perasaan ini.

"B-benarkah?"

Chenle mengangguk. "Ung! Sudah empat minggu."

Tangan Jisung bergetar, tapi pria itu masih bisa mengeratkan pelukannya dan kembali membelai kepala Chenle dengan begitu lembut.

"A-apa ini... aku... aku memperlakukan Lele dengan buruk semalam, tapi Lele malah memberikanku hadiah terbaik."

"P-Paman Ji, jangan bicara seperti itu. Kalau Lele tidak marah pada Paman Ji kemari pasti Paman Ji tidak akan membentak Lele. Hiks..., jadi jangan meny—, hiks, menyalahkan diri sendiri. Hiks, hiks."

Jisung terkekeh sembari menyeka air matanya. "Baiklah." Jisung dengan perlahan mengangkat kepala Chenle, membuat istrinya menatap matanya.

"Bagaimana Lele tahu?" Jisung bertanya seraya mengusap kedua pipi Chenle, menyeka air mata istrinya.

"I-ingat minggu lalu? Lele dan mama check-up rutin."

Jisung ingat. Seharusnya minggu lalu dirinya juga check-up rutin bersama Chenle dan Nyonya Besar Zhong, tapi tiba-tiba saja Tuan Besar Zhong menghubunginya di tengah jalan dan meminta Jisung untuk segera ke kantor. Jika saja Jisung tidak pergi mungkin dia sudah tahu.

"Siapa yang pertama tahu?"

"Mama. Yang kedua baba. Maaf karena Paman Ji bukan yang pertama."

Jisung menggeleng. "Itu tidak masalah. Yang terpenting aku tahu sekarang." Pria itu tersenyum. "Jadi kau tidak sadarkan diri karena kelelahan?"

Chenle mengendikkan bahunya. "Sepertinya begitu. Dokter Jung bilang Lele akan lebih cepat kelelahan."

Tangan Jisung bergerak untuk menyentuh hidung Chenle. Dielusnya sesaat sebelum memberikan cubitan pada hidung menggemaskan itu. "Tapi Lele tidak mendengarkan. Seminggu belakangan ini Lele sibuk sekali, terutama hari ini."

Chenle pun mengerucutkan bibirnya, merasa sedikit tidak terima dengan perkataan Jisung. "Bukan tidak mendengarkan, tapi lupa."

Jisung memberikan cubitan lagi pada hidung Chenle. "Apapun yang Lele katakan."

Chenle mengernyitkan hidungnya. "Ih, itu benaaar."

"Apa kita ke Dokter Jung saja sekarang?"

"Dokter Jung tidak ada hari Minggu. Kita pulang saja."

"Akan kutanyakan pada perawat dulu."

Chenle menggeleng dan tangannya menahan mengeratkan pelukannya, menahan Jisung yang hendak pergi. "Tidak perlu, kita kabur saja."

Jisung tidak bisa menahan tawanya ataupun keinginannya untuk mengecup bibir mungil Chenle.

"Terima kasih banyak, Lele."

Our Days [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang