➤ ; 12 ‧ Dari Lensa Kamera ‧ 🍀 -

1.3K 240 15
                                    

"Don, Gilda!"

Pemilik dua nama itu menoleh, mendapati Emma yang berlari membawa lentera, [Name] yang jalannya agak pincang dibantu oleh Emma, Ray yang datar seperti biasanya, dan Norman dengan ekspresi maaf.

"Maaf, aku tidak menyadarinya." kata Emma. "Aku siap dibenci, tapi tidak siap untuk memercayai kalian!"

"Maaf, kesannya aku meninggalkan kalian berdua, ya? Satu hal yang ingin kukatakan, otsukaresama*." [Name] tersenyum minta-maaf, dimana bibirnya memang menunjukkan kurva, tetapi matanya seakan berkata "aku bersalah.".

"Aku juga." Norman datang disebelah kiri [Name].

"Maaf."

"Kami juga. Maaf tadi tiba-tiba memukulmu, [Name]. Kau baik-baik saja? Tentu tidak, 'kan?" Don meminta maaf dan bertanya.

"Tidak apa. Tenang saja, aku bisa meminta Mama atau Vidia mengobati lenganku." ujar [Name]. Ia mengulas senyum lembut.

"Maaf, kami bertingkah sesukanya." kata Gilda.

"Ya. Ray pasti marah." sesal Don.

"Dia tidak akan marah padamu, akan kupukul kepalanya sampai dia memaafkanmu." kata [Name].

"Jadi, ayo Ray. Minta maaf sebelum aku menjitak kepalamu." tegas [Name].

"Iya, iya. Kalau sesuatu terjadi aku akan mengurusnya." ucap Ray. Dari kejauhan.

Don menatap Ray dengan mata berbinar. Terharu.

"Maaf atas kelakuanku juga, aku minta maaf." lanjut Ray. [Name] mengangguk dan tersenyum.

"Don, Gilda, aku tidak akan bohong. Jadi kutanya sekali lagi." Emma menghela napas. "Kalau kita mengacau, kita akan mati. Dunia luar itu kejam dan penuh dengan iblis. Meski begitu, apa kalian mau lari bersama kami?"

Don dan Gilda bertukar pandang sesaat, memasang senyum percaya diri dan mengangguk. "Tentu saja!" kata mereka bersamaan.

[Name] tersenyum. Melihat hal seperti ini mengangkat rasa lelah dan stresnya. Bisa mengurus masalah yang tidak begitu besar sebelum mengurus masalah yang sebenarnya. Hari kematiannya semakin dekat. Dia tak tau harus apalagi. Melawan? Atau pasrah?

"Sekarang, ayo tidur. Tidak ada yang ingin bangun terlambat besok, 'kan?" kata [Name].

🔮🔮🔮

- [Name]'s POV -

Parah. Sakit parah. Don makan apa sampai bisa sekuat ini?

Bangun pagi tadi tanganku rasanya perih. Aku menemui Vidia setelah ganti baju. Kakiku dinyatakan sembuh. Dan tanganku dinyatakan sakit. Aku tak tau alasan apa yang harus kubuat jikalau Isabella tau tanganku kaku dan lebam. Gak akan bohong, setelah diberi obat dari Vidia sakitnya berkurang. Setidaknya kira-kira 10% rasa sakitnya hilang. Biru dari lebamnya juga terlihat tak separah sebelumnya.

"Jadi Don ingin memukul Norman, tapi kau menghalanginya?" Vidia melempar tatapan tak percaya dan menutup kotak P3K. "Bodoh."

"Tapi hebat juga, 'kan? Aku tidak terpelanting ketika menahan pukulannya." kataku.

Vidia menggeleng, lalu menghela napas. "Jangan konyol. Bukankah justru seharusnya laki-laki yang melindungi perempuan?"

"Tapi waktu itu.. Rasanya daripada sengaja tubuhku bergerak sendiri."

"Kamu beruntung tidak langsung menerima pukulan tangan Don. Sesaat sebelum kau dipukul, Kau.. Entah sepertinya sihirmu bereaksi langsung. Membuat barrier. Meski barriernya lemah, sih." Vidia menyimpan kotak P3K kembali ke lemari putih ruang perawatan.

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang