➤ ; 33 ‧ Lastly.. ‧ 🍀 -

555 100 25
                                    

Aku berlari tergesa-gesa melewati rimbun pohon. Memacu kakiku untuk berlari lebih cepat. Tak peduli rambutku yang beterbangan ke belakang dan rokku yang berkibar menyentak-nyentak tak terkendali.

"Tunggu- [Name]!" Norman memanggilku dari belakang.

"Apanya yang tunggu?! Anak-anak dalam bahaya!" bentakku.

"Diam dan ikuti aku ke shelter!"

Aku melihat ujung hutan, itu adalah padang kosong yang berdebu dan berpasir. Di sana terlihat anak-anak di shelter melambai. Hampir sampai.

"A- ada yang mau kami bicarakan!"

"Seluruh anak-anak yang ada di Plant akan dikirim malam ini!"

"Cepat masuk dan buat rencana!"

🔮🔮🔮

"Kacau, kacau semua." Aku menggigit jempolku. Kurasakan rasa besi dari luka terbuka diujung jari itu. "Gara-gara gue.."

"Vidia juga," aku menjilat lukaku. Luka itu berangsur-angsur menghilang, seperti air panas yang menguap. "Kampret!"

"[Name], tenang." Norman mengusap bahuku.

"Gimana mau tenang?!"

Aku menghela napas kasar. Lalu menatap semua orang di sana dan tersenyum. "Maaf, semuanya. Aku permisi dulu,"

Cklek! Pintu di belakangku tertutup. Aku berjalan lemas ke dapur. Sampai di dapur, aku mengambil gelas dan menyalakan keran air. Kuisi gelas itu, lalu kuteguk airnya kasar.

"Gimana dong?" Aku mengacak rambut frustasi.

"Kita nggak sempet ngambil chip sambungan buat pena gara-gara gue buru-buru."

"Gue belum yakin apa Norman sama yang lainnya udah persiapin balon udara sama tipuannya.."

Aku mengusak rambutku kasar. "Kacau."

"[Name], kamu baik-baik saja?"

Aku menengok. Ray. Aku lalu tersenyum. "Kelihatannya?"

"Enggak." Ray duduk di sampingku.

"Kamu kenapa?" tanya Ray.

"Nggak ada apa-apa kok. Lagi pula ini masalah yang harus aku selesaikan sendiri."

"Jangan begitu. Kamu sendiri yang bilang, 'Jika ada masalah, aku siap untuk mendengarnya' atau apalah itu ke Norman kan?"

"Iya sih,"

"Jangan menjilat ludahmu sendiri. Ceritakan masalahmu,"

"Maaf, tapi sepertinya tidak bisa."

"Kenapa tidak? Ceritalah."

Aku menatap Ray. "Tidak seperti dirimu ya,"

Diam, aku memilin ujung rambutku dan menghela napas. "Aku menghancurkan semuanya." ujarku dengan senyum.

"Tidak. Tidak ada yang kau hancurkan." Ray menatapku serius.

"Aku membuat Norman meledakkan kota iblis lebih cepat."

"Tapi itu juga membuat kita bertemu Mujika dan Sonju lebih cepat 'kan?"

Aku tersenyum. "Aku terlalu buru-buru ke sini, dan melupakan soal chip sambungan pena. Chip itu berisi denah lengkap markas pusat dan bahan obat untuk Norman."

"Tapi kamu memberi dia ramuan penyembuh." Ray menyahut. "Tidak ada hal yang begitu buruk."

"Omong-omong, dari mana kamu bisa tahu aku memberi ramuan penyembuh pada Norman?" tanyaku.

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang