Kami berjalan lagi untuk mencari akses ke bawah tanah. Vidia sesekali mengambil tanaman, lalu menggigitnya. Yah, di lihat-lihat mungkin aneh, tapi dia sedang memastikan tanaman itu tidak beracun.
Matahari tenggelam, kegelapan hampir membutakan mata kami. Beruntung ada tanaman berbentuk semacam kristal yang bercahaya(?). Kami turun ke bawah tanah. Kami menyiapkan makanan, dan makan seperti sebelumnya.
"Mujika, kelompok anak-anak itu akan ada di dekat akses masuk bawah tanah ini, tolong bantu mereka," kataku seraya mengambil gelas teh.
"Siap!" tukas Mujika ceria.
"Lalu Sonju, bantulah aku membantu satu anak yang di kejar iblis dari Grace Field."
"Oke. Tapi, bagaimana kau tahu?"
Aku tersenyum lalu melambai asal. "Matematika."
"Ayo bersiap."
Sonju mengangguk. "Aku punya bom asap,"
"Bagus."
Tanganku membuka ritsleting ransel dan mengambil sebuah masker kain hitam. Vidia melirik bingung. "Kenapa pakai masker?"
"Corona." Aku menjawab sambil cekikikan melihat Vidia memutar mata. "Bercanda. Iseng saja. Apa mereka bisa mengenaliku meski wajahku tertutup?"
"Bisa. Mata Raspberrymu itu mencolok tahu."
"Milikmu juga sama saja,"
Aku memakai masker itu menutupi setengah wajahku, lalu memakai jubah karena ini adalah malam yang dingin. Vidia mengecek sebuah alat pelacak.
"Koordinatnya sudah tidak jauh."
"Nah, ayo!"
🔮🔮🔮
- Author's POV -
Ray menatap belakang, iblis-iblis itu masih mengejar. Napasnya pendek, paru-paru dan jantungnya memompa cepat tanpa ampun. Terbesit dibenaknya untuk melempar syal hitam pada lehernya, tapi apa kata [Name] nanti? Ini satu-satunya benda yang ditinggalkan untuknya selain gelang tipis yang agak nyentrik di pergelangan tangannya.
Dia terus berlari, membentak kakinya supaya dapat melewati batas. Melompat, namun dalam waktu pendek, dia sudah terkepung. Ray diam terengah-engah, merasa tak kuasa untuk berlari.
"Sudah berakhir. Sudah cukup,"
"Kau sudah berlari dengan baik."
"Menyerahlah!"
Ray terjerembap jatuh ke tanah. Keputus asaan mulai menyebar ke lubuk hati nuraninya, melempar jangkar seperti kapal di pelabuhan. Tidak! Dia sama sekali tidak menginginkan ini! Dia ingin bertemu gadis itu lagi, masih ingin membelai rambut indahnya, masih ingin menatap mata berkilaunya.
Karna Ray tahu, dia masih hidup!
Ctak! Ctak!
Sring!
Suara itu mengusik pendengaran lelaki itu, sempat dia menoleh. Ada perempuan dengan jubah ungu dan hitam. Jubah ungu itu.. Vidia. Jubah hitam. Perempuan yang sangat dikenalnya. Meski wajah di tutup masker, mata Raspberry yang persis seperti milik Vidia dan helai rambut [haircolour] dari tudungnya itu.
'Sudah kuduga, kau pasti masih hidup.'
Tubuhnya terasa terangkat, tanpa dia ketahui, dia sudah ada ditangan seorang pria besar.
- [Name]'s POV -
"Miss Roschafell, benar? Kebetulan sekali. Kami akan mencincang dagingmu dan menjadikannya makan malam,"
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -
FanfictionTerombang-ambing disebuah tempat gelap tanpa ujung dan tidak mengenal waktu adalah hal yang tak menyenangkan. Apalagi setelahnya seorang perempuan berambut ungu gelap dan bernetra sewarna rasberi matang datang memberitahu bahwa kau telah mati dan ak...