➤ ; 09 ‧ Dream ‧ 🍀 -

1.4K 294 16
                                    

Note: Trigger Warning!
-Sensitive Words
-Physical Abuse
Bagi yang merasa tak nyaman dengan konten diatas harap meninggalkan chapter ini!

- [Name]'s POV -

"Ada apa?" tanyaku setelah Vidia menutup pintu kamar.

"Soal sihirmu." Aku diam. "Kamu benar-benar menolak belajar sihir dan mati?"

"Kalau itu bisa membawaku kembali, tidak masalah." jawabku pelan sekali.

Vidia mengusak rambutnya kasar. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Sialan. Setidaknya hiduplah untuk gadis itu." Dia kedengaran marah.

"A-" aku baru saja akan melontarkan kata-kata ketika Vidia mencengkeram bahuku. Kepalanya tertunduk sehingga rambutnya turun menutupi wajahnya. "Aku sudah tidak tahan."

"Hiduplah untuk anak itu! Kamu tidak tau, sama sekali masalahnya, 'kan?! Hentikan omong kosong itu!"

"Vidia, aku-" Vidia mengangkat kepalanya. Air mata mengalir jatuh kepipinya. "Apa hanya rasa bersalah yang dapat menghentikanmu?" lirihnya.

"Sekarang, duduk dan dengarkan ini." Tangan dibahuku memposisikan tubuhku keatas kasur dan mendudukkanku.

Vidia menarik tangannya dari bahuku. Lalu mengusap wajah kasar untuk mengelap air mata dari pelupuk matanya. Dia menghela napas, napasnya terdengar bergetar. Yang membuatku mau tidak mau berempati padanya.

"[Name]." Awalnya kukira dia memanggilku. Tapi dia hanya menyebut nama.. ku? "[Name] Ruby Roschafell."

Aku tertegun. Roschafell? Itu bukankah nama belakangnya?

"Tapi aku menyukai nama itu." Pikiranku terlempar pada waktu dimana Vidia memperkenalkan dirinya padaku.

"Meski terdengar aneh, tapi rasanya familiar, 'kan?" katanya. Bibirnya membentuk lengkungan manis meski dimatanya tersirat rasa sedih mendalam.

"Itu namamu, [Name] atau perlu kupanggil, [NickName]?"

🔮🔮🔮

Pusing. Itu yang kurasakan langsung setelah Vidia memanggilku dengan nama aneh yang terasa dekat itu dan menceritakan "dongeng gelap" yang membuat kepalaku terasa mau pecah. Aku sudah tidak ingat sama sekali dongeng yang diceritakan perempuan bernetra Raspberry itu.

Cklek!

Aku menghela napas panjang setelah membuka pintu. Pandanganku menggelap. Aku setidaknya berhasil menghampiri kasurku tanpa salah melangkah atau salah kasur.

"[Name]."

Ah, suara itu. Aku menoleh sedikit. Penglihatanku agak buram, jadi aku mengerjap mata beberapa kali. Ray memanggilku menatapku dengan tatapan.. khawatir? Entahlah, ekspresinya sulit dibaca.

"Vidia tidak menyakitimu, 'kan?" tanyanya.

"[Name]! Ada apa?" tanya gadis kecil disampingnya.

"Tidak apa.. Hanya sedikit lelah. Iya, lelah..." aku menguap.

"Tapi [Name] menangis!"

Aku diam menyentuh pipiku yang entah sejak kapan basah dengan bingung. Aku benar-benar tidak sadar.

"[Name]!"

"[Name]!! Ada apa?"

"[Name]! Jangan menangis!"

Anak-anak mengerubungiku. Mereka memeluk kakiku dan mengatakan kata-kata untuk menenangkanku. Aku mengusap air mata cepat-cepat.

"Semuanya, aku tidak apa, kok." kataku seraya tersenyum.

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang