➤ ; 24 ‧ Waktu yang Membeku ‧ 🍀 -

758 120 6
                                    

- Author's POV 'with Amora -

Amora menatap [Name] yang sedang tertidur dengan tenang. Rambut [haircolour]nya tak ada sehelai pun yang menutupi wajahnya. Kelopak mata gadis itu menyembunyikan netra Raspberry miliknya.

Amora mengepalkan tangannya. Tidak seharusnya dia melakukan ini. Dia berdecak dan menetralkan ekspresinya dan akan berdiri.

"Dasar cacat!"

"Kau ini bagaimana sih?!"

Kakinya seakan berubah menjadi benang yang lemah. Dia duduk bersimpuh. Kepalanya sakit. Terkadang dirinya bertanya, mengapa dia harus menjadi penjaga ingatan? Mengapa dia harus mengingat masa lalu pahitnya dan orang-orang?

Amora menggeleng. Mencoba menyingkirkan memori itu dari benaknya. Mengusak helaian rambut pirangnya gusar. "Cukup," bisiknya.

Dia menghela napas, lalu berdiri. Menuju tempat dimana dia melihat banyak anak-anak dengan riangnya berlari, membantu di sana dan di sini. Rasanya senang sampai dia melihat lelaki bersurai hitam yang berbincang dengan beberapa anak.

Lalu menghampiri Emma yang sedang menggenggam tumpukan foto. Matanya menatap sendu ke tumpukan itu.

"Emma, ya?" panggil Amora.

"Ah- iya," Emma tersenyum hangat. Amora merasa seseorang baru saja mencabut paru-parunya.

Amora lantas duduk di samping gadis itu. Emma memperlihatkan fotonya. "Mau lihat keluargaku?"

Amora tahu dia akan merusak ceritanya, namun mulutnya lantas berucap, "Ya."

Emma menyodorkan fotonya, ujung kertas foto tebal itu di tahan oleh jari Amora. "Ini namanya Phil. Dia imut 'kan?"

Dimatanya, gambar itu seakan bergerak. Menunjukkan situasi dan keadaan saat itu. Amora mengukir senyum. "Sangat. Sangat imut,"

"Hehe. Anak yang satu ini namanya Sherry. Dia anak yang modis dan mandiri." ujar Emma lagi.

"Manis. Kalau yang ini siapa?"

"Carol! Dia masih berumur satu tahun. Kadang dia memasang wajah cemberut. Benar-benar lucu."

"Lalu yang ini?"

"Naila dan Damdin. Di belakang mereka Eugene, [Name], dan.."

"Skakmat,"

Amora melirik pada sekumpulan anak-anak di pojok ruangan. Sekumpulan anak-anak bersorak, melihat si Hitam menang dalam permainan catur dengan iblis rambut merah itu. Kebisingan mereka merambat di udara ke telinganya samar-samar.

"Ray, kamu bisa menjadi kesatria yang hebat, lho."

Si hitam itu namanya Ray. Amora ingat sejak awal.

"Tapi.."

"Norman lebih hebat lagi, lho."

"Norman?"

Amora meringis. Rasanya ingin mengubur diri saja. Dia ingin musnah. Orang-orang merasa sedih karenanya. Karena dia menyimpan semua memori dan ingatan itu, menguncinya pada kepala mereka.

"Dan ini namanya Norman.. Amora?"

"Eh? Ah.. Iya. Dia terlihat.. pintar." ucap Amora pelan.

"Benar. Dia mendapat nilai terbaik diantara kami semua. Aku.. sudah berjanji pada Norman,"

"Aku takkan menyerah. Dan takkan membiarkan siapapun mati. Aku juga mengatakan itu pada [Name]." Emma tersenyum, tetapi matanya menguratkan kesedihan tatkala dia menatap sosok Norman dalam foto. "Aku senang [Name] masih hidup."

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang