➤ ; 22 ‧ Despair ‧ 🍀 -

962 154 5
                                    

Aku meregangkan lenganku lelah. Menghela napas, lalu berkata, "Ternyata emang gak bisa,"

Aku menatap Lucas. "Apaan?"

"Coba dong. Ya kali, gue gak bisa tapi lo bisa."

Dia mengangkat bahu. Lalu mengumpulkan mana pada telapak tangannya. "Aomori." Portal terbuka. Tapi yang dapat kami lihat hanya tempat hitam yang terlihat hampa. Void, disana tempat aku sempat bertemu Vidia.

"Nggak bisa, 'kan?" katanya. Aku mendesah pasrah.

"Lo udah ngelewatin percakapannya lho." ujar Lucas tiba-tiba. Dia mengambil sebuah vial berisi mana potion. Lalu meneguk habis isinya.

"Lo masih ada? Yang punya gue ketinggalan di tas," Lucas melempar satu vial lagi tanpa berkata apa-apa.

"Ngomong-ngomong, percakapan apa?" Aku membuka tutup vial.

"Itu lho, yang mereka mau jalan kemana,"

"Bukannya udah jelas ya? Ke B Kosong Enam-Tiga Dua, 'kan? Gue hapal juga mereka bakal pergi ke Tenggara, kok."

"Lagian gue sengaja." Aku meneguk cairan dalam vial itu.

"Buat ngehindarin-" kalimatku di potong saat Lucas menatapku tajam dan rasa tak enak merayapi punggungku.

"[Name], keberatan membantu kami?" darahku berdesir saat mendengar suara itu, Ray.

"Tidak. Apa yang perlu kubantu?"

"Ah, kau mungkin bingung. Kita akan mempelajari-"

"Oh, iya-iya. Cara bertahan hidup di dunia luar 'kan? Aku akan membantu tentang makanan. Berburu, tanaman anemon air.. Dan lainnya." Aku tersenyum.

"Ah, baguslah. Kalau begitu kami tunggu." Ray tersenyum sebelum berputar dan berjalan meninggalkan ruangan.

Aku menatap punggungnya yang membawa aura kelam keputus-asaan. Lalu menggigit bibirku. Aku harus menyelamatkannya.

Saat aku dan Lucas datang ke ruangan utama─di panggil begitu karena pada dasarnya lebih luas dari tempat-tempat yang lain─ Gilda dan Emma sedang berbincang. Aku tersenyum.

Keluarga. Satu kata itu dapat menghancurkan senyum di wajahku dalam sedetik. Rasa sakit tajam menusuk dadaku. Seperti sebuah panah. Aku penasaran, aku penasaran.. Sudah dua bulan aku mati dan meninggalkan duniaku, meninggalkan keluargaku. Bagaimana kabar mereka? Dapatkah mereka menghapus sedih dari hati mereka setelah aku meninggalkan mereka? Dua saudaraku, ayahku, dan ibuku.

Waktu bergerak, di suatu tempat ada jam yang berdetik. Pemandangan yang terus berganti layaknya serangkaian animasi. Dimataku semua itu terlihat lambat. Anak-anak yang manis, sahabat, kehangatan sebuah pelukan, keluarga.

"Woi! Lo gak apa-apa?"

"Goblok, di liat dari manapun gue 'apa-apa' 'kan?"

"Tapi maksud gue-"

"Nggak kok, gue bercanda. Gak apa."

"Ayo, bantuin yang lain,"

🔮🔮🔮

Aku mengunyah makananku lambat. Ah, aku rasanya tak berselera makan. Vidia sedang apa ya? Saudara dan orang tuaku juga..

Omong-omong, aku sedang berada di 20 tahun dari saat aku mati. Kira-kira bagaimana kabar keluargaku? Adikku mungkin sudah memiliki anak, kakakku mungkin sudah hampir jadi kakek. Aku mengaduk makananku asal saat pikiran-pikiran tentang mereka melintas dibenakku. Wajah adik dan kakakku sekarang, wajah orangtuaku sekarang.

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang