➤ ; 30 ‧ Continue ‧ 🍀 -

621 98 19
                                    

Tadi, setelah kami makan, Norman berpidato panjang lebar. Tapi intinya, dia akan memusnahkan semua iblis di daratan ini. Sesuai alurnya. Meski aku bingung bagaimana kita masih bisa berada di shelter ini. Tapi yang kupercayai, di sekitar shelter ini terdapat aura Vidia, meski tipis. Dia mungkin menggunakan Invisible Barrier supaya tempat ini tidak terlacak. Tentang auranya yang tipis.. Mungkin dia menggunakan glamour? Tapi untuk apa?

Aku menoleh ke sana-sini, mencari keberadaan Vidia. Bahkan Lucas dan Kanya tidak ada. Setelah mencari ke sekitar shelter dan mendapat hasil nol, aku mulai berpikir hal-hal buruk. Tapi pada akhirnya aku bertanya kepada Ray.

Aku mendatangi Ray. Dia sendirian di ruang monitor. Aura Despair masih ada, tapi cenderung tipis, sangat tipis. Menakjubkan. Siapa sangka aku pada akhirnya menjadi roh kebajikan dan bisa menyucikan orang?

"Ray, sedang apa?"

Aku duduk di kursi sebelahnya. Kulihat ada banyak kotak yang ditutup kain, kamera polaroid, semacam chip-chip kecil yang sepertinya partikel elektronik. Ada tisu dengan bercak darah juga, dan gulungan-gulungan perban.

"Ada.. Darah dan perban? Apa kamu terluka?"

"Aku sedang memperbaiki kamera. Dan, aku enggak terluka."

"Kamera? Dapat dari mana?"

"Norman menemukannya."

"Partikel dan chip ini?"

"Aku buat sendiri,"

"Wah!"

Ray menaruh kameranya di atas meja. Lalu menatap ke arahku. "Jadi? Apa yang kau mau tanyakan?"

"Kamu peka sekali," ujarku seraya tersenyum.

Tatapanku menajam, mengikuti arah netra milik Ray. "Tentang Vidia. Kamu tahu 'kan, dia di mana?"

Ray tertawa pelan. "Kamu juga sangat peka."

"Dia.." Aku melihat raut wajah Ray. Sepertinya dia bingung mau mengatakan apa.

"Katakan saja langsung." desakku tidak sabar.

"Jadi.. Dua minggu setelah kau mulai koma itu.." Ray menerawang langit-langit ruangan. "Vidia sama sekali tidak tidur selama dua minggu itu. Pada akhirnya dia kami temukan dalam kondisi tanpa nyawa. Sepertinya dia akhirnya tidur, tapi ternyata.. Dia sama sekali tidak akan bangun."

"Kenapa kamu menyimpulkan bahwa dia mati?" tanyaku.

"Sudah kami cek, tidak ada detak jantung, tidak ada denyut nadi, tidak ada napas. Aku tahu kamu mungkin tidak terima. Tapi, begitulah [Name]."

"Keluarganya sudah membawa tubuh Vidia."

Aku menggigit kuku. 'Vidia mati?'

"Ray, kamu bercanda, 'kan?"

"Apa?"

"Kamu bercanda 'kan?"

Aku menatap Ray. "Biar kuberitahu sesuatu,"

"Vidia sudah mati," ujarku.

"Dari awal, Vidia sudah mati."

"Apa maksudmu? Kamu mau bilang dia hantu?"

"Hantu? Sepertinya biasa di sebut begitu. Tapi.. Vidia itu roh. Bukan hantu. Vidia pernah mati. Aku.. aku juga.."

Aku menggeleng kepalaku kuat-kuat, mengeluarkan segala ingatanku tentang [Name] 'yang dulu'. "Roh utuh seperti dia sudah tidak punya detak jantung, tidak punya darah yang mengalir.  Tidak punya nadi dan paru-parunya tidak bekerja. Dia tidak perlu tidur, dia tidak perlu makan."

(END) 𝘓𝘦𝘴𝘴 𝘛𝘩𝘢𝘯 𝘕𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 | TPN [Reader Insert] -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang