08

27 3 0
                                    

Biru hanya bisa menatap kepergian Sila, Sovi dan Ilma. Ia sangat sedih meratapi keadaannya saat ini. Dengan lusuh, ia berjalan menuju halte untuk pulang. Ketika sampai di halte, Biru malah terduduk di bangku yang tersedia di halte. Saat beberapa angkot datang, ia malah tak berniat untuk naik. Hingga suasana pun menjadi sepi. Tampak, sudah jarang angkot lewat dan di halte hanya tersisa dirinya seorang. Biru tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menangis sejadi-jadinya "Kenapa sangat mudah untuk gue jadi orang asing dihidup orang-orang yang gue sayang?" batinnya. Ia lantas menundukkan kepalanya.

Tiba-tiba, ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Biru lantas mendongakkan kepalanya untuk melihat orang tersebut "Faris." lirihnya. Iya, orang itu adalah Faris, mantan Biru.

"Kamu ngapain disini, Biru?" tanya Faris bingung

Biru cepat-cepat menghapus air matanya "Nunggu angkot, Ris."

"Kamu bohong kan? Dari tadi, aku liatin kamu loh. Kamu gak naik angkot saat angkotnya datang. Kamu lagi ada masalah?"

"Enggak kok, aku gak ada masalah." Biru mencoba untuk tersenyum

"Udah kamu jangan bohong, aku udah kenal kamu lama, Bir. Jadi, aku udah hafal kalau kamu lagi sedih."

"Aku gak bohong kok. Aku..." ujar Biru terpotong karena dengan cepat Faris menarik Biru kedalam pelukannya. Ia tau Biru sedang bersedih. Dulu, saat mereka masih pacaran, Faris akan selalu memeluk Biru ketika Biru ada masalah. Ia tau, dengan begitu Biru akan lebih tenang dan akan jujur mengenai masalahnya. Biru menangis dalam pelukan Faris "Ris, apa aku buruk banget ya? Aku gak cocok ya buat ditemenin?"

Faris menaikkan alisnya, ia tak paham tentang perkataan Biru. Kemudian, ia melonggarkan pelukannya dan menangkupkan kedua tangannya di wajah Biru "Siapa yang bilang kamu buruk, Bir? Kamu baik kok, bahkan kamu cewek terbaik bagi aku."

"Aku buruk Ris, sahabat aku pada benci sama aku. Mereka gak mau lagi temenan sama aku. Aku gak punya teman lagi, hiks."

"Biru, kamu dengerin aku. Biarin aja mereka jauhin kamu, kamu bakal tetap punya teman kok. Aku bakal selalu nemenin kamu, aku janji."

Biru menatap Faris dengan lekat, kemudian ia kembali memeluk Faris "Makasih, Ris."

Faris membalas pelukan Biru "Kalau aja gak ada tembok besar yang pisahin kita Bir, pasti aku gak bakal buat kamu sedih seperti ini." gumamnya dalam hati

"Iya udah Ayo, aku antar kamu pulang." ajak Faris. Biru hanya mengangguk dan mengikuti Faris.

***

Keesokan harinya, Biru sedang menunggu Sila datang. Ia ingin meminta maaf pada Sila. Tak lama kemudian, Sila datang dan berjalan menuju bangku disebelah Biru yang memang adalah bangkunya sejak awal. Namun, ia kesana bukan untuk duduk, melainkan cuma mengambil bukunya yang ketinggalan di kolom bangkunya. Setelah itu, ia hendak pergi dari bangku itu. Biru mencegah Sila dengan cara memegang tangannya "Sil, lo mau kemana?"

Sila menoleh sekilas ke arah Biru dan melepas tangannya "Gue mau pindah ke bangku lain."

"Kenapa? Masalah kemarin? Kalau iya, gue minta maaf deh, Sil."

"Lo gak salah kok, gak usah minta maaf. Lo selalu benar, Bir." setelah mengatakan itu, Sila pergi meninggalkan Biru. Hal ini membuat Biru pun pasrah. Ia memilih untuk duduk kembali dibangkunya. Setelah agak lama, Raka berniat mengagetkan Biru dengan cara duduk di bangku Sila "Dorr."

Namun, Biru sama sekali tidak kaget "Apaan sih? Gue lagi gak mau ngomong sama lo."

"Kenapa? Sila beneran marah sama lo, Bir?" tanya Raka

"Iya, lo puas kan sekarang?"

"Beneran marah tuh anak? Gue kira bercanda."

Biru melihat Raka dengan jengah, ia agak kesal dengan Raka yang tak merasa bersalah "Lo ya Ka, benar-benar. Udah sana pergi, gak mau gue temenan sama lo."

"Lah, kok gitu sih Bir? Gak mau gue, mau tetap disini."

"Udah sana lo pergi. Anggap aja, kita gak kenal."

"Jangan gitu dong, Bir." mohon Raka meraih tangan Biru

"Pergi, Raka. Gue beneran gak mau kenal lo selamanya."

"Oke, gue pergi. Tapi, jangan gitu ya, Bir? Gakpapa sejam deh lo gak kenal gue. Asal jangan selamanya ya?"

"Enggak, apaan sejam? Sehari aja, anggap kita gak kenal. Gak usah saling sapa. Gue malas sama lo. Udah sana pergi."

"Oke, sehari doang ya, Bir?"

"Hmm..." Raka pun beranjak pergi dari bangku Sila. Ia tak mau Biru semakin kesal padanya. Tak lama dari itu, jam pelajaran pertama pun dimulai. Hingga tak terasa, dua jam telah berlalu dan jam istirahat pertama telah tiba.

Biru kini pasrah dengan kesendiriannya, tanpa ditemani teman-temannya. Ia juga tak ingin berharap lagi. Ia memutuskan mulai sekarang tak akan bersedih karena hal ini. Ia akan berdiri diatas kakinya sendiri, tidak akan mengandalkan apapun lagi pada orang lain. Biru memutuskan untuk pergi ke kantin sendirian. Saat baru berdiri dari bangkunya, Raka memanggil namanya. Terpaksa ia menoleh "Apa lagi? Kan udah gue bilang, gak usah saling sapa."

"Bir, kita udahin perjanjian tadi ya. Gue gak bisa." jawab Raka dengan ekspresi memohonnya

"Gak mau gue. Apa lo mau selamanya kita gak saling sapa?"

"Itu gue malah gak suka lagi, Bir. Lo kenapa sih? Semenit deh ya?"

Biru memandang Raka dengan perasaan kesal. Raka memang gak akan pernah menyadari kesalahannya "Tau ah, pokoknya sehari." setelah mengatakan itu, Biru pergi meninggalkan Raka. Ketika sampai di depan kelasnya, Biru dikagetkan dengan keberadaan Faris. Faris tengah berdiri di depan pintu kelas Biru "Ris, kenapa kamu disini?

Faris tersenyum ke arah Biru "Nungguin kamu."

"Nungguin aku? Kenapa?"

"Kemarin aku kan udah janji kalau aku bakal selalu nemenin kamu."

"Tapi kan gak perlu sampai kayak gini juga, Ris. Kamu..."

Faris memotong perkataan Biru "Udah ayo, aku temenin kamu. Kamu mau kemana?"

"Emm... gak tau mau kemana. Mau keluar kelas aja."

Faris sejenak berpikir "Iya udah, ikut aku yuk Bir."

"Kemana? Jangan bilang ke lapangan basket?"

"Hehe... iya, ke lapangan basket."

"Aku tau kamu suka main basket. Tapi, gak main sekarang juga Ris. Ini udah mulai panas, nanti kamu keringetan, bau deh."

"Gakpapa, aku bawa baju basket kok. Nanti, sebelum main aku ganti baju dulu." Iya, Biru lupa kalau Faris memang selalu bawa baju basketnya. Udah jadi kebiasaan Faris main basket di saat jam istirahat berlangsung. Dulu, Biru selalu menemani Faris bermain basket.

"Iya udah deh." putus Biru

***
Disini lah mereka berada, lapangan basket. Iya, setelah Faris berganti baju, ia dan Biru langsung menuju lapangan basket "Aku nunggu di pinggir ya Ris." ujar Biru

"Gak mau coba nemenin aku main nih?"

"Enggak ah, kamu aja yang main. Jangan lama-lama ya, takut keburu bel."

"Iya, siap." Kemudian, Faris mulai bermain basket sendirian. Sedangkan, Biru terlihat menikmati permainan Faris. Tak tau mengapa, ia selalu suka melihat Faris bermain basket, walaupun dia sama sekali tidak terlalu suka olahraga tersebut.

Setelah beberapa saat, Faris memutuskan untuk berhenti bermain. Ia menghampiri Biru dan duduk disebelahnya "Capek ya? Nih." ucap Biru sambil menyerahkan sebotol air

"Enggak kok, Bir. Makasih." Faris mengambil sebotol air itu dan meminumnya

"Udah lama ya Bir, kita gak kayak gini? Akhirnya, aku gak sendiri lagi mainnnya. Ada kamu yang nemenin."

"Emangnya, selama kita putus kamu gak pernah ngajak pacar atau gebetan kamu gitu?"

"Gak pernah."

"Kenapa? Pasti mereka gak mau ya nemenin kamu main basket karena bosan cuma liatin? Hehe." canda Biru

"Bukan."

"Terus kenapa?"

Biru Tengah Malam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang