13

19 3 0
                                    

"Pindah sekolah, yah?" sahut Biru lirih. Ia benar-benar tak menginginkannya

"Iya, Biru. Ayah khawatir jika kamu sama bunda disini tanpa Ayah. Ayah akan lebih tenang meninggalkan kalian dirumah eyang. Disana banyak sepupu kamu. Enak jika ada apa-apa bisa bantuin kalian." jelas Ayah Biru

"Tapi kan, yah. Aku udah cocok banget di sekolah Wismaraja." sanggah Biru sedih. Bunda Biru tampak kasihan pada anaknya. Ia menghampiri Biru dan mengusap pundak Biru, berusaha untuk menguatkannya.

Ayah Biru tampak sedih juga. Sebenarnya, ia tak rela meninggalkan istri dan putri kecilnya. Apalagi, anaknya harus pindah sekolah yang pasti kehilangan teman-temannya. Tapi bagaimana lagi, ia terpaksa melakukan itu semua demi kebaikan keluarganya. Jika ia pergi ke luar kota dan tetap meninggalkan keluarganya di sini, maka ia khawatir tak ada yang menjaga mereka. Ia akan tenang jika Biru dan bundanya tinggal di rumah eyangnya karena disana banyak kerabatnya. Rumah mereka tetanggaan dengan para sepupu Biru "Maafin ayah nak, ayah gak ada pilihan lain." hanya itu yang bisa dikatakan oleh Ayah Biru.

Biru yang merasa bersalah karena membuat ayahnya sedih akhirnya berusaha menerimanya. Ia menghampiri ayahnya dan memeluknya "Ayah gak salah kok yah. Biru gakpapa kok pindah sekolah."

"Makasih ya, nak." Ayah Biru membalas pelukan Biru

***

Keesokan harinya, Biru baru sampai ke sekolah. Ketika baru memasuki gerbang masuk, ia mengamati sekitar. Banyak kenangan yang muncul dipikirannya sejak ia masuk di sekolah itu, apalagi kenangannya bersama teman-temannya.
Rasanya tak rela jika ia harus meninggalkan sekolah tercintanya ini. Setibanya dikelas, Biru melihat teman-temannya yang sedang mengobrol bahkan sesekali tertawa. Hal ini semakin membuatnya sedih.

"Woy, Bir. Ngapain bengong di depan? Duduk gih." suara Sila tiba-tiba menyadarkan lamunan Biru. Biru pun berjalan menuju bangkunya.

Saat sudah duduk dibangkunya, Sila merasa heran melihat Biru. Pasalnya, Biru terlihat sedang berpikir keras "Lo mikirin apa, Bir?"

"Mungkin lagi mikirin gimana episode terbaru Doraemon." sambar Raka dari belakang Sila, lebih tepanya dari dibangku kesayangannya. Paling belakang, bangku yang jauh dari tatapan guru-guru killer.

"Hah? Doraemon? Lo suka Doraemon, Bir? Setau gue enggak deh." Sila merasa bingung

"Ya jelas lah dia suka. Orang Doraemon warnanya Biru. Sesuai namanya, pasti dia suka." kata Raka sok tau

"Sok tau lo, Ka. Siapa bilang gue suka sama Doraemon. Gue itu sukanya sama..." ucapan Biru terpotong oleh celetukan Raka

"Spongebob?" tebak Raka. Ia sudah hafal dengan kesukaan Biru itu "Gue heran deh. Nama lo Biru, warna kesukaan lo juga Biru. Tapi, kenapa lebih suka Spongebob dari pada Doraemon?"

"Emang kenyataannya gue sukanya sama Spongebob."

"Ck, gak salah gue manggil lo Kuning." tawa Raka pecah. Biru dengan kesal menjitak kepala Raka. Memang apa salahnya jika namanya Biru tapi, suka sama Spongebob yang berwarna kuning? Enggak kan. Namun, Raka selalu saja mengejeknya.

***

Sudah beberapa hari berlalu. Seminggu lagi mereka akan melakukan ujian akhir semester. Sekarang kelas Biru sedang rusuh karena tidak ada guru. Sekretaris kelas hanya diberi tugas untuk mencatat materi di papan tulis. Kemudian, semua murid harus mencatatnya juga untuk dikumpulkan. Sekretaris kelas itu kebetulan adalah Ilma. Ilma tengah mencatat materi di papan. Banyak murid yang berkumpul duduk lesehan di depan papan tulis. Hal ini mereka lakukan agar bisa mencatat sekaligus mengobrol dengan teman-temannya. Biru dan Sila juga duduk di sana.

Sovi yang kebetulan duduk dibangku guru tak sengaja melihat lembaran absen. Dilihatnya, Bu Almira yang barusan mengajar tidak bertanda tangan. Alhasil, Sovi memberitahukannya pada Ilma "Il, Bu Almira kayaknya lupa deh untuk tanda tangan."

"Masak sih?" tanya Ilma tetap sibuk mencatat materi di papan.

"Iya beneran nih, Il. Nih lo lihat aja." Sovi menunjukkan lembaran absen

Ilma menghentikan kegiatan mencatatnya, ia beralih menatap lembaran absen itu. Benar saja, disana tak terlihat tanda tangan Bu Almira "Lo benar, Sov. Terus gimana? Gue masih nyatet materi."

"Lo minta tolong dulu sama yang lain buat gantiin lo nyatet sebentar Il. Kita minta tanda tangan Bu Almira aja. Nanti lo dipanggil BK gara-gara yang ngingetin guru buat tanda tangan. Ini kan tugas lo sebagai sekretaris." saran Sovi

"Tapi siapa?" tanya Ilma bingung

"Biru aja, tulisannya bagus jadi mudah dibaca." celetuk Niku yang tak sengaja mendengar pembicaraan Ilma dan Sovi

Biru yang merasa namanya disebut langsung mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah mereka "Kenapa, Il?"

"Gini Bir, Bu Almira lupa tanda tangan. Gue mau minta tanda tangannya dulu. Lo mau gantiin gue nyatat materi sebentar?" cerita Ilma

Dengan senang hati Biru menganggukkan kepalanya "Iya, gue mau. Lo santai aja."

"GAK BOLEH." teriak Raka dari bangku paling belakang

Gadis bernama Rina yang berada tak jauh dari tempat duduk Raka merasa kaget karena Raka tiba-tiba berteriak. Lalu, ia menegor Raka kesal "Bisa gak sih Ka, jangan teriak-teriak?"

"Bisa gak lo diam bedak sekilo?" balas Raka. Ia memanggil Rina dengan sebutan 'bedan sekilo' karena dandanan Rina yang terlalu menor. Katanya, make up Rina terlalu tebal.

"Nusuk banget lo kalau ngomong, Ka." seru Rina

Raka tak menanggapi seruan Rina. Ia lebih memilih untuk berjalan ke papa tulis. Sesampainya di depan, ia merebut spidol dari tangan Biru yang sebelumnya di kasih Ilma. Kemudian, Raka mengembalikan spidol itu ke tangan Ilma "Nih, ambil lagi. Biru gak ada waktu buat bantuin lo. Dia harus nulisin punya gue."

Sejenak, Biru menatap Raka dengan tajam. Tatapannya kemudian beralih ke arah Ilma dan tersenyum "Udah gak usah didengerin, Il. Biar gue yang nulis. Lo pergi aja sama Sovi buat minta tanda tangan." Ilma pun mengangguk. Kemudian pamit keluar bersama Sovi untuk meminta tanda tangan dari Bu Almira.

"Tap..." kata Raka terhenti karena Biru membekap mulutnya dengan tangannya.

"Udah deh, Ka. Lo bawel banget." ujar Biru

Setelah Ilma dan Sovi sudah tak terlihat, Biru melepas bekapannya di mulut Raka. Raka pun bisa berbicara kembali "Bir, lo kok mudah banget sih diminta tolongin sama orang lain? Lo kan udah janji tadi mau nulisin punya gue."

"Iya karena dipaksa nulisin punya lo." lirih Biru, namun tetap bisa di dengar oleh Raka

"Tetap aja, lo udah janji."

"Iya-iya, nanti buku lo gue bawa buat dituliskan di rumah." putus Biru

"Nah, gitu dong." Raka merasa puas

"Udah lo minggir, gue mau nyatet materi di papan." tegur Biru

"Tapi, lo gak capek nulis?"

"Enggak. Udah sana." usir Biru kesal. Menurutnya, Raka sangat bawel

Raka pun pasrah "Okedeh. Gue taruh buku gue di tas lo ya?"

"Hmm.." Raka pun beranjak mengambil bukunya di dalam tas. Setelah itu, ia membuka tas Biru untuk menaruh bukunya di sana. Karena terburu-buru, ia menjatuhkan buku Biru. Kemudian, ia hendak mengambil buku itu, hingga ia tak sengaja menemukan sebuah amplop putih yang terbalik. Ia penasaran amplop apa itu dan akhirnya ia membaliknya untuk bisa tau "SMA Trisatya?" Raka membaca tulisan depan dari amplop itu

Biru Tengah Malam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang