39

19 2 0
                                    

Seminggu telah berlalu sejak kemenangan Biru di lomba modeling. Sekarang, Biru sibuk melamun di depan rumahnya. Ia masih kepikiran dengan ucapan Sila di telepon tadi. Ia tak percaya dengan Sila dan berharap kabar yang diberi tau padanya itu salah. Ia tak akan sanggup lagi jika kabar itu benar adanya. Hatinya akan hancur lebur. Karena sibuk dengan pemikirannya sendiri, Biru sampai mengabaikan panggilan dari Raka sedari tadi. Ia sengaja tak mengangkatnya karena tak ingin mendengar kebenaran langsung dari mulut Raka. Saat hendak masuk ke dalam rumahnya kembali, langkah Biru sempat terhenti karena mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Ia menoleh ke arah motor itu "Raka." lirihnya ketika melihat siapa pengendara motor itu

"Biru." Raka turun dari motornya dan berjalan menghampiri Biru

Biru mempersilahkan Raka untuk duduk di kursi yang berada di depan rumahnya. Ia kebingungan karena Raka tiba-tiba ada di rumahnya "Ka, kok lo di sini?"

"Lo sih gak angkat telepon gue. Gak tau apa kalau gue rindu sama lo?"

Biru tersenyum tipis "Gak usah rindu. Kata Dilan, rindu itu berat."

Raka menatap Biru lekat "Lo tau apa yang lebih berat dari pada rindu?"

"Apa?" tanya Biru penasaran

Raka menghela nafasnya "Yang lebih berat dari rindu adalah ketika kita merindukan seseorang, namun orang itu tidak merindukan kita balik."

Biru sempat terkekeh mendengar penuturan Raka "Menurut gue, masih ada yang lebih berat dari itu, yakni saat lo mencintai seseorang dalam diam."

"Kenapa gak diungkapin aja biar gak berat?"

Biru tersenyum kecut "Percuma. Orang yang dicintai udah terlanjur bahagia bersama orang lain."

"Dari mana dia tau jika orang yang dicintainya udah bahagia?"

"Buktinya, dia udah punya pasangan. Jelas kan kalau orang yang dicintainya itu sudah bahagia dengan pacarnya?"

"Lo bisa jamin gak kalau orang itu emang bahagia bersama pacarnya? Mungkin, sekarang orang itu terlihat bahagia, tapi bagaimana dengan besok? Minggu depan? Tahun depan dan seterusnya? Lo gak tau kan perasaannya sesungguhnya? Apa lo rela jika orang yang lo cintai gak bahagia?"

Biru tersentak mendengar penuturan Raka "Kok Raka bilang gue? Kan gue gak bilang kalau itu tentang gue? Apa dia ngerasa kalau gue curhat?" batinnya

"Dia emang gak bisa mastiin perasaan dari orang yang dicintainya di masa depan. Namun, jika ditanya apakah dia rela jika orang itu tidak bahagia? Maka, dia jelas gak akan pernah rela. Tapi setidaknya, ia bisa bahagia melihat kebahagiaan orang yang dicintainya sekarang. Ia bisa berkorban dengan cara merelakannya dan tak mengganggunya bersama pacarnya." Kata Biru yang terpaksa tersenyum

"Kalau lo emang cinta sama dia, lo harus berjuang. Bukan malah merelakan dia bersama orang lain."

"Percuma dia berjuang kalau orang yang di cintainya malah mencintai orang lain. Lebih baik, dia merelakannya untuk orang lain yang bisa membuatnya bahagia. Dengan begitu, dia akan ikut bahagia jika orang yang dicintainya itu bahagia karena dalam cinta sepihak, melihat orang yang dicintai bahagia itu udah cukup. Ia tak bisa terus berjuang karena perjuangannya justru akan merebut kebahagiaan orang yang dicintainya itu. Ia cukup sadar diri, jika orang yang dicintainya tak mencintainya balik."

Tatapan Raka begitu serius pada Biru "Mungkin ia bukan tak mencintainya juga. Ada kemungkinan, jika orang itu hanya takut kehilangan sahabatnya. Ia tak mau hubungan persahabatannya hancur karena cinta yang sesaat."

"Kenapa lo bilang cinta itu sesaat?"

"Karena dalam hubungan percintaan atau pacaran pasti ada rasa bosan. Dari rasa bosan ini, hubungannya akan putus dan itu yang ia takutkan saat memilih berpacaran dengan sahabatnya sendiri. Ia akan kehilangan sosok sahabatnya saat putus pacaran. Maka dari itu, ia memilih tetap memendam dan mengubur perasaannya secara perlahan pada sahabatnya itu."

"Emang, bosan itu pasti ada dalam sebuah hubungan. Tapi, rasa itu gak bisa dijadikan alasan untuk berpisah kan? Apalagi saat dia pacaran dengan sahabatnya sendiri, orang yang lebih memahaminya ketimbang banyak orang asing atau orang baru."

"Tapi tetap aja dia takut. Maka dari itu, ia tetap memilih menjalin hubungan sahabatan, hubungan yang abadi sampai tua nanti."

"Iya-iya, Ka. Terserah lo aja dah." kini Biru tau jika dirinya dan Raka memiliki pandangan yang berbeda. Dari sisi Raka, ia tak ingin menjalin hubungan percintaan dengan sahabat karena tak ingin kehilangan sahabatnya ketika hubungan itu brerakhir. Sedangkan dari sisi Biru, ia malah merasa sangat beruntung jika memiliki pasangan yang merupakan sahabatnya karena itulah impiannya. Ia ingin jodohnya itu tak hanya menjadi pasangannya saja. Tapi, ia ingin pasangannya juga menjadi seorang sahabat yang selalu bertukar pikiran dan saling bercerita satu sama lain dengannya.

Raka berusaha tersenyum "Nah, gitu dong. Ngalah kalau lagi debat sama gue."

"Iya-iya, kan gue waras jadi gue ngalah." Biru menghela nafasnya "Ngomong-ngomong, ada apa nih lo ke rumah gue?"

Raka menyerahkan sebuah undangan pada Biru "Gue mau ngasih undangan ini buat lo, Bir. Gue harap lo bisa datang ya. Bawa teman juga gakpapa kok biar lo gak sendirian pulangnya. Soalnya, acaranya malam."

Sesungguhnya, hati Biru retak saat menerima undangan itu. Ternyata, benar ucapan Sila jika Raka dan Tisa akan bertunangan. Jika tidak ada Raka, mungkin Biru akan menangis sekarang juga "Selamat ya, Ka. Gak nyangka gue kalau lo bakal tunangan secepat ini. Maaf sebelumnya, kayaknya gue gak bisa janji buat datang ke acara pertunangan kalian. Gue ada kerja kelompok."

Wajah Raka berubah menjadi sendu "Yah... masak lo gak datang sih, Bir? Datang ya, please!"

Biru menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia sungguh tak sanggup menghadiri acara itu. Tapi, ia juga tak tega melihat Raka memohon padanya "Nanti gue usahain ya, tapi gue gak berani janji."

"Nah, gitu dong. Iya udah, gue pamit dulu ya."

Biru pun mengantarkan Raka sampai di depan pagar. Setelah memastikan jika Raka sudah benar-benar pergi, Biru hendak masuk ke dalam rumahnya. Namun, tangannya dicekal oleh Arka "Ikut gue makan di warung Pak Ahmad yuk!" ajaknya

Biru melepas cekalan ditangannya itu "Lain kali aja ya, Gus."

"Kenapa? Lo lagi sedih ya?" Arka merebut sebuah undangan di tangan Biru "Apa gara-gara undangan ini? Undangan apaan sih?" ia penasaran dengan undangan itu dan hendak membacanya. Biru meracau untuk merebut kembali undangan itu dari tangan Arka. Tapi, ia gagal karena Arka terlanjur membacanya terlebih dahulu "Cowok itu mau tunangan?" Arka merasa kasihan pada Biru. Meskipun ada sedikit kebahagiaan dalam dirinya karena lelaki yang dicintai Biru akan bertunangan, tapi ia juga tak tega melihat Biru bersedih.

Biru menjawab pertanyaan Arka hanya melalui anggukan. Ia mati-matian menahan tangis yang sedari tadi ia tahan. Arka yang mengerti hal itu langsung menarik Biru ke dalam pelukannya. Ia membenamkan wajah Biru di dadanya "Keluarin aja semua unek-unek lo biar lo bisa tenang setelah ini."

Benar saja, Biru menangis di pelukan Arka "Orang yang gue cinta akhirnya tunangan, Gus. Hati gue sakit banget. Gue tau jika hal ini bakal terjadi. Tapi, gue gak menyangka kalau akan secepat ini mereka tunangannya. Gue udah gak ada harapan lagi, hiks." Ia terus menumpahkan apa yang ia rasakan. Arka hanya bisa mendengar semua keluhan dari bibir Biru. Ia tau, Biru tengah butuh sandaran saat ini. Setelah agak tenang, Biru melepaskan pelukannya. Ia baru sadar akan tindakannya "Maaf, Gus. Gue gak bermaksud buat baju lo kotor karena air mata gue."

"Gakpapa kok. Gimana udah lebih tenang?"

"Udah kok, makasih ya."

"Sama-sama. Jadi, gimana keputusan lo? Lo bakal datang ke acara itu atau enggak?"

Biru menggeleng-gelengkan kepalanya "Gue gak bakal datang. Gue gak mau nyakitin hati gue lebih dalam lagi, Gus." Arka mengangguk mengerti atas keputusan yang dibuat oleh Biru.

Biru Tengah Malam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang