33. Telah Berlalu (2) - End

2.8K 240 18
                                    

Menjalani hidup memang harus ikhlas, tetapi bicara tak semudah menjalankan. Setelah berdamai dengan masa lalunya, sekalipun belum melupakan. Dia lebih tenang. Terutama setelah kehadiran istri dan putri cantiknya.

Luhung telah mengemas semua keperluan pindah, dia akan kembali ke kota kelahiran istri dan anaknya tercinta. Ini harus dilakukan, karena dia tak ingin anaknya nanti kehilangan figur seorang ayah. Luhung ingin memiliki waktu sebanyak-banyaknya bersama keluarga.

Setelah merasakan pahitnya hidup tanpa keluarga, dia bertekat menjadi seorang ayah dan suami yang baik.

Erik telah mengonfirmasi putusan sidang terhadap Disioka, dia dituntut 15 tahun tetapi vonis yang dijatuhkan hanya 11 tahun. Hanya 11 tahun, untuk menghancurkan hidup orang lain sampai tak bersisa. Betapa tidak adil.

"Setidaknya dia telah dihukum, bayangkan apabila dia tetap lolos dari semua tuduhan. Menjadi pejabat daerah pula." Erik menambahkan.

Sedang Deo, kaki tangannya, hanya dipidana kurungan selama 3 tahun. Dengan remisi sana sini, Luhung yakin dia akan keluar lebih cepat dari vonis itu.  Sudahlah, dia juga tidak terlibat dalam kasus yang menimpa ayahnya. 

"Karir Disioka telah hancur, saat keluar juga, dia tak akan bisa menjadi pejabat pemerintah lagi," runut Erik.

"Bisa jadi dia makin dendam denganku." Luhung berkata, kalau serangan ditargetkan ke dia, Luhung tidak akan perduli tetapi menyangkut anak dan istrinya, Luhung tak akan sudi.

"Nggak usah memikirkan hal itu, bagaimanapun ... aku rasa nanti dia tidak berani bergerak secara terang-terangan." Erik menguatkan.

"Makasih bang, untuk semua."

Erik tertawa, "Kau tau, Hung. Bagaimana berjasanya ayahmu ke aku. Aku bisa sampai seperti ini, semua berkat almarhum."

"Aku menyesal, dulu pernah sangat bertanya-tanya kenapa ayahku melakukan itu. Sekalipun aku tak percaya, tapi ... aku terpengaruh."

"Itu masa lalu, kau juga belum dewasa. Pernah dengar kalau waktu dan pengalaman hidup mendewasakan kita? Bukan aku yang bilang, tapi pepatah." Erik tertawa.

"Semoga setelah ini, semua kembali tenang." Luhung sungguh berharap.

"Amin."

"Sering-sering berkunjung liat keponakanmu." Luhung berkata lagi, Erik menganggukkan kepala. "Jangan lupa undangan kalau menikah." Erik tertawa. Ditepuknya pundak Luhung.

"Sampaikan salamku untuk Om Deni. Bilang kalau aku akan mencari dia saat ada keperluan." Luhung masih melanjutkan. Kali ini dia yang tertawa, beruntung mereka memiliki Om Deni. Sudah seperti God Father mereka saja.

"Dia akan muncul saat dibutuhkan."  Erik balas tertawa.

"Aku berangkat, bang." Luhung dan Erik berpelukan, sebelum memasuki pintu keberangkatan bandara. Bersiap bertemu dengan orang-orang yang dia cintai di seberang lautan.

🍁🍁🍁🍁

Pembalasan dendam terbaik, mungkin bukanlah pembalasan dendam. Biarkan Tuhan dan alam bekerja dengan caranya sendiri. Biarlah waktu mengungkap semua kebenaran.

Sudah pukul delapan malam di rumah Bang John, Luhung dan istrinya masih tinggal di sana karena belum bisa meninggalkan mereka berdua. Apalagi sekarang, ada bayi kecil nan mungil menggemaskan. Neva dan Luhung terkadang harus meninggalkan anaknya saat bekerja. Karena itu, sekalipun ada pengasuh. Pengawasan tetap dibutuhkan.

Luhung membantu Neva mengangkat mangkok sayur dan lauk, mereka mengadakan jamuan kecil. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang.

"Ya ampuunnn udah gedeeee aja." Reena yang datang seketika menggendong bayi Luhung dan Neva. Mengambilnya dari buaian bayi.

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang