5. Chapter 3.1 Tak lagi sama

1.2K 238 24
                                    


Aku pulang.

Betapa sederhananya kata itu, sudah tiga tahun tak pernah lagi dia ucapkan. Karena sejatinya kata-kata itu diucapkan saat seseorang punya rumah, walaupun rumah itu tak bisa melindunginya dari hujan atau dingin malam. Tapi, ada keluarga yang menyambutnya, keluarga yang sudah tidak dia punya.

Cinta itu indah, sejak dulu sebagai seseorang yang cukup menarik, Luhung telah tahu perasaan itu.

Dia memacari beberapa cewek manis di sekolahnya, menulis lagu buat mereka, menyiapkan hal-hal romantis. Membuat mereka tergila-gila padanya. Mengajak mereka ke tempat-tempat indah, menyentuh mereka sedikit-sedikit, merasakan aroma yang manis strawberry sampai jeruk.

Hidupnya indah, tanpa masalah tanpa beban. Sebagai anak tunggal apa saja yang diinginkannya selalu dituruti. Masa-masa remajanya sangat indah dan menyenangkan, sebagai gitaris dan vokalis sebuah band yang cukup ternama di kotanya.

Luhung ingat sampai ke detiknya, saat di mana persepsi cintanya yang manis ternoda berubah jadi gila. Saat itu ia kelas dua SMA. Sosok wanita yang paling dicintainya bersimbah darah meregang nyawa di pelukannya. Wanita itu tetap menenangkannya hingga akhir hayatnya.

Luhung terbangun, nafasnya tersendat. Dia melihat sekeliling, masa lalu terus menghantui dan bahkan dia sendiri tak tahu bagaimana cara menghilangkan memori itu dari benaknya.

Waktu? Sedikit pun tak mampu mengikis kenangan. Tubuh Luhung gemetaran, dia meraih kunci motornya dan bersiap pergi. Tak ada seorang pun yang boleh tau hal ini, dia telah lari begitu jauh, berusaha meninggalkan kenangan masa lalu. Tapi, seperti lem, kenangan itu terus menempel dan mulai menghancurkan dia.

Luhung rela membayar dengan apa saja agar dia dapat merasakan cinta yang manis seperti dulu, cinta ibunya kepada dia dan juga .... Luhung terkesiap saat mobil sedan meluncur ke arahnya motornya pun oleng.

***

Luhung memalingkan wajahnya saat melihat gerombolan masuk ke kamar perawatan di rumah sakit. Omelan, sudah pasti tidak ada henti-hentinya.

Aku berharap bisa mati, tapi, kalau aku mati sekarang apakah hidup yang diberikan Tuhan ini sia-sia?

Pamannya yang sekarang menjadi wali Luhung selalu mengingatkan, bahwa seseorang hidup di dunia ini pasti punya tujuan, dan sebelum tujuan itu tercapai hidupnya tidak akan berarti.

Jalani hidupmu dengan baik, karena sekalipun kamu berada di tempat yang salah, bukan berarti kamu orang yang salah.

Tatapan Luhung beralih pada sosok berpakaian putih abu-abu yang sedang memasang wajah cemas. Sejak kapan gadis ini mulai masuk ke kehidupannya? Oh, ya, sejak tiga bulan yang lalu.

Jadi, kenapa dia memasang wajah yang cemas lebih cemas dari teman-temannya yang telah menemaninya selama beberapa tahun?

Lamunan Luhung buyar saat Reena mencubitnya dengan keras.

"Makanya jangan suka ngebut! Liat akibatnya!" Reena berteriak-teriak.

Joe memarahi Reena, mengatakan kalau mereka sedang di rumah sakit. Reena memang nggak lihat tempat, Luhung berdecak.

Luhung melihat perempuan bernama Neva itu lagi, dia meletakkan keranjang buah-buahan di atas nakas.

Reena mengupas apel dan menyuapi Luhung sepotong demi potong, Luhung pasrah saja, karena tangannya nyeri. Lagipula melihat Reena dengan mata melotot dan wajah kaku, membuat Luhung paham dia tak bisa menolak apa yang diperintahkan perempuan itu. Joe menawarkan diri menggantikan Reena yang langsung ditolak mentah-mentah olehnya.

"Bisa-bisanya pembalap keserempet, kalo sakit kamu parah, aku yang rugi, soalnya lagi banyak kegiatan." Joe bergidik melihat luka di kening Luhung yang membujur hingga pelipisnya.

"Lagian udah dibilang berkali-kali pake helm, rasakan!" Reena menyambung ketus.

Tapi Luhung tidak lagi terlalu fokus terhadap omelan Reena, dia justru memandang Neva yang sejak tadi diam dan gelisah.

Cinta pertama itu cinta yang tak mudah dilupakan. Bahkan saat kau bertemu cinta yang lain, kau tak akan pernah bisa melupakannya. Bias-biasnya tetap tertinggal dalam dada, dan sepeninggalnya, akarnya mencengkram kuat. Bahkan waktu tak pernah bisa menghapus, ia hanya mengikis. Beruntunglah kalian, orang-orang yang bertemu cinta pertama dan cinta itu juga untuk terakhir.

Neva terus datang setiap hari. Hal itu membuat Luhung gelisah. Gadis itu selalu memandanginya dengan sepasang mata bening yang tak mudah dilupakan. Luhung jadi bergidik. Bahkan saat Luhung menjerit kesakitan, mata gadis itu berkaca.

"Sebaiknya jangan," bisik Luhung lirih.

"Apa?" Reena menjelit. Luhung nyaris melupakan keberadaan yang lain.

Di rumah sakit, mereka bertiga selalu ada menjaga Luhung. Reena, Joe dan si 100% cewek itu. Luhung menyebutnya demikian karena dia memang manis dan feminim sekali. Mungkin itu juga karena, Luhung terbiasa melihat Reena. Padahal seharusnya dia tak boleh menilai dari sampul semata.

Hari kedua di rumah sakit, Neva membawakannya sebuah Novel. Luhung hampir terkikik membaca Novel itu. Kisah cinta monyet remaja. Neva juga membawakannya buket mawar putih dan boneka Harimau yang imut.

Luhung semakin meringis. Bahkan Joe cengengesan mengatakan itu sangat manis. Neva ... yah, dia benar-benar terkontaminasi film drama. Luhung tak kuasa menahan tawa dan kemudian mengaduh kesakitan karena lukanya. Neva terlihat bingung seakan tak mengerti kenapa Luhung bertingkah seperti itu.

***

Seusai kecelakaan kemarin, Luhung stay di rumah pamannya, karena pamannya beralasan kalau dia tetap di kos, pasti tidak ada yang mengurus. Paman Aldo adalah suami dari Tante Sheryl, adik Ayah Luhung.

Luhung melamun menatap laptop. Sudah satu jam dia memandanginya, dia nggak fokus mengerjakan tugas kuliah. Sepertinya nilai D atau E mulai menari-nari di pikirannya. Ditambah lagi Luhung menyetel musik dengan volume keras. Paman Aldo berteriak agar Luhung mengecilkan volume lagu yang ia putar dengan menggunakan speaker aktif.

Luhung menenggelamkan pikirannya dengan lagu-lagu rock, agar ia tidak tersedak jeritannya sendiri.

Luhung membenturkan kepalanya ke meja, rasa nyeri sisa kecelakaan kemarin bahkan belum sembuh benar. Dia membentur-benturkannya lagi, akhir-akhir ini peristiwa lalu kerap muncul membuat kepalanya ingin pecah.

Luhung tak sadar apa yang terjadi, yang dia tahu Tante Sheryl telah memeluknya sambil menangis, dia mendengar jeritan-jeritan yang memilukan yang kemudian dia sadari itu adalah suara dari mulutnya sendiri.

Paman Aldo membisikkan kata-kata, "Lupakan ... lupakan lah, Nak."

Luhung sendiri tidak tahu apa yang ingin dia lupakan.

Seperti peristiwa kemarin hanyalah mimpi, Luhung memegangi kening. Luka baru muncul di bekas jahitannya. Sekalipun paman dan tantenya tidak pernah membahas sikap Luhung yang beberapa kali aneh, dia mengetahui. Hanya saja Luhung tak berdaya.

Luhung mengusir bayangan buruk dalam pikiran, mulai bersiul-siul sambil melompati satu anak tangga sekaligus. Kepala terasa sakit, rasanya seluruh badannya sakit semua.

Luhung menumpuk dua lembar roti tawar mengoleskan selai kacang kemudian memakannya dengan cepat. Tante Sheryl mengomelinya agar makan pelan-pelan dan menyodorkan segelas teh hangat. Luhung mencari-cari kunci motornya, dengan jutek Tante Sheryl mengatakan bahwa dia dihukum seminggu untuk tidak membawa motor dan Tante Sheryl yang akan mengantarnya ke kampus. Tante Sheryl tetap bergeming walaupun Luhung telah merengek-rengek dan memohon.

Saat Luhung berpaling, Tante Sheryl menatap wajah keponakannya itu dengan pandangan sedih dan buru-buru tersenyum saat Luhung sudah siap untuk berangkat.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang