Matahari sangat menyengat di lokasi camp Jelajah Alam, seakan sedang melakukan pembalasan atas hujan deras kemarin. Partikel-partikel debu berukuran kecil memenuhi udara. Di dalam tenda yang panasnya luar biasa itu terdengar suara sedang berbincang.
"Kamu, kalo naksir bilang aja. Nggak usah sok-sok cool, professional donk," rutuk Reena.
"Apa, sih, kamu. Bawel banget," jawab Luhung ketus.
"Iya, tapi kalo kamu nggak suka. Jangan kasih harapan. Kan kamu tau dia tu tertarik sama kamu." Cecar Reena lagi.
"Tau dari mana?"
"Astaga, nggak peka nih bocah! Memang wanita itu lebih perasa." Selidiknya lagi. "Trus ngapain kamu minta change buat kawal hiking kelompok tujuh?"
"Nggak ada maksud apa-apa, aku malas di kelompok dua, mau sampe terakhir." Luhung masih berkelit.
"Kalo memang mau sampe terakhir, kenapa nggak ke kelompok sepuluh sekalian?"
"Yaa itu terlalu ter-ak-hir." Luhung menambahkan.
"Awas kalo kamu macam-macam sama Neva, dia itu anaknya lugu dan polos jangan kasih dia harapan palsu," kata Reena.
"Huh. Yakin? Dia cukup dewasa tuh."
"Wow, kayaknya baru kemaren kalian bilang dia anak kecil. Nggak konsisten banget."
"Payah ngomong sama emak-emak, kalah terus." Luhung kabur begitu Reena mulai membuka mulutnya lagi dan melotot.
Neva itu manis, cantik. Selalu ceria dan kepribadiannya itu bikin dia menonjol. Berusaha sekali menutupi kalau dia anak bungsu yang dimanja. Tapi itu aja ... awalnya ... Luhung mulai gelisah terhadap dia saat ... oh ... saat Neva mengunjunginya di rumah sakit.
Ekspresi cemas yang sudah tidak pernah dia lihat beberapa tahun belakangan ini. Saat itu Neva seperti mercusuar, kata-kata mercusuar agak terlalu silau, ya?
Bagaimana mengatakannya. Apa bunga matahari? Terlalu cewek. Ah pokoknya saat itu, cuma Neva yang terlihat olehnya.
Tapi Luhung takut, sejak kapan dia berani lagi bermain cinta? Apalagi sama anak berseragam putih abu-abu. Namun, entah kenapa semakin kuat perasaan takutnya semakin ia tergoda untuk lebih dekat. Hampir enam bulan sejak pertama mereka bertemu di kampus, sejauh ini tak ada tanda-tanda Luhung memberi harapan ke dia.
Sialan si Reena, hebat banget instingnya. Biasanya Luhung paling pinter nutupin perasaan.
Entah dukungan alam atau bukan saat itu hujan deras. Mereka terpaksa nge-camp dan Luhung jarang sekali bisa tidur di malam hari. Dia takut mimpi buruk dan menjerit-jerit kesetanan. Nggak lucu kan?
Luhung memandangi cewek-cewek di depannya, mungkin benar mereka ini terbuat dari bunga. Sungguh tidak tega melihatnya, kebasahan dan tidur dalam kondisi tidak nyaman seperti itu.
Kenapa juga cowok kalau nutupin perasaannya ke cewek langsung berubah drastis sikapnya? Luhung juga merasa demikian. Semakin dia merasa tertarik pada Neva, semakin dia berusaha menjaga jarak.
Luhung melihat tubuh Neva menggigil kedinginan di atas matras, kenapa sih dia mau aja ikutan acara seperti ini? Apa Luhung yang salah berpikir seperti itu? Teman-teman ceweknya juga sering tidur bahkan kalo tenda tergenang air.
Tapi, kenapa dia nggak pernah ngerasa senelangsa saat dia melihat gadis itu? Ah abaikan kata-kata Reena, abaikan jarak yang telah dia jaga, juga sikapnya yang seolah mengabaikan gadis itu. Luhung pindah posisi ke matras Neva dan mulai meletakkan kepalanya dengan hati-hati di lengannya.
"Kasian, ya," bisik rekannya yang sedari tadi sudah tiduran menempel mencari kehangatan manusia lain.
"Iya," jawab Luhung datar.
Laki-laki memang lebih fair, kalau Reena yang berada di sini. Pasti dia sudah diinterogasi habis-habisan.
Kamu terlalu kelihatan, batin Luhung.
Beberapa kali dia memergoki Neva melirik ke arahnya.
Sebenarnya misimu ikut acara ini apa? Boleh aku ngerasa? Apa mungkin karena aku?
Jangan mencoba sesuatu saat takut, perasaan manusia itu abstrak. Dia mudah berubah bentuk.
Bisakah aku mencoba ... memulai lagi ... ah ... aku terlalu takut tapi aku juga terlalu ingin.
Luhung menutup matanya di bawah langit malam.
***
Tiga hari yang menyenangkan dan tiba saat mereka untuk pulang. Walau kakinya masih nyut-nyutan, tapi Neva mengabaikannya.
"Prim." Neva menyebut nama sahabatnya itu lirih.
"Yap," aahut Prim.
"Liat arah jam tiga." Neva berkata seraya melayangkan pandangan matanya ke arah yang dia maksud.
"Kenapa? Siapa? Bang Luhung?" tanya Prim.
"Aku suka sama dia." Neva berkata dengan lirih.
Prim nyaris terpekik tapi langsung menutup mulutnya. "Cieeee ... cinlok."
"Cinlok apaan, aku udah suka dia sejak setengah tahun yang lalu."
"Apaaaa?????!!!!!" Prim berteriak kencang.
Prim dan Neva membutuhkan waktu seharian untuk tidur setelah pulang camping. Ibu Neva sedikit cemas melihat kakinya yang agak pincang. Wajah Neva terasa panas.
Ada kemajuan besar dalam kasusnya dan Bang Luhung. Tapi setelah dicerna lagi. Apa maksud dari kata-kata yang terakhir itu, ya?
Prim belum pulang dan memaksa menginap di rumah Neva, dia merasa diperdaya oleh Neva dan masih kesal karena Neva nggak bercerita apapun. Dia mengomel terus saat Neva menceritakan awal pertemuannya dengan Luhung.
"Pantesan, belakangan ini kamu tuh kalo aku sodor-sodorin cowok kece cuek aja ternyata mainnya udah beda." Prim merutuk.
Neva hanya diam, baginya perasaannya ke Luhung itu beda, sesuatu yang rahasia dan entah kenapa dia ingin menyimpannya sendiri. Mungkin karena Bang Luhung itu .... walaupun sikapnya pecicilan tapi dia misterius dan Neva nggak tahu kenapa hal itu terasa berbeda.
"Jangan-jangan Bang Luhung suka kamu juga tuh." Selidik Prim. "Kalo aku pikir-pikir, kenapa juga dia selalu bersama kelompok kita. Eh terus pas kita pulang kemalaman, tiba-tiba dia nongol nganterin kita."
"Mungkin kebetulan."
"Hmmm ... aku nggak percaya sama kebetulan."
Sebenarnya aku juga, batin Neva. Mendadak dadanya berdegub kencang.
"Parah," lanjut Prim lagi sambil melirik kesal ke sahabatnya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kedua (Completed)
RomanceLuhung kehilangan kedua orangtuanya sekaligus sejak remaja karena peristiwa pembunuhan tragis, membuatnya kehilangan dan tidak percaya perasaan manusia. Tapi di saat Neva datang menawarkan sebentuk hasrat yang murni, bagaimana dia dapat menolaknya...