13. Chapter 6. 2 Samar

832 171 3
                                    

Kantor Joni Setiawan & Associates terletak di lantai lima salah satu gedung yang juga diisi oleh tenant-tenant lain. Neva menyibukkan dirinya dengan melakukan riset dan mempelajari dokumen-dokumen kasus klien mereka.

"Neva, kasus Pak Sumitro kemarin udah selesai? " tanya Alvian. Sesama rekan kerja di firma ini, senior lawyer.

Neva mengangguk dan menyerahkan berkas-berkas ke dia.

Alvian melanjutkan sambil menggeruru, "Kasus ini mulai membuat senewen, kalo udah masuk media, jurnalis-jurnalis itu benar-benar luar biasa. Selalu saja bisa mengarahkan pikiran masyarakat. Kalo sudah di-blow-up kayak gini, kita mau menang juga sulit."

"Nanti sore kita jumpa pers, kamu coba siapkan bahannya. Soalnya bapak nggak ada, jadi terpaksa aku yang jadi korban para pencari berita ini." Alvian masih terus mengomel.

"Yang paling mengerikan grup media cakrawala, mereka nggak bisa dibendung. Harusnya ini kasus udah kelar dan damai dari kemaren-kemaren. Sekarang semua wartawan mengerumuni kita kayak belatung."

"Jorok banget, sih, istilahnya." Neva bergidik ngeri.

"Haha ... sorry ..."

***

Pukul tiga tepat, ruang meeting sudah dipenuhi oleh wartawan dari berbagai media. Kasus Pak Sumitro mengenai pembebasan lahan. Tadinya sudah ada jalan damai, akan tetapi, karena berita ini naik ke media, pembicaraan damai tersebut berakhir dengan tuntutan masyarakat.

Neva memilih menunggu di luar, dia newbie di firmanya dan juga tidak terlibat cukup dalam.

"Aku baru tau kalau ada wanita cantik di tempat ini."

Tiba-tiba suara itu mengambil alih perhatiannya. Jantung Neva mendadak berdetak cepat.

Sosok itu tersenyum. Kemudian menghampirinya.

"Sudah lama, ya." Sosok itu berkata lagi, pelan namun tajam.

Neva tertegun, dia harus bilang apa? Halo? Hai? Eh? Atau? Kenapa dia hanya diam? Ah, begitu kekanakan kah dia sampai-sampai tidak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini?

"Ah, ya ...." Dia bersyukur akhirnya bisa keluar dari kebisuan itu. Tapi, kata apa itu? Cuma, ah, ya?

"Kapan pulang?" Sosok itu bertanya lagi.

Sebenarnya pertanyaan apa itu? Kapan pulang? Pantaskah seseorang yang selama tujuh tahun menghilang dan tidak bisa dihubungi, menanyakan hal seperti itu lagi? Kenapa dia datang lagi di hidupnya?

"Sekitar tiga minggu." Neva menjawab juga dengan suara yang lebih pelan, dia memutuskan untuk tidak bersikap berlebihan.

"Oh, semalam ..." Dia berhenti berkata. "Semalam, sebenarnya kita sudah ketemu, ya."

Neva memandangnya sedetik, kemudian memalingkan wajah. Wajah lelaki itu semakin tirus dan keras. Tapi dia tetap tampan.

"Iya," jawab Neva lirih. Jadi dia memang melihat Neva tadi malam. Namun, memilih tidak menyapa atau menghampiri.

"Kamu sama sekali nggak berubah."

Neva tertawa nyaris sinis.

"Pada dasarnya nggak ada manusia yang berubah." Entah kenapa tiba-tiba Neva mengatakan hal itu.

Luhung, nama lelaki itu, dia tertawa.

"Wah ... konferensinya hampir selesai, aku harus mendampingi wartawan magang, nih." Perkataan Neva bahkan seperti diabaikan.

Wartawan? Dia wartawan? Pikir Neva. Memang tak heran, dulu dia ambil jurusan Ilmu Sosial.

"Boleh aku menelponmu?" Dia bertanya lagi dan Neva bahkan nggak yakin apakah itu pertanyaan atau pernyataan?

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang