24. Chapter 13.1 Prasangka

903 179 9
                                    

Angin laut dan air asin menerpa kencang pipi Luhung. Saat ini, dia terombang ambing di atas laut menuju pulau kecil tempat penggiat diving kerap melakukan aktivitas karena kekayaan hayati lautnya. Tadi pagi dia sempat menelpon Neva perihal kegiatannya itu. Neva tak bertanya apapun. Salahkah dia? Lidah Luhung terlalu kelu untuk menceritakan kegundahan yang terasa sesak di dada. Luhung tak ingin menyeret Neva ke dalam pusaran konflik ini, dia tahu Neva sangat perasa.

"Di darat di laut memikirkan cinta. Sungguh anak manusia." Suara Reena terdengar nyaris berteriak mengalahkan deru kapal itu. Luhung tergelak, ya, dia bahkan berahasia dari Reena juga.

"Cinta apa, Kak?" sahut Isia yang ternyata menguping pembicaraan mereka. Seperti tahu, Reena tak bilang apapun hanya tersenyum.

Pelan- pelan pulau kecil itu membesar terlihat perairan yang sangat jernih dengan air bewarna biru kehijauan membayangi pasir putih di bawahnya. Pulau yang populer karena berbagai macam jenis karang. Matahari benar- benar menyengat dan membakar. Tapi semua itu sebanding dengan pesonanya. Ombak sangat tenang walau pulau tersebut di kelilingi lautan karena adanya batu karang alami yang mengelilingi pulau sehingga menahan gelombang air laut.

Luhung menjejakkan kakinya di atas pasir, sudah beberapa kali dia ke sini. Isia menjajarkan dirinya di samping Luhung. Reena menyusul mereka. Mereka menggelar matras di bawah pepohonan untuk menghalau sinar matahari. Sekalipun sudah sering menjadi tujuan wisata pulau ini tak berpenghuni dan tidak ada penginapan sehingga mereka harus meneggakkan tenda kalau mau menginap.

Isia mengajak Reena dan Luhung menyusuri pulau itu sebelum masuk kegiatan inti komunitas yaitu rehabilitasi terumbu karang dengan menanam terumbu buatan. Mereka berhenti dan duduk di atas batang pohon besar yang telah tumbang. Pembicaraan mereka didominasi oleh Isia, tak sulit membuatnya bicara. Isia juga bertanya tentang pertemuan mereka di coffee shop, kenapa Luhung tak mengajaknya untuk bertemu Reena. Reena mengatakan rencana mereka itu mendadak.

"Bagaimana kamu kenal Deo?" Luhung dengan cepat memanfaatkan momen itu

"Oh Bang Luhung kenal juga dengannya. " Dengan nada ceria Isia menjelaskan kalu Deo pernah beberapa kali menjadi narsum. Isia juga menyebut nama Abang Neva, Sony mereka baru bertemu sekali kemarin untuk membahas bisnis.

Isia jelas tak mengenal Luhung karena ia tak menaruh curiga atas pertanyaan Luhung yang terkonsep. Dia pikir memang seperti itulah Luhung. Reena sampai melotot mendengar pertanyan-pertanyaan Luhung yang bernada investigasi itu. Tapi Reena tetap diam.

Saat Isia dan beberapa anggota menyiapkan nasi kotak untuk makan siang Reena mencubit keras Luhung sampai membuatnya terpekik.

"Gila! Wanita sadis." Keluh Luhung.

"Aku bermaksud untuk nggak peduli tapi nggak bisa. Kamu ngapain tadi?"

"Apanya?"

"Interogasimu? Kamu lagi cari apa? Karena kamu bilang sekarang sedang menjalin hubungan, jadi jelas kamu nggak mungkin ada hati sama dia. " Luhung meminta Reena diam lalu dia menjawab.

"Iya."

"Astaga Luhung. Memang benar kamu ada niat terselubung."

Luhung mendesah. Melihat raut wajah Luhung Reena akhirnya diam, Reena mengerti banyak hal yang disembunyikan oleh Luhung sekalipun dulu dia kerap membahasnya dengan Joe perihal Luhung mereka tak mau memaksa Luhung bicara. Isia membawakan mereka nasi kotak. Reena mengawasi Isia yang tampak sangat gembira saat memberikan Luhung kotak nasi itu. Merasa prihatin tapi tak ingin mengganggu Luhung dengan rencananya entah apapun itu.

***

Usai azan maghrib Neva bergegas pulang. Tubuhnya letih dan kakinya pegal. Hari ini dia telah menyelesaikan berkas-berkas persidangan kemarin. Kemenangan dipihak mereka. Neva membuka kunci mobilnya.

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang