12. Chapter 6.1 Samar

878 201 14
                                    

Tujuh tahun kemudian,

Pulang,

Tadinya Neva beranggapan mencari kerja di ibukota lebih menjanjikan ketimbang di kota asalnya ini.

Pulang, biasanya Neva selalu pulang setiap lebaran, tahun baru atau pun libur semester. Tetapi kali ini, dia benar-benar pulang.

Butuh seminggu untuk membujuknya kembali. Ayah, ibu dan abangnya berkali-kali menelpon dan membujuk dia untuk kembali. Sebenarnya itu sudah sering terjadi, akhirnya setelah menyelesaikan magang sebagai advokat dan resmi menjadi advokat dia memutuskan untuk kembali.

Aku pulang. Neva mendesah.

Prim menangis saat melepasnya pergi, dia sudah bekerja di perusahaan oil & gas. Sahabatnya itu belum berpikir untuk pulang. Neva bilang, dia pasti akan sering-sering mengunjunginya, lagipula Prim juga mudik setahun sekali.

Sambil menunggu penerbangan, Neva mengingat-ingat, setiap kali dia pulang kembali Neva selalu mengenang seseorang, cinta pertama yang membuatnya berbunga tapi juga menghancurkan hatinya dalam sekejap.

Cinta pertama? Memang benar kata orang, cinta pertama selalu membuat jatuh cinta tak akan terlupakan.

Sony menyambut dengan sumringah saat menjemput di bandara.

"Kurus banget sih, nggak perna makan, ya?" Sony merangkul pinggang Neva, sambil menyeret travel bag gede.

"Barang-barang kamu kenapa sedikit?" tanyanya heran.

"Sudah aku paketkan."

"Pantesan, abang heran liatnya. Kamu marah 'dipaksa' pulang?" Sony bertanya lagi.

"Nggak juga." Neva menjawab santai.

"Papa dan mama kan udah makin tua, mereka selalu rindu sama anak bungsunya."

"Iya, bang."

"Yah ... memang beda, sih, situasi kerja di sana dan di sini. Tapi tenang aja, di sini banyak firma hukum yang lumayan gede. Abang yakin kamu bisa tetap berekspresi."

Neva tertawa, "Kata-kata apa itu? e
Ekspresi???"

Satu tahun telah berlalu sejak kepulangan terakhir, kota ini terlihat berbeda. Walaupun cuaca panasnya semakin membara.

"Wah makin keren aja ya cakrawala post." Neva mengomentari gedung tinggi yang mereka lewati.

"Ah, ya, maklumlah Harian independen. Jaringannya juga bagus. Partner hukumnya juga kenalan papa tuh, kalo kamu minat nanti gabung di firma hukum itu aja. Kamu jadi pengacara paling cantik se-kota ini," jawab Bang Sony.

"Abang ... abang ...."Neva hanya tertawa. "Itu klaim sepihak."

Sony nyengir.

***

"Kamu udah apply lamaran keberapa perusahaan, sayang?" Ibu Neva bertanya padanya pagi ini.

"Belom ada, ma, aku mau menikmati masa-masa jadi pengangguran dulu. Mama tau kan, aku belum punya waktu santai sejak jadi mahasiswi hukum, ikut pendidikan profesi, ujian, magang," jelas Neva.

"Kayak mama nggak kenal kamu aja, kamu mana bisa diam. Iya kan, Pa?" Ibu Neva mencari pembelaan ke ayahnya.

"Tapi benar juga kata Neva, bekerja itu membosankan, lho. Bayangin, pergi pagi pulang malam, sebenarnya kita menukarnya dengan waktu." Papa manggut-manggut.

"Ah, papa," rengut mama.

"Bang Sony ke mana? udah berangkat kerja?" Neva bertanya.

"Iya, kan, perusahaan mau launching produk baru jadi lagi sibuk-sibuknya. Sekarang papa santai banget, apa-apa abang yang handle." Ayah Neva menjelaskan.

"Oh, baguslah, agak berguna juga abang." Neva nyengir. "Memang kapan acaranya, Pa?"

"Dua minggu lagi," jawab ayahnya.

"Oh."

***

Neva langsung diterima bergabung di salah satu firma hukum yang lumayan besar di kota ini pada interview pertama.

Joni Setiawan & Associates.

Sebenarnya Neva curiga ada campur tangan ayahnya dalam hal ini, karena Pak Joni itu merupakan teman ayahnya. Tapi, beliau mengatakan kalau tidak tahu sama sekali. Pak Joni juga nggak tahu kalau dia adalah putrinya.

Sony juga meyakinkan, jelas saja Neva diterima, karena dia lulusan universitas terkemuka dan lagi magang di kantor advokat yang punya nama di Jakarta.

Sementara itu perusahaan keluarga di tangan Sony, kelihatannya semakin berkembang pesat. Sekarang sudah ada lima cabang di beberapa kabupaten.

Launching produk baru digelar di hotel terpopuler. Ballroom hotel dipenuhi oleh tamu. Neva menyapu seisi ruangan dengan matanya, Sony terlihat terlibat pembicaraan dengan beberapa businessman. Kalaupun bukan businessman, mereka pasti punya andil yang cukup di perusahaan. Terlihat dari gaya mereka berpakaian, walaupun ada istilah yang mengatakan, jangan menilai buku dari sampulnya, sampul sangat berguna untuk mempromosikan isi buku.

Kedua orang tua Neva juga sedang mengobrol dengan beberapa relasi, tampaknya hanya dia yang sedikit terasing di sini. Neva memutuskan untuk mencari angin segar ke balkon luar. Angin malam menerbangkan rambutnya yang panjang.

Seperti sebuah firasat, Neva menoleh ke arah pintu , seperti menangkap sosok bayangan yang tak asing.

Ingatannya melayang ke tujuh tahun yang lalu, walau suasana sangat berbeda. Akan tetapi....

Bilai ....

Kata-kata itu bergaung di pikirannya. Sosok itu masih sama seperti dulu kurus, cepak, terbakar tapi tampan. Tidak berubah sedikit pun, begitu juga selera berpakaiannya. Dia yang pernah bilang ....

Kalau seperti ini, aku harus jagain kamu terus.

Tapi dia pergi ....

Sama seperti dulu, dia tak menyadari kehadirannya, sama seperti dulu, dia yang selalu diam-diam menyukainya. Sama seperti dulu, dia tertawa seperti tak menyadari kalau ada yang sedang memperhatikannya.

Sama seperti dulu ... tingkahnya ... sama seperti dulu ... ketika dia tak pernah mengganggapnya ada.

Neva diam mematung. Tiba-tiba sosok itu menoleh ke arahnya dengan sangat cepat, menatap Neva dengan mata tajamnya.

"Neva." Tangan Neva ditarik oleh Sony, dia merangkul Neva cepat dan mengenalkannya dengan relasi bisnisnya.

Sosok itu menghilang ... Neva seperti berhenti bernafas .... Kenapa?

Harusnya dia telah bersiap dengan hal itu, kembali ke kota asalnya. Seharusnya dia siap dengan pertemuan bukan? Tapi ... Lagi-lagi tetapi.

"Neva, kamu kenapa?" Sony bertanya.

"Nggak kenapa-kenapa, Bang." Neva menjawab cepat, mengulas sedikit senyum di wajah.

Neva meninggalkan Sony segera setelah perkenalan itu usai, tergesa mencari sosok itu ... Neva cuma ingin tahu.

Kenapa dulu dia pergi?? Dia cuma ingin tanya itu saja.

Tapi Neva tidak berhasil menemukan sosok itu lagi sampai acara usai. Malam itu, dia menangis seperti dulu. Sebenarnya itu bodoh, tapi kata Prim orang jadi bodoh karena cinta.

Neva kehilangan dia lagi, walaupun dari dulu, sebenarnya Neva tahu orang seperti dia suatu saat akan pergi. Neva sudah punya firasat seperti itu. Neva selalu takut, takut saat menyukai dia. Neva, umurmu memang bertambah tapi sifatmu tak berubah.

Aku cuma ingin dipertemukan sekali lagi, lalu aku akan membuang habis semua ceritaku tentang kamu. Menyelesaikan masa lalu.

Neva berangkat kerja dengan tubuh lelah, luar biasa pikiran mempengaruhi tubuh rupanya.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang