31. Chapter 18. 2 Jalan Berliku

1.1K 163 11
                                    

Mama Neva telah tiba di Jakarta dan segera melakukan diskusi dengan Luhung, Luhung menceritakan yang terjadi dan mama Neva menggeleng. Terkadang Luhung bingung dengan jalan hidupnya, kenapa dia bisa mengalami kejadian seperti ini? Terluka, tersiksa, pergulatan batin. Kenapa tidak menjadi orang biasa saja? Menjalani hari-hari yang membosankan dan biasa? Menjadi suami yang melakukan itu saja, dan sebentar lagi menjadi seorang ayah dengan perut sedikit buncit bermain dengan anaknya sambil sesekali Neva akan mengomel menyuruhnya olah raga.

"Maaf, Ma, aku gagal menjadi suami yang menjanjikan keamanan untuk Neva."

"Hung, Neva akan marah kalau mendengar kamu bicara seperti itu. Sejak awal kami sudah tau apa yang menjadi bagian hidupmu itu. Dengan menerima kamu berarti kami sudah siap menerima itu. Papa pasti juga marah kalau mendengar kamu bicara begitu."

"Mendengar apa, Ma?" Tanya Neva.

"Keputusan Luhung untuk mengirim kamu pulang."

Neva meletakkan cookies coklat yang dia buat dan menuangkan teh ke meja. Kemudian dia duduk di sebelah Luhung.

"Sebentar lagi vonis Disioka akan dibacakan, setelah itu semua bisa kembali tenang bukan?"

"Semoga saja," jawab Luhung.

"Jadi kamu akan mengantar Neva, Hung?" Mama bertanya lagi.

Luhung mengangguk. "Nanti aku usahakan pulang setiap minggu, Ma."

"Sebenarnya Bang Luhung nggak mau aku pulang, Ma, tapi karena ada ancaman itu Bang Luhung takut."

"Itu wajar aja."

"Urusan di kantor sini, belum bisa ditinggalkan. Lagipula Bang Eric membutuhkan aku, Ma."

"Sudah, kalian tidak perlu banyak berpikir, sekarang juga udah canggih. Bisa telponan sambil melihat wajah. Tidak seperti zaman mama dulu, kalau jauh sama papa susahnya minta ampun."

Luhung dan Neva tertawa. Luhung mengecup kening Neva, berpisah sementara saja. Rasanya tak rela.

*****

Luhung memastikan kenyaman Neva dalam penerbangan yang membawa mereka ke kota asal mereka. Tempat pertemuan mereka, tempat keluarga Neva dan Luhung Saat ini.

Neva menyandarkan kepalanya di lengan Luhung, matanya sudah terpejam sejak beberapa menit lalu. Luhung menelusupkan lengan ke leher istrinya, merangkul pundaknya yang mungil.

"Maaf." Dia berbisik lirih, mungkin sepanjang hidupnya, ucapan maaf pada Neva tidak akan pernah cukup.

Entahlah. Luhung tak mengerti apa yang dia lakukan hingga mendapatkan wanita seperti Neva, selalu mendukung dia tanpa memikirkan dirinya sendiri. Sekalipun Luhung telah berusaha sekuat tenaga menjadi suami yang baik, banyak kekurangannya di sana-sini. Belum lagi ada bayang masa lalu yang menghantui. Pertarungannya dengan Disioka, juga antek-anteknya. Dia ingin segera mengakhiri semua.

Neva malahan tertawa, "Meminta maaf terus menerus. Lama-kelamaan aku jadi marah."

"Kamu masih bangun?"

Neva mengangguk, terasa manja gerakan kepalanya di lengan Luhung. Luhung memintanya kembali beristirahat.

Setengah jam kemudian, mereka akhirnya landing. Neva duduk dan Luhung menunggu bagasi.

Perjalanan ke rumah dari bandara memakan waktu dua puluh menit. Di perjalanan, Neva kerap mengantuk dan tertidur. Luhung tidak mempermasalahkannya, mungkin bawaan kehamilan.

Sampai di rumah, Luhung segera menemani Neva beristirahat di kamar, dibelainya kening Neva dan di kecupnya mesra. Neva cepat tertidur.

Luhung segera membuka ponsel dan mengecek perkembangan kasus dari Bang Eric. Tidak bisa dibiarkan, ini segera harus diakhiri, kalau tidak nasib keluarga kecil mereka sampai kapanpun tidak akan bisa tenang.

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang