Neva kaget melihat pria itu di lobby gedung kantornya saat pulang.
"Mau pulang?" Dia bertanya. Wajahnya terlihat lelah.
Apa dia menunggu? Dari jam berapa? pikir Neva.
"Ah ya." Itu lagi.
Dia selalu kehilangan kata-kata kalau berhadapan dengan orang ini. Padahal di antara rekan-rekan seprofesinya saat magang dulu, Neva selalu dipuji karena paling lihai bernegosiasi.
"Nonton yuk." Ajak Bang Luhung.
Neva menatapnya, kenapa dia nggak tega berkata tidak? Sosok Bang Luhung hari ini terlihat menyedihkan. Neva menghela nafas. Okey for last time.
"Oke, tapi makan dulu soalnya lapar." Sahut Neva. Mata Bang Luhung terlihat berbinar sekilas.
Jangan terlalu banyak berharap, batin Neva.
"Oke, gampang." Pria itu menjawab cepat.
Saat makan, Bang Luhung nyaris tak bicara, dia cuma menanyakan pesanan Neva. Memesan ke waitress. Akward.
Kapan terakhir pria ini tidur? Kapan terakhir kali pria ini makan?
Wajah Bang Luhung yang terkena cahaya lampu terlihat dewasa, selalu membuat Neva berdebar walaupun tanpa kata. Itu masa lalu ....
Usai nonton Bang Luhung hanya diam saat menyetir tapi mata Bang Luhung sudah fokus kembali tidak seperti saat nonton tadi. Beberapa saat kemudian Neva menyadari kalau itu bukanlah jalan pulang. Mau ke mana lagi mereka? Bukankah di studio tadi Bang Luhung bahkan seperti nyaris tertidur. Beberapa kali Neva menoleh dan melihat mata Bang Luhung meredup menyandarkan kepalanya, hampir menyentuh bahu Neva.
"Jam setengah 9, apa jam malam kamu masih jam 10?" Bang Luhung bertanya memecah kesunyian.
"Apa sih." Neva jadi sedikit kesal.
Bang Luhung menghentikan mobilnya di atas jembatan.
"Mau ke mana?" tanya Neva. "Bukannya dilarang parkir di atas jembatan ini?"
"Pemandangannya bagus di sini. Lagian kalau kita ditangkap, kita nggak sendirian."
Neva keluar dengan enggan. Tapi benar pemandangannya memang bagus dan ada beberapa kendaraan lain yang sedang parkir di jembatan itu. Hembusan angin malam itu terasa di pipinya
"Gimana betah kerjaannya?" Bang Luhung bertanya.
"Yah mau nggak mau," jawab Neva singkat.
"Kaget juga, kamu bisa jadi pengacara." Bang Luhung tertawa, persis saat dia dulu nggak yakin kalau Neva mau ikut kegiatan ke Pencinta Alaman.
"Memangnya kenapa?" jawab Neva.
"Kamu kan ceroboh dan cengeng lagi."
"Aku udah nggak seperti itu." Iya itu semua karena kamu dan cuma di hadapanmu. Neva berkata kesal dalam hati.
"Oh ya? Pada dasarnya manusia kan nggak berubah."
"Setidaknya aku bukan tipikal orang yang plin plan."
Bang Luhung terdiam mendengar kata-katanya.
"Ah kamu masih marah karena kejadian yang dulu itu?" ucapnya.
Marah??? Dia kecewa dan terluka. Sadar nggak? Sepertinya tidak. Kasih penjelasan donk kenapa dia pergi dan nggak bisa dihubungi selama bertahun-tahun. Tiba-tiba muncul dengan wajah berdosa. Mempermainkan perasaan seorang gadis lugu seperti dia. Ya! Dulu dia memang terlalu polos atau dengan kata lainnya bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kedua (Completed)
RomanceLuhung kehilangan kedua orangtuanya sekaligus sejak remaja karena peristiwa pembunuhan tragis, membuatnya kehilangan dan tidak percaya perasaan manusia. Tapi di saat Neva datang menawarkan sebentuk hasrat yang murni, bagaimana dia dapat menolaknya...