4. Chapter 2.2 Perempuan dan Perasaan

1.1K 199 4
                                    

Bel rumah berbunyi, Neva beringsut dari karpet di depan televisi.

Siapa lagi datang jam segini? Dia berpikir.

Neva cukup kaget saat membuka pintu dan melihat siapa saja yang datang. Joe, Reena dan seseorang dengan trauma masa lalu.

"Papa lagi nggak ada, abang-abang dan Kak Reen." Neva berkata, mencoba untuk terdengar biasa. Mereka kasak kusuk. Dia kemudian mempersilahkan mereka masuk.

"Lagi ngapain, Va?" tanya Reena.

"Nggak ada, kak, lagi santai-santai aja sambil nonton TV," jawab Neva.

"Sendiri aja, ya?" Luhung bertanya juga, suara itu terdengar merdu di telinga.

"Iya, Bang, aku ambil minum dulu."

"Nggak usah repot-repot, Va." Joe sontak berkata.

"Ya nggaklah, Bang," jawab Neva lagi.

"Bukan begitu maksud Joe, Va, dia mau ambil sendiri sekalian nguras isi kulkas." Luhung tertawa.

Neva baru sadar tawanya indah, atau karena dia lagi naksir-naksiran sama sosok itu? Bahkan suaranya terdengar keren? Neva dan Reena tertawa mendengar ucapan Luhung.

Tapi kemudian, Neva langsung mendengus lagi. Menunjukkan kalau dia masih marah karena kata-kata lelaki itu kemarin, saat Neva mengunjungi sekretariat.

Neva bergegas mengambil stok cemilan seminggu dari kamar dan menggotong botol berisi air dingin dari lemari pendingin.

"Kalau lagi nggak ada acara ikutan kita aja, Va," kata Kak Reena.

"Emang mau kemana, Kak?" Neva dan Reena duduk selonjoran menonton TV, sedangkan Joe dan Luhung menjajal PS milik Abang Neva.

"Nonton." Reena menjawab.

Kalau misalnya aku ikut, berarti kami ada dua pasang, sama dengan double date dong? Neva terkesiap.

Hampir saja wajahnya memerah membayangkan pikiran anehnya sendiri. Neva mengiakan dan mengirim pesan pada ibunya untuk meminta izin.

***

"Wah wah ... akhirnya bisa nonton sama cewek," celetuk Joe saat membeli karcis.

Kata-kata Joe itu disambut tinju Reena tepat di perutnya. Membuat Neva tertawa. Reena sebenarnya cukup manis, tapi karena dia bergaul dengan anak-anak PA, secara dia juga salah satu anggota, menyebabkan sisi-sisi feminimnya tertutupi. Rambut ikal pendek, kaos oblong, jeans, sepatu kets, tali-tali di tangannya juga kalung dengan bandul pahatan kayu berbentuk patung totem.

Luhung membeli minuman dan yang membuat Neva kaget, dia membelikannya coklat panas. Sedang Luhung dan yang lain, Americano. Sangat berbeda, semakin membuat jarak antara Neva dan mereka.

Neva menatap gelas itu lama, dengan salah tingkah Luhung bertanya apakah dia nggak suka coklat panas. Neva buru-buru menggeleng.

Di dalam hati, Neva menikmati bepergian dengan Luhung dan teman-temannya. Kalau Prim tahu, bisa-bisa dia ngambek beberapa hari karena Neva nggak mengajak nonton.

"Pop corn-nya satu berdua aja, maklum anak kost," kata Reena. Neva terlihat mengangguk.

Dan entah kenapa posisi duduk di bioskop seperti telah disusun. Luhung duduk di samping Neva, dia terus menerus menyodorkan pop corn.

Bukankah seharusnya aku yang pegang? Neva tampak berpikir.

Beberapa kali dia mengambil pop corn dan kerap tangan mereka bersentuhan. Cepat-cepat Neva menarik tangannya. Neva jadi penasaran melihat wajah Luhung, apa lelaki centil itu tau kalau Neva gugup? Jangan sampai dia tau.

Waktu terasa cepat berlalu, karena ada Neva. Tampaknya Reena secara sepihak memutuskan setelah nonton mereka akan makan jagung bakar di pantai.

Luhung dengan cepat bertanya jam berapa dia harus pulang dan pertanyaan-pertanyaan lain yang semakin membuatnya merasa seperti anak kecil. Tapi memang benar, dia memang belum sebebas mereka. Banyak peraturan-peraturan yang mengukung dan baru kali ini dalam hidupnya, Neva ingin melanggar jam-jam saat dia wajib berada di rumah.

Mereka pulang tepat sebelum magrib dan mereka memutuskan untuk numpang makan gratis di rumah Neva, seraya ketemu dengan Ayah Neva.

Saat berbicara dan tertawa, Neva menguping pembicaraan mereka dan ayahnya yang hampir setengahnya tidak dia mengerti. Berisi kata-kata yang tidak dia pahami.

Apa itu dunia mahasiswa, karena itu ada yang namanya pembagian pelajar/mahasiswa/umum?

Apa karena istilah-istilah itu membuat mahasiswa diberi julukan kaum intelek? Seintelek bahasa yang mereka gunakan. Satu yang pasti mereka sedang membahas outbond untuk kantor.

"Neva, kamu belum tidur sweet ini udah jam sepuluh?" teriak ayahnya dari ruang tamu saat melihat Neva masih berleseh-leseh di depan televisi.

Kata-kata yang biasanya dia anggap merupakan perhatian, tiba-tiba membuat Neva sebal, seakan-akan dia benar berbeda dengan teman-teman barunya.

Mereka tersenyum simpul, Neva balas berteriak kalau dia sudah biasa begadang. Ibu Neva kemudian membawakan susu coklat dan rasanya dia ingin tenggelam.

***

Luhung leyeh-leyeh di depan sekretariat sambil mengipasi wajahnya dengan buku. Cuaca sangat panas.

"Lagi mikirin anaknya Bang John?" ejek Reena.

Luhung melotot, "Sembarangan ngomong."

Reena terkekeh, sudah beberapa kali Reena menjodoh-jodohkan teman lelakinya, sesama anak pencinta alam. Katanya anak pencinta alam itu setia, tapi urusan percintaan rata-rata susah semua.

"Anak Bang John, manis, imut, cantik. Paling penting dia kayaknya naksir kamu, Hung."

Luhung menerawang. Diingatnya sosok itu, bukannya Luhung tidak peka. Sejak pertama mereka bertemu di lapangan wall climbing, mata itu terus-terus mencarinya. Seperti menghantui dia.

Pertemuan kedua, saat dia main lagi ke sekretariat, terlihat jelas wajahnya berubah saat Luhung menggoda gadis-gadis yang melintas. Lucu mukanya, seperti ekspresi seorang pacar yang cemburu.

"Melamun." Reena terkekeh lagi.

"Masih kecil."

Reena tertawa lagi. "Parah."

"Belum minat pacaran." Luhung berkata lagi.

"Masih trauma dan belum move on?" Reena mengejeknya lagi.

Luhung tertawa, "Memang sok tau kamu tuh, Reen, luar biasa."

"Ditikung yang lain, rasakan kamu."

"Daripada kamu cerewetin aku terus, mending bikinin aku kopi."

Reena mendengus. "Imbalan?"

"Nanti aku ceritain lagi soal kisah cinta masa laluku."

Reena yang pada dasarnya punya rasa ingin tahu yang sangat besar mengangguk setuju. Apalagi soal Luhung. Setelah dia masuk ke dalam untuk memanasi air, Luhung tertawa geli.

"Reena ... Reena ... Gampang bener dikibulin." Luhung berdecak.

****

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang