3. Chapter 2.1 Perempuan dan Perasaan

1.3K 256 10
                                    

Hari ini, tidak tahu apa yang ada di pikiran Neva. Dia telah menapakkan kaki di halaman sekretariat Pencinta Alam di kampus, sendirian.

Neva celingak-celinguk saat masuk dan lama berdiri memandangi pohon anggrek hutan yang tertanam di pohon besar di halaman. Akhirnya ada mahasiswa yang keluar dari pintu sekretariat.

"Haloo Neva, tumben kamu sendirian ke sini? Papa mana?" tegurnya. Sepertinya itu mahasiswa yang kemarin.

"Neva kebetulan tadi dari rumah teman, Bang, jadi mampir ke sini." Entah apa yang membuat dia nekat, mungkin ayahnya sendiri bakal terkejut kalau mengatahui Neva melanjutkan kunjungan dia dan ayahnya kemarin. Sendirian menyambangi sekretariat Pencinta Alam.

Mahasiswa yang tadi menyambut Neva mengambil air putih dari dalam.

Neva terkikik dalam hati, steril kah gelas itu? Airnya?

Gelas plastik yang sudah kusam dan sedikit penyok. Neva minum seteguk karena si mahasiswa menatap gerak-geriknya.

"Tumben sepi, Bang," tanya Neva basa basi.

Untuk pergi ke kampus, Neva berbohong pada Prim. Dia berkata kalau akan ke rumah saudara. Nyatanya, Neva malah minta di antar supir ayahnya menuju kampus.

"Oh, iya, ini kan masih jam dua, masih pada kuliah. Paling ntar lagi pada ke sini," sahutnya.

Neva manggut-manggut mendengar penjelasannya. Benar juga. Beberapa saat kemudian, dua motor berhenti di bawah pohon perdu di depan sekretariat.

"Pantes si Joe betah, ternyata ada makhluk cantik di sini." Sapa mahasiswa berambut gondrong lurus, gayanya lebih mirip bintang K-Pop ketimbang anak PA.

"Ah, resek yak!" Ternyata nama orang yang menemani dia tadi Joe.

Sekretariat mulai rame, anggotanya berdatangan mereka dengan santainya duduk di samping Neva. Tertawa-tawa dan bicara seakan-akan dia sudah lama menjadi bagian dari mereka. Membuat Neva merasa nyaman dan tidak asing berada di sana, Joe mulai memperkenalkan mereka semua satu persatu, Neva tidak bisa menghapalnya.

"Luhung."

Nama itu seketika membuat Neva tersentak.

Mana? Ooh Neva melihat sosok lelaki dari kejauhan. Kurus tapi urat-urat halus terlihat di tangannya, T-shirt berwarna abu-abu, ransel, dan sepatu kets. Khas mahasiswa. Dia duduk tepat di hadapan Neva.

"Ah! Sialan si PJ masa nilaiku C." Luhung mulai mulai mengeluhkan salah satu dosennya.

"Masih mending bisa dapet C, nah, nilaiku semester lalu malah E. Terpaksa ngulang. Si PJ itu memang benci cowok-cowok keren," cerocos Joe dan mereka tertawa terbahak.

"Wow liat arah jam sepuluh," celetuk Luhung.

Sosok cewek yang cukup manis melintas di depan sekretariat. Kontan saja makhluk yang bergenre pria di sana bersiul-siul.

Neva shock. Mereka menggoda cewek lewat, padahal ada dia yang kata teman-teman cowok satu sekolah punya wajah paling cantik.

Apa mereka menganggap dia anak kecil? Neva jadi kesal sekali, terutama terhadap kelakuan orang bernama Luhung itu. Membuatnya ilfil. Ternyata dia playboy.

Masih dalam suasana tertawa-tawa, mereka berdebat dengan anggota cewek mengenai kebiasan mereka menggoda cewek-cewek lewat, bisa merusak image di kampus.

"Udah deh, kalian malu-maluin. Ntar Neva nggak jadi daftar PA, kalau tau tingkah laku anggotanya kayak gini," kata mahasiswi yang kalau tidak salah bernama Reena. Neva hanya tersenyum tipis.

"Nggak mungkin lah dia masuk PA," celetuk Luhung sambil tertawa. Semua terdiam dan melirik ke arahnya termasuk Neva.

"Memangnya kenapa?" tiba-tiba Neva berkata.

Luhung sampai kaget melihat pertanyaan yang tiba-tiba dan ketus. Seketika itu dia terdiam dan tidak bicara lagi. Lalu semua yang ada di sana tertawa terbahak-bahak.

"Mampuus kau, Hung! Makanya jangan sok-sok, sama cewek aja nggak berani."

"Diam, mau aku hajar beneran?" Dia berkata kesal.

Neva kaget melihat ekspresi di wajah Luhung, wajahnya memerah karena malu atau karena marah?

"Aaah udah deh aku mau ke belakang dulu, kasih makan ayam." Luhung beranjak meninggalkan mereka.

Haaa??? Ayam?? Neva semakin kebingungan. Lalu Reena meletakkan tangannya di bahunya.

"Jangan tersinggung ya, sayang, Luhung itu nggak bermaksud ngeremehin kamu. Dia emang sial kalau berhadapan dengan cewek."

Sial apaan? Bukannya dia yang matanya sibuk jelalatan sama orang-orang yang lewat?

"Dia beneran mau kasih makan ke ayam?" Pertanyaan Neva yang polos membuat mereka kembali tertawa terbahak.

"Nggak. Itu alasan dia aja buat kabur. Luhung itu gayanya aja yang sok kocak, padahal dia nggak berani sama cewek."

"Iya, dia itu nggak pernah punya cewek di kampus, padahal sekarang udah semester empat. Dan selama itu juga dia nggak pernah curhat kalo dia lagi PDKT kecewek." timpal yang lain.

"Aduuh mulai deh ibu-ibu bergosip," cetus Joe.

"Berisik, daripada kalian jelalatan liat cewek-cewek yang nggak lebih oke ketimbang kami." Reena memasang wajah kesal.

"Mungkin nggak ada yang mau kali," Neva berkata.

Reena tertawa seraya berkata. "Waduh, biar gayanya begitu banyak yang suka dia."

Neva berdesir, ada sedikit rasa kesal. Apa ini perasaan cemburu? Karena dia nggak tau banyak mengenai orang yang mulai hmm ... sedikit dia perhatikan?

"Denger-denger kabar, dia dulu pernah tunangan, terus ditinggalin. Akhirnya dia trauma buat ngejalin hubungan sama cewek." Reena melanjutkan.

"Reena!" sontak terdengar suara yang sedikit keras membuat Reena terdiam.

"Jangan buat gosip yang tidak-tidak." Ternyata Joe yang menegur. Dia menoleh ke arah Neva. "Nggak usah kamu dengerin omongan si Reena, Va, ntar kamu stress lagi terkontaminasi sama dia. "

Reena mencoba untuk protes tapi mata Joe menatapnya kesal dan itu cukup untuk membungkamnya.

Terlambat, Neva telah memikirkan kata-kata itu dan terdiam lesu. Dia meminta supir datang menjemput, sudah segera ingin kabur dari sana.

***

"Reen, kamu ngapain ngomong kayak gitu sih tadi sama anaknya Bang John?" tegur Joe.

"Ngomong apa, Joe? Yang tadi aku sampaikan sama Neva soal traumanya Luhung?" Reena balas bertanya.

"Nah itu kamu tau."

"Lho, Luhung sendiri yang cerita sama aku." Reena masih mengelak.

"Kamu tau Luhung itu orangnya seperti apa? Itu jelas-jelas bohong. Lagipula kamu ngomongin sama anak kecil, nggak pantes tau."

Hah! Anak kecil? Bisa-bisanya si Joe bilang Neva itu anak kecil.

Apa karena dia masih SMA? Mereka sadar nggak sih kalau dia itu sebentar lagi jadi mahasiswi?

"Kamu bilang anak kecil, Joe? Kamu punya mata nggak sih? Ternyata nggak kamu nggak Luhung sama aja, kalian selalu ngeremehin orang lain. Lagian aku nggak pengen aja dia punya penilaian jelek tentang Luhung padahal itu bertolak belakang sama kepribadiannya." Reena mendengus dan berlalu.

"Waduh malah jadi aku sih yang diomelin." Joe ngedumel sendiri.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang