11. Chapter 5.2 Ilusi Memilih Pergi

853 171 5
                                    

"Ada lomba triathlon* di Palembang. Ada cabang Arung jeram juga lombanya."

"Palembang?" kening Luhung berkerut.

"Kamu pilih tim kamu, ya, Hung."
Suara itu melanjutkan lagi.

"Aduh, aku nggak ikut kalo di sana." Luhung menyeka rambutnya.

"Lho ... emangnya kenapa? Ini perlombaan gede, tingkat nasional. Lagipula siapa yang bisa diandalkan kalo bukan kamu?"

"Sorry, aku nggak ikut."

"Lah, Hung ...."

Palembang? Siapa yang mau kembali ke sana? Luhung terhenyak ... miris ... sungguh gila ...

Sampai matipun, mungkin tak mau lagi aku menginjakkan kakiku di sana. Walaupun terlalu banyak kerinduan akan kota itu. Tapi, aku sudah tak mampu lagi rasanya untuk sekedar mengenangnya, batin Luhung.

"Pergi, sih, nanti bawakan aku mpek-mpek sama kemplang." Reena masih sibuk membujuk Luhung untuk mengikuti lomba itu.

Luhung hanya diam saja, malas bicara, malas menjelaskan, apalagi dengan sifat rasa keingintahuan Reena yang tinggi itu, bisa-bisa dia terpojok.

"Hei, jangan-jangan kamu takut ketemu mantanmu dulu itu, ya?" Reena terkikik dan semakin menyebalkan tingkahnya saat melihat raut wajah Luhung yang mulai berubah.

"Nggak usah ingat-ingat yang lalu, lagian kamu kan udah punya Neva, cewek yang manis dan super imut itu." Goda Rena melanjutkan.

"Edan kamu."

"Kalau aku perhatikan sepertinya hubungan kalian agak ada perkembangan, tapi bentar lagi ditinggal tuh. Aku dengar dia mau kuliah di Jakarta." Rena masih terus nyerocos tak berhenti.

"Kamu itu, nggak bosan ngurusin hidup orang lain?" Luhung mendengus.

"Kalau kamu sama Joe mau ke Palembang, aku ikutan aja deh kayaknya. Nggak jauh juga kok."

"Terserah. Yang jelas, aku nggak akan berangkat kalo ke Palembang," tutup Luhung.

***

Pukul dua pagi, Luhung melirik jam di sampingnya. Matanya menangkap boneka harimau, membuat dia tertawa.

Kira-kira apa maksud anak itu memberikan Boneka Harimau yang sama sekali nggak ada sangar-sangarnya kepada seorang laki-laki? Kemarin saja, boneka itu mau ditinggalkan di rumah sakit. Tapi, wajah gadis itu langsung berubah cemas.

Kamu nggak pandai menyembunyikan perasaanmu apa?

Bolehkan dia? Tapi nggak! Darahnya saja sudah memberontak akan pemikiran itu. Pemikiran akan sebentuk cinta yang tulus dan polos. Harusnya kemarin kata-kata itu nggak terucap dari mulutnya. Ternyata dia juga tolol.

"Luhung." Paman Aldo memanggilnya.

"Iya, Paman."

"Paman besok mau ke Palembang, ada yang harus Paman urus." Luhung bergetar mendengarnya. "Ini menyangkut kamu."

Paman Aldo menghela nafasnya. Beliau melanjutkan, "Paman tau kamu nggak mau lagi balik ke Palembang, jadi biar paman yang urus segala sesuatunya. Oke?"

Luhung diam, Apa aku sepecundang ini? Masalahku malah Paman Aldo yang selalu sibuk. Tapi ....

"Paman sendirian?" Luhung bertanya pada akhirnya.

"Sepertinya begitu," jawabnya.

"Maaf, Paman."

Paman Aldo tertawa, "Kamu ini ada-ada saja, minta maaf segala. Ya udah, kamu nggak usah balik ke kos dulu selama paman pergi, jaga tantemu."

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang