17. Chapter 8. 2 Waktu Tak Mengurai Kata

856 160 3
                                    

Dengan alasan keluar untuk bertemu klien, Neva keluar siang itu dan pergi ke Kantor Cakrawala Post. Redaksi Cakrawala Post terletak di Lantai 8 dan 9 gedung cakrawala group.

Hebat, pikir Neva.

Mereka bahkan sedang mempersiapkan untuk ekspansi meluncurkan chanel televisi lokal. Cakrawala TV. Neva menuju front liner dan bertanya.

"Maaf Mbak, Mas Luhungnya nggak masuk kerja," kata front liner usai menyambungkan telepon ke Ruangan Harian Cakrawala.

"Masa mbak? Boleh minta alamatnya nggak mbak?" Neva bertanya.

"Maaf mbak, saya nggak berani kasih info pribadi kecuali persetujuan orangnya," jelas front liner.

HP-nya nggak aktif. Bagaimana mungkin seorang wartawan menonaktifkan HP? Bukankah etika profesi mengharuskan mereka standby 24 jam. Mendadak Neva sangat cemas mengingat wajah kelelahan dan diam Luhung.

"Nah mbak coba tanya sama mas itu saja. Soalnya dia seruangan sama Mas Luhung." Si front liner menunjuk ke arah sosok pria yang baru keluar.

"Oh ... oke." Neva mengucapkan terimakasih dan menghampiri sosok yang ditunjuk oleh front liner tadi.

"Maaf, permisi," sapa Neva.

"Eh Mbak Neva dari Firma Joni, kan?" Dia mengenali Neva. Neva langsung mengutarakan niatnya untuk menjenguk Luhung.

"Dia lagi kena bebas tugas mbak. Mbak pacarnya, ya?" Pria yang ternyata bernama Jaka itu langsung cengengesan. "Pantas saya heran, Bang Luhung suka cuek sama cewek, pacarnya cantik gini."

Neva hanya tertawa, enggan mengiakan atau membantah.

"Kalo mbak mau bareng saya aja, kebetulan mau ke sana minta supervisi berita," kata Jaka lagi. Neva mengangguk cepat.

"Ya udah tunggu bentar, saya pinjam helm dulu."

Sepuluh menit kemudian mereka sampai ke sebuah rumah. Untunglah tadi Neva meninggalkan mobilnya di Kantor dan menuju ke cakrawala post dengan taxi online.

"Bang ... Bang Luhung ...." Jaka mengetuk pintu rumah. Lima menit kemudian pintu itu terbuka. "Ada yang nyariin, Bang."

Luhung tampak kaget melihat Neva. "Kamu ... nggak kerja?" Dia bertanya lirih.

"Astaga abang demam. Yailah bang," celetuk Jaka.

Luhung langsung berjalan sempoyongan ke kamar terhenyak di atas tempat tidur seperti tidak sadar kalau ada yang datang.

"Inilah dia nih mbak, sudah berhari-hari nggak tidur, makan pun nggak jelas. Begitu istirahat langsung nge-drop." Jaka berujar sambil menggelengkan kepalanya.

"Udah makan?" Neva meraba kening Luhung yang seperti sadar tak sadar. Demam tinggi.

"Kayaknya nggak mungkin buat cek berita. Ya udah, aku tinggal dulu mbak. Soalnya kantor juga lagi sibuk. Oh ... mbak pulangnya gimana? Apa nanti aku jemput lagi?"

"Ah nggak usah, gampanglah. Nanti bisa pesan taxi online," sahut Neva.

"Bang jangan lupa makan, mbak tolong diliat-liat dulu Bang Luhung ini." Pesan orang yang bernama Jaka itu pada Neva.

Neva mengiakan. Dia mencari handuk kecil dan mengompres Luhung. Bahan makanan bahkan nggak ada di rumah lelaki itu. Neva menghembuskan nafas saat melihat isi lemari pendingin Luhung yang kosong, hanya berisi jeruk yang kulitnya sudah tampak keriput. Neva akhirnya memesan bubur.

Neva duduk di pinggir tempat tidur. Luhung berbaring ringkih, matanya terpejam.

Bulu matanya bahkan lebih panjang dari milikku, desah Neva.

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang