Luhung memasuki kantor dan segera menuju ke ruang pimpinan redaksi (pimred) dengan tergesa, rambut berantakan seperti hanya disisir oleh tangan. Wajahnya tegang.
"Woi kenapa?" rekannya memanggil. Luhung mengabaikan, terus berjalan. Dia mendorong pintu ruangan yang nyaris tak pernah dikunci oleh sang pimred.
"Bang, apa maksud abang, hah?" Luhung menghempaskan koran yang dia bawa ke meja Pimred. Edisi hari ini.
Erik, pimred Harian Cakrawala sudah tau akan reaksi Luhung.
"Sabar, Hung," katanya tenang.
"Abang tau nggak, aku sampe begadang berhari-hari untuk artikel itu." Luhung mondar mandir di depan meja Erik.
"Ya, justru karena itu, aku tau." Erik menjawab lugas.
"Bukannya pas rapat proyeksi abang dah setuju? Diam-diam abang cancel beritaku. Apa maksudnya ini, Bang?"
"Kita memang harian independen, tapi jangan terlalu frontal juga, Hung. Kamu nggak tau siapa politisi yang bermain di belakang kasus ini. Berita ini sangat berbahaya kita belom siap untuk itu "
"Tapi, Bang---" keluh Luhung lagi.
"Kamu kira abang nggak tau obsesi kamu terhadap kasus ini?" Erik bertanya, tapi lebih seperti pernyataan.
"Bang---"
"Abang kenal sekali watak kamu, jangan sampe obsesi kamu menghancurkan kamu sendiri, Hung." Intonasi Erik mulai berubah lebih keras.
Luhung diam, dia tidak bisa lagi membantah Erik. Kaget juga dengar kata-kata Erik, sangat tegas. Sejak kapan dia tau kalau Luhung mengincar orang itu? Luhung duduk di kursinya, kelelahan. Sia-sia sudah usaha dia untuk mencari informasi mengenai target pemberitaan.
"Kena kamu, kan," bisik Jaka, rekan seprofesinya. "Kan udah aku bilang kalau Bang Erik itu Hantu. Dia bisa tau semua niat terselubung kita. Dia itu, mengerikan."
"Aku keluar dulu," kata Luhung.
Jarak dari Kantor redaksi ke firma hukum Neva sekitar empat kilometer. Tanpa sadar Luhung sudah memarkir motornya di parkiran Kantor Neva.
Ada batas kerinduan yang memuncak, yang awalnya kau abaikan dan kau tinggalkan. Hingga pertemuan demi pertemuan terasa semakin menggila. Karena kerinduan itu.
Tapi hari ini Luhung hanya memandangi gedung kantor wanita itu saja, memory lama kembali membuncah.
Luhung, kamu benar-benar egois. Luhung berkata pada dirinya sendiri. Dia menelpon untuk makam siang.
***
"Selamat siang dari restoran xxx pesanan untuk Ibu Neva," kata kurir yang mengantarkan makanan ke kubikel Neva.
"Lho ... pesan makanan nggak bilang-bilang," kata Hamdi.
"Siapa? Aku nggak pesan makanan." Neva malah keheranan.
"Ibu Neva, iya, ini ada yang pesankan makanan untuk ibu. Sudah dibayar lunas." Kurir tersebut berkata lagi.
"Siapa, ya?" Neva mengerutkan keningnya.
"Pacar kamu kali," celetuk Bang Hamdi. "Makan ajalah, gratis gitu."
Neva berpikir lagi. Bang Sony? Atau ulah Bang Luhung. Neva tergoda untuk menelponnya tapi dia membatalkan niat tersebut. Nggak akan.
"Buat abang aja, Bang," kata Neva pada Hamdi.
"Serius, kamu lagi diet?" Bang Hamdi berkata kesenangan.
"Nggak. Cuma ngerasa aneh aja, soalnya nggak tau pengirimnya."
Hamdi tertawa, "Benar juga, siapa tau ada pelet. Ya udah, biar aku yang kena kalo memang ada peletnya." Bang Hamdi menyerobot bungkusan itu cepat.
***
Pengadilan Negeri.
Neva dan Pak Alvian mendampingi Pak Joni, wawancara dengan wartawan seusai sidang pra peradilan. Di depan pengadilan tampak pendemo yang terdiri dari mahasiswa dan LSM. Sejak kasus ini diangkat media dan ditangkapnya 7 orang aktifis lingkungan kasus ini merebut perhatian public.
Pak Sumitro, pengusaha yang menjadi klien mereka diketahui memiliki beking yang kuat. Karena itu beliau tidak mau memenuhi tuntutan penduduk untuk mengembalikan lahan yang di-claim telah dimiliki oleh perusahaannya itu.
Kasus kepemilikan lahan seringkali terjadi dan jalur perdata seperti ini memakan waktu yang lama dan melelahkan, biasanya pihak yang dirugikan akhirnya mengalah dan menerima sejumlah uang pengganti.
"Pak benar ada anggota dewan xy yang terlibat dalam kasus ini?"
"Apa ada rencana negosiasi ulang?."
"Kenapa pihak klien meminta sidang tertutup?"
Begitulah awak media mencecar mereka dengan pertanyaan-pertanyaan pasca sidang digelar.
"Padahal sudah sering. Tapi, selalu melelahkan menghadapi para wartawan ini," keluh Pak Alvian.
"Pak jangan ngeluh trus nanti uban tambah banyak," celetuk Bang Hamdi.
"Uban bisa disemir. Ah capek kali aku, Neva nanti kau sajalah yang temani bapak acara di Gedung Daerah." Pak Alvian berkata pada Neva.
"Lho, kenapa saya, Pak?" Neva bertanya.
"Kalau sama kau, bapak nggak tega ngomel. Kalau sama aku dah dihajarnya aku."
Neva menganggukkan kepalanya mendengar pernyataan Pak Alvian.
***
"Kamu ambil cuti sana!" Bang Erik membentak. "Sudah berkali-kali aku ingatkan, buktinya belum cukup. Ini bisa membahayakan Informan kita. Kamu selalu kalap kalau sudah menyangkut kasus ini. Mana kepalamu yang biasanya dingin itu?"
"Ini udah bertahun-tahun bang, abang tau gimana kehidupan aku selama ini, kan?"
"Justru karena aku tau, makanya aku nggak mau kamu terlalu terburu-buru. Sampai aku bilang oke, berita sejenis ini tidak akan naik. Kasus ini sudah lama, Hung, orang-orang sudah mulai lupa. Kamu melempar bola panas, nanti dia gelinding ke mana-mana semua jadi korban."
"Kekhawatiran abang terlalu nggak berdasar."
"Aku bilang kebenaran itu saat ini mungkin memang tak bisa kamu ungkap, tapi ada masanya dia akan terungkap. Kamu harus bersabar, Hung. Aku nggak mau kamu jadi korban. Ini bukan main-main. Sekarang kamu dibebas tugaskan, dinginkan kepalamu itu."
"Jangan gitulah, Bang. Bertahun-tahun aku jadi wartawan aku hampir nggak pernah cuti bang."
"Justru itu, jangan membantah, kalau membantah aku perpanjang pembebasan tugasmu. Sana kamu tamasya kek ngapain kek. Jangan datang ke kantor atau pun cari berita sebelum aku panggil lagi."
Luhung melengos dan membanting pintu ruangan Bang Erik. Marah dan kesal.
"Cari masalah, Hung. Udahlah anggap aja dapat jatah liburan, kita aja mau cuti susah."
"Luhung. Makan bareng, yuk." Tania, sekretaris pimred menghampirinya.
"Kamu makan sama Jaka lah. Aku lagi nggak mood." Luhung meraih ranselnya.
"Kenapa sih dia?" tanya Tania bingung.
"Dibebas tugaskan," kata Jaka.
"Serius???"
"Kamu hiburlah dia," sahut Jaka lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kedua (Completed)
RomanceLuhung kehilangan kedua orangtuanya sekaligus sejak remaja karena peristiwa pembunuhan tragis, membuatnya kehilangan dan tidak percaya perasaan manusia. Tapi di saat Neva datang menawarkan sebentuk hasrat yang murni, bagaimana dia dapat menolaknya...