20. Chapter 10.1 Untuk Waktu yang Hilang

938 189 6
                                    

Luhung memasuki Kopi Tiam YOLO, kopi tiam yang selalu penuh dan ramai pengunjung, tapi herannya kebanyakan pengunjungnya justru membahas masalah-masalah penting di sini. Kopinya luar biasa enak dan seakan memaksa orang untuk kembali. Luhung melirik jam di handphone-nya, padahal Tania sudah berkali-kali mengatakan untuk membeli jam tangan saja, tuntutan profesinya, tapi dia tak terbiasa menggunakan jam tangan.

Sudah lewat 10 menit dari jam yang dijanjikan, dia naik ke lantai dua terlihat pria berusia sekitar lima puluh tahunan di meja dekat sudut. Beliau menggunakan topi dan kaos maroon, penampilannya seperti anak muda saja.

"Apa kabar, Om." Luhung duduk di depan orang tersebut. Dia kemudian memanggil waitress dan memesan dua cangkir kopi.

"Ah ... kamu pake nanyain kabar lagi, om ya gini-gini saja kabarnya." Gelak tawa beliau mendengar pertanyaan basa basi Luhung.

Pria ini adalah Om Deni sahabat almarhum ayahnya dulu sejak saat kuliah sampai ayahnya meninggal. Dia adalah pengusaha Eksport Import di Palembang. Dari beliaulah Luhung mengetahui kenyataan lain mengenai kematian kedua orang tuanya. Om Deni berkata beberapa waktu sebelum ayahnya meninggal, ayah Luhung pernah bercerita bahwa ia baru saja mendapat bukti tentang korupsi Pembangunan Stadion Olahraga yang melibatkan seorang anggota Dewan berpengaruh. Namanya Disioka Lefir.

Disioka Lefir usai menjabat satu periode di Palembang kemudian hijrah ke kota ini dan berhasil lolos lagi sebagai anggota Dewan perwakilan Tingkat 1 bahkan kiprahnya semakin melejit. Itu juga yang membuat Luhung kembali ke sini dan bersama Bang Erik yang dulu merupakan wartawan di Harian yang sama dengan ayahnya bekerja mendirikan Harian Cakrawala tentunya dengan support modal dari Om Deni dan beberapa relasinya. Berkat kerja keras Erik dan dia, Harian Cakrawala menjadi media yang cukup besar dengan jumlah oplah terbesar kedua.

"Disioka kabarnya akan mencalonkan diri menjadi Gubernur," kata Om Deni. Luhung terperanjat. "Kalau dia menang akan semakin sulit untuk kita mencapainya, kita harus gerak cepat."

"Iya om, tapi ..."

"Kudengar dari Erik kamu terlalu terburu-buru, Hung," kata Om Deni.

"Tapi bukannya harus cepat?" Luhung membantah.

"Cepat tapi jangan tergesa, jangan sampai ceroboh. Kamu tau, menghilangkan nyawa bagi mereka sangat mudah," tegur Om Deni.

"Ya, Om." Luhung diam saja.

"Apalagi saat ini dia didukung dua partai besar, dibekingi oleh pengusaha. Kemungkinannya untuk maju sangat besar. Amunisi dia banyak." Luhung menghirup kopinya, mendengarkan kata-kata pria yang beberapa tahun ini selalu men-support-nya itu. "Kalau kita menyoroti dia, dia pasti akan meminta orang untuk menyelidiki. Kamu bisa menduga apa jadinya kalau dia tau kamu dan aku saling terhubung. Dampaknya bukan hanya ke kita, tapi juga orang-orang dekat kita. Ayah dan ibumu adalah korbannya. Ayahmu telah mengejar Disioka selama beberapa tahun. Tapi sayangnya ...." Om Deni menghentikan kata-katanya dan menghela nafas. Matanya berkaca.

"Berhati-hatilah. Kamu selidiki lagi kasus Sumitro itu. Bagaimana dia bisa menang dalam persidangan, pasti ada hubungannya dengan Disioka. Oh iya kamu kenal dengan Isia Rahmadita?"

Luhung berpikir sejenak, "Dia reporter TV Republik itu bukan?"

"Ya, coba kamu selidiki dia. Om dapat info dia punya hubungan khusus dengan Disioka?"

"Pacar gelapnya?" tanya Luhung lugas. Dilihat dari jejak rekamnya dan citra yang dibangun sebagai pria penyayang keluarga, tentu terlibat asmara dengan gadis muda merupakan skandal besar.

"Belum jelas juga, tapi kemungkinannya iya." Om Deni menutup pembicaraan mereka.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang