2. Chapter 1.2 Pertemuan

1.6K 226 5
                                    

Sahabat Neva, Prim, pernah bertanya tipe cowok yang dia suka itu seperti apa? Tapi dulu, Neva tidak punya kata-kata untuk menggambarkannya. Prim hanya melenguh begitu saja saat dia bilang tidak pernah mempermasalahkan fisik.

Tapi sekarang, rasanya Neva bisa mendeskripsikan. Rambut cepak, kulit coklat karena terbakar matahari. Lalu,  Neva pejamkan mata dan mengingat sosoknya yang mulai luntur di ingatan. Matanya tajam, bibir juga tipis, dia anak pencinta alam. Neva rasa yang terakhir tidak termasuk kriteria fisik.

Prim mengejutkan lamunannya, dia mulai membahas rencana mereka untuk kuliah di Jakarta. Ayah, ibu dan juga abang Neva tidak ada yang setuju. Mereka ingin Neva kuliah di dalam kota saja. Kadang jadi anak cewek bungsu itu sedikit menyebalkan, dikit-dikit diawasi. Tapi Neva cukup bersyukur dengan keluarganya yang harmonis. Walau abangnya, Sony, tidak termasuk hitungan. Dia agak mengesalkan, untungnya dia saat ini sedang kuliah di Yogyakarta, semester akhir. Jadi hari-hari Neva sedikit aman.

"Neva, kamu ngelamunin apa, sih? Dari tadi aku dicuekin." Prim memukul tangannya.

"Aku nggak ngelamun." Neva menjawab. Prim menyipitkan mata seakan tak percaya.

"Ada masalah di rumah? Atau Bang Sony makin nyebelin?"

"Iya, kayaknya yang kedua."

"Bang Sony nggak ngizinin kamu kuliah di Jakarta? Atau gimana kalo kita ke Yogja aja biar deket Bang Sony," lanjut Prim.

"Dia nggak mau kerja di Yogja, paling entar bakal pulang nerusin usaha papa. Taon depan bilangnya wisuda. Makanya dia nggak ngasih aku kuliah di luar karena nggak tahan pisah sama aku, lebay banget kan tu orang? Padahal dia udah kuliah di Yogja lima tahun."

"Aduh gawat dong kalo gitu, aku juga nggak mau nih kuliah sendirian, lagian kita kan udah sepakat mau kuliah bareng."

"Iya, aku juga pengen terbang nih." Neva cekikikan.

Memang benar, Neva selalu ter-shelter oleh perhatian keluarga. Dia tadinya sedikit takut membayangkan bagaimana ke depan? Sanggup atau tidak dia mandiri? Neva kemudian menampik kekhawatirannya dengan mengatakan pada dirinya sendiri. Bahwa, ada banyak cewek-cewek di luaran sana yang mandiri dan mereka bisa, lalu kenapa dia tidak?

Neva dan Prim mulai membuka-buka bundle mengenai jurusan-jurusan di Perguruan tinggi negeri. Dia tersentak.

"Kamu ngelamun lagi." Prim merengut kesal dan menarik bundle di hadapannya. "Kalo nggak cerita, aku ngambek, nih."

Neva pun terdiam. Prim dan dirinya sangat - sangat akrab, biasanya tidak ada hal yang dia simpan. Apalagi masalah taksir-taksiran sama cowok, tapi untuk kali ini saja, Neva memutuskan akan menyimpan rapat-rapat. Pipinya sedikit memerah, Neva tidak mau Prim tahu kalo dia tertarik sama anak kuliahan.

"Nggak, ntar kan Bang Sony mau pulang. Jadi, aku mikirin cara-cara membalas gangguan dari dia." Neva terkikik, untungnya Prim percaya dan berhenti bertanya.

***

Masih terbuai oleh kenangan singkat beberapa hari yang lalu, Neva bertanya pada ayahnya.

"Pa, bilai itu apaan, sih?" Ayah Neva hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. Mungkin terlalu tiba-tiba, karena biasanya dia jarang merespon cerita ayahnya mengenai kecintaannya terhadap kegiatan ke pencinta alaman.

Ayah Neva segera menjelaskan dengan sumringah bahwa belay itu bertugas untuk mengamankan pemanjat dengan tali, jadi apabila pemanjat jatuh ia akan tertahan oleh pengaman yang telah dipasang pada belayer.

"Lho berarti kita nggak mungkin bisa jatuh donk?" tanya Neva lagi.

"Iya, itulah keuntungan pemanjatan di dinding buatan, kalau di tebing asli untuk pengamanan caranya berbeda, tapi tetap bisa dilakukan." Beliau menjelaskan.

"Kira-kira kalau Neva manjat ada yang mau jadi belayer nggak, Pa?" Neva mengerlingkan mata dan melihat bagaimana mata ibu dan ayahnya menjadi lebih lebar, karna pertanyaan itu.

"Ya jelas donk, sweet, kalau perlu papa yang jadi belayer-nya, kalau kamu mau ntar papa hubungin anak-anak, lebih bagus lagi kalau beneran ke tebing." Ayah Neva berhenti sejenak, "Tapi harus di bawah pengawasan papa."

"Like father like son," celetuk Ibu Neva.

"Daughter mama," ralat Neva cepat. Sebenarnya dia juga ragu melakukan pemanjatan. Dulu sampai kelas empat SD, Neva suka memanjat pohon belimbing di rumah neneknya, aktivitas itu terhenti saat dia terjatuh. Menjelang SMA, Neva lebih prefer pada kegiatan-kegiatan yang berbau cewek, walau ayahnya tak pernah melarang dia untuk mengikuti kegiatan yang sedikit menggunakan fisik. Hanya Bang Sony, yang selalu dengan bawel menceramahi, hingga pada akhirnya dia menyerah karena tidak tahan diomeli.

"Oh, ya, tapi jangan cerita ke Bang Sony kalau papa ajak-ajak kamu ikut papa, sweet, dia kan suka overprotektif sama kamu." Ayah Neva tertawa riang. Padahal mereka sama aja, memang ayahnya sedikit lebih cuek ketimbang Bang Sony yang jelas menyebalkan.

"Kapan Bang Sony pulang?" tanya Neva.

"Dia bilang sama mama pertengahan bulan depan, kan sekarang masih ujian semester."

"Lho, bukannya dia udah tinggal skripsi, Ma? Va bete ngeliat dia buat status-status lebay 'kangen adekku, kangen adekku' gitu. Lebaayyyy." Neva memajukan bibir seraya bicara membuat kedua orang tuanya tertawa geli.

"Kenapa gitu dibilang berlebihan, sweet? Kan Bang Sony emang kangen sama kamu." Kening Ibu Neva berkerut sambil tersenyum simpul.

"Idiihh makanya, Ma, bilang sama dia suruh cari pacar jadi dia bisa kangen-kangenan ama pacarnya."

"Lha, kamu sendiri belom punya pacar?" Ayah Neva tersenyum simpul.

Neva serta merta membantah. "Va kan masih SMA, ngapain pacar-pacaran?"

"Nah papa dulu kelas lima SD udah punya pacar," sahut ayahnya lagi.

"Paraaaahhhh." Neva ngedumel sendiri sambil memberesi piring-piring makan malam.

Dulu saat SMP, Neva pernah punya pacar. Tapi cuma bertahan tiga hari. Dia geli sendiri mengingat saat itu. Cinta? Neva bergumam. Bagaimana rasa yang sebenarnya? Kemudian sesosok bayangan muncul dalam pikirannya.

"Sweet, papa mau buat outbond untuk karyawan kantor papa, udah lama rencananya. Kamu mau ikut nggak?"

"Outbond-nya ngapain aja? Waktu outbond di sekolah Va nggak asyik dan ngebosenin. Jadi, Va males ikutan outbond lagi. Capek, gosong."

"Yaah, padahal rencana papa, kalau kamu dan mama mau ikut outbond, papa jadiin seperti family day gitu, jadi karyawan bisa ajak keluarganya."

"Oh gitu? Boleh aja sih, Pa. Biar keluarga karyawan papa bisa happy-happy juga. Va nggak masalah. Emangnya mama mau?"

"Kalo mama sih nggak ada masalah. Mama suka juga." Ibu Neva berkata.

"Iih tumben mama ngomong kayak gitu, diancam sama papa, ya?"

"Waduh sebenarnya papa yang diancam, jangan sampe mama nggak ikut." Ayah Neva tertawa melihat ekspresi ibunya. "Rencana papa, ketimbang hire event organizer, biar proyeknya dikasih ke anak-anak aja, mereka juga udah punya kompetensi untuk itu."

"Anak-anak mana, Pa?"

"Siapa lagi?" Ayah Neva tersenyum.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang