Kasihan ....
Suara itu kerap terdengar mengiris hatinya.
Kasihan kamu ....
Luhung bertanya dengan marah kepada suara itu.
Kenapa?!
Orang yang setiap malam dihantui mimpi buruk tentu saja kasihan.
Aku tak pernah mengasihani diri sendiri!
Terdengar lagi suara itu terkikik keji. Kamu mau lari? Larilah tapi kamu tak akan pernah benar bisa-bisa meninggalkanku.
Luhung menjerit dalam mimpinya tapi suaranya tak mau keluar, ia meronta tapi tubuhnya tak mengikuti. Sejak kapan ini terjadi? Sekitar tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang belum mau terlupakan sedikit pun, sekalipun ia lari dan berlari meninggalkannya jauh di belakang.
"Hung, bangun." Tubuhnya diguncang-guncangkan.
Untunglah. Luhung terengah-engah.
"Mimpi buruk?" Bang Yadi yang membangunkannya. Dia tertidur di sekretariat Pencinta Alam di kampusnya.
"Iya, Bang."
"Mimpi di siang bolong katanya punya arti." Bang Yadi berkata dengan serius.
Luhung duduk bersandar, keringatnya bercucuran. Entahlah, Luhung berharap mimpi hanya bunga tidur.
"Abang perhatikan kamu sering mimpi buruk, Hung?" Dia bertanya lagi.
"Ntahlah, Bang. Mungkin posisi tidurku kurang bagus."
Bang Yadi menatapnya lama.
Mencari pembenaran kah aku akan kata-kataku? Luhung membatin.
"Ya udah, bikin kopi sana, biar mata kamu melek. Abang di depan sama yang lain."
Luhung menghela nafas saat Bang Yadi meninggalkannya. Dia beringsut ke dapur dan menyiapkan secangkir kopi sachetan yang selalu tersedia di bagpack-nya. Dia segera bergabung di teras sekretariat.
Apakah ini yang namanya pelarian? Keluarga baru yang selalu dia idamkan? Tidak! ini bukan sekedar pelarian, tapi bagian hidupnya. Tempat dia bisa tidur dengan nyaman tanpa merasa ketakutan walaupun dia kerap dihantui mimpi buruk.
Luhung duduk di sebelah Bang Yadi, mereka terlibat dalam pembicaraan biasa mengenai kegiatan lapangan sambil sekali-kali bersiul saat cewek-cewek fakultas MIPA melintas di depan sekretariat mereka.
Luhung menyeruput kopinya, rasanya ingin merokok. Dia melihat sekeliling, tidak ada pasukan pengomel cerewet yang kerap mengomeli mereka saat merokok di lingkungan sekretariat. Luhung mengambil rokok dalam bungkusan di tas Bang Yadi. Dia menjauh dari mereka mencari tempat untuk sendirian.
"Kemana?" Bang Yadi bertanya dengan mimik khawatir.
"Menyepi dulu, Bang." Guyonnya sambil beranjak.
Luhung mencari tempat di mana ia bisa menghirup nikotin beracun itu dengan tenang. Sudah lama Luhung tidak suka tempat sepi, namun entah kenapa, setiap tertidur dengan mimpi buruk ia malah takut keramaian.
Dia tak suka orang bertanya kenapa tiba-tiba dia jadi pendiam, bertolak belakang dengan kepribadiannya yang selama ini diciptakannya.
Kalau sudah begini, rasanya dia ingin melakukan kegiatan alam bebas, seperti rafting (Olah Raga Arus Deras) saja, kegiatan rafting yang basah biasanya dapat sedikit mendinginkan tubuhnya yang selalu terasa panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kedua (Completed)
RomanceLuhung kehilangan kedua orangtuanya sekaligus sejak remaja karena peristiwa pembunuhan tragis, membuatnya kehilangan dan tidak percaya perasaan manusia. Tapi di saat Neva datang menawarkan sebentuk hasrat yang murni, bagaimana dia dapat menolaknya...