14. Chapter 7.1 Terlalu Takut Tapi Terlalu Ingin

959 205 16
                                    

Apakah cinta itu usai?

Ah luar biasa sekali, pikirnya. Menyabet gelar gitaris terbaik lagi. Luhung tersenyum sejak tadi, tidak sabar menunjukkan piagam dan uang pembinaan itu ke ibu.

Ibunya itu, selalu mendukung dia, pokoknya the best woman ever lah. Padahal ayah selalu ngomel dengan kegiatan band-band Luhung yang katanya nggak penting dan nggak perlu. Ayah selalu membangga-banggakan anak tetangga yang sering ikut olimpiade sains.

Syukurlah ada ibu, lagian siapa juga yang betah belajar terus? Orang kan punya hobby dan keahlian yang berbeda. Kata ibu semua orang itu punya kelebihan dan kekurangan. Intinya sih, ya, kelebihan itu harus diasah agar berguna.

Jadi nggak cuma sekedar bisa ini dikit bisa itu dikit. Dia setuju sekali. Lagian ibu selalu ngebelain kalo ayahnya mulai ngomel dengan kebiasaan Luhung bermusik. Herannya, ayah nggak pernah menang kalo debat sama ibu, percuma deh ayah jadi wartawan, kutipannya kurang banyak. Luhung terkekeh.

Luhung membuka gerbang rumah, lho tumben mobil ayah ada? Pulang cepat sepertinya.

Remaja lelaki itu bersiul-siul. Baguslah ada ayahnya, dia bisa sekalian pamer, toh beberapa kali band Luhung memenangkan festival dan diundang tampil dengan bayaran lumayan. Luhung jadi bisa beli ini itu tanpa meminta pada ayah dan ibunya. Untuk ukuran sekelas siswa SMA udah lumayan.

Pintu terbuka, "Assalamualaikum." Luhung mendorong pintu hingga lebih terbuka.

Kenapa sepi? Gawat, ayah sama ibu tidur siang tapi pintu terbuka gitu?

Seperti rutinitas biasa, buka sepatu, buka tas, lempar. Berjalan ke dapur liat masakan. Wuah, udang saos, enakk.

"Buuu ... ibuuu ...." Luhung mulai memanggil-manggil ibunya.

Apa bener pada tidur siang? Ayah juga ke mana? Biasanya Ibu Luhung selalu nungguin anak semata wayangnya itu pulang, kalau jam pulang dia normal. Luhung menuju ke kamar orang tuanya.

"Ibu ... yah ...." Luhung membuka pintu kamar. Perasaannya mulai tak enak.

"Ibuuuuuu!!!!!!" Luhung berteriak histeris.

Ibunya tergeletak di lantai bersimbah darah. Luhung langsung kalap memeluknya. Tubuh wanita yang dicintainya itu lemah, Luhung menangis sejadi-jadinya. Ibunya membelai pipi Luhung lemah dan meminta dia untuk jangan menangis.

Luhung semakin gila saat melihat tubuh ayahnya pun terbujur kaku di kamar mandi. Seketika langit runtuh dan dunianya hancur.

Dalam sedetik ... Luhung bahkan belum sempat berpikir. Orang-orang berdatangan, sirine polisi memecahkan telinga. Kata-kata penghiburan seperti gema yang abstrak. Luhung menggigil gemetaran seperti orang gila yang hilang ingatan. Ibu yang dia sayangi dibunuh oleh ayahnya, ayah yang selalu dia kagumi dan cintai kemudian beliau bunuh diri. Itulah penjelasan tak masuk akal yang Luhung dapatkan. Dia menangis dan menangis, terus menangis selama bertahun-tahun.

***

Bisakah orang seperti aku mencintai? Bukannya darah hewan buas itu mengalir di tubuhku. Bertahun-tahun aku bertanya kenapa?

"Aku balik ke kantor dulu." Wanita di hadapan Luhung itu berkata.

Mauku apa, aku menghindar, tapi aku juga ingin menghampiri. Sepengecut itukah? Terdengar suara menggema si telinga.

"Kamu naik apa ke sini? Abang antarin."

"Nggak usah, deh."

Jangan memulai sesuatu yang akan kau akhiri secepat yang kau bisa. Mungkin itu arti tatapannya.

Dia bergegas tanpa sempat mendengar ucapan yang berikutnya. Apa arti pertemuan ini? Mungkin lebih baik kalau perempuan itu menolak saat di ajak bertemu.

Di dunia ini nggak ada yang terjadi secara kebetulan, sejak dulu Luhung tau keberadaan Neva. Sehari setelah Neva menginjakkan kaki di kota ini, kabar itu langsung sampai.

Luhung tahu, Neva akan menghadiri acara launching produk PT. Muara Segara, milik Bang John, ayahnya, dari daftar tamu. Dia yang selalu malas mengikuti acara seperti itu mendadak datang. Sebenarnya Luhung berharap bertemu, malam itu, dia telah melihat Neva. Tapi nggak ada keberanian, apalagi sepertinya wanita itu telah bersama yang lain.

Luhung mulai mengetahui Neva bekerja di Joni Setiawan & Associates dan dengan dalih ingin menemani wartawan magang, dia mencari Neva sampai ke acara konferensi pers.

Tak ada yang berubah, sama seperti dulu, dengan curang Luhung menukar pendamping di kelompoknya. Habis mau bagaimana lagi, mata polos itu buat Luhung jadi kepikiran. Mata polos itu membuat keberaniannya muncul, mata yang memancarkan kerinduan.

Kamu masih rindu aku bukan? Lagipula boneka harimau imut itu selalu buat aku tertawa. Terima kasih sudah kembali.

***

Menyebalkan, gerutu Neva. Walau begitu diam-diam Neva tersenyum. Manusia memang aneh. Sudahlah, mulai sekarang hadapi saja. Tapi Neva nggak akan biarkan hatinya hancur seperti dulu.

Kalau mau datang lagi, datang lagi saja dan dia nggak akan peduli, jadi kalau mau pergi lagi, pergi lagi saja. Simple.

Kalau mau datang, datang lagi sa---

"Ini pasti kerjaan si Luhung!"

Eh! Neva menoleh, kaget sekali mendengar nama itu disebut oleh Pak Alvian.

"Kenapa, Pak?" tanya Neva. Luhung?' salah dengar nggak dia?

"Cuma dia yang bisa bikin artikel sedetail ini, dia itu udah kaya tikus ndus sana ndus sini. Inisialnya aja ni yang lain. Tapi aku yakin ini campur tangan dia." Omel Pak Alvian lagi.

Istilah Bapak yang satu ini, memang selalu aneh-aneh.

"Lah, bapak kayak nggak tau dia aja, kesal si kesal, tapi memang dia gitu, pak. Makanya karir jurnalisnya menanjak," timpal Hamdi, admin kantor sambil tertawa melihat Pak Alvian yang gusar.

"Alah! Kau belain dia lagi, mentang-mentang kawan SMA-mu. Memang sempit kota ini."

"Ya iyalah, pak," jawabnya lagi.

"Heloooo ini pada bahas apaan, sih?" Neva tidak tahan untuk tetap diam.

"Oh ini, Va, Redaktur kolom politik Harian Cakrawala," jelas Hamdi. "Kamu mungkin nggak kenal, kamu kan new girl in town."

"Jangan ikut-ikutan kamu, Va, udah lama kesal aku di buat dia ini," kata Pak Alvian mencak-mencak.

"Luhung?" tanya Neva memastikan.

"Iya namanya Luhung," jawab Pak Alvian.

"Luhung, wartawan cakrawala?" tanya Neva lagi.

"Emangnya ada berapa Luhung yang kamu tau?" Pak Alvian berkata masih dengan nada gusar.

Kota ini memang sempit, pikir Neva.

"Bapak, jangan gitu pak sama si Luhung, bapak kan tau kisahnya tragis. Makanya dia kayak sekarang itu," kata Hamdi. "Lagian kenapa bapak ngomel sama Neva juga."

"Iya taulah aku, tapi mau gimana, sekali kesal ya kesal nggak ada hubungannya lah itu."

Tragis?

"Kenapa memangnya dia, Bang?" Neva tergelitik, jelas saja dia penasaran.

"Udah, udah kerja lagi." Omel Pak Alvian.

"Bapak ini juga yang mulai." Hamdi tertawa lagi.

Lha? Gimana sih? Neva melirik Hamdi yang mulai serius mengetik pekerjaannya lagi. Membuat penasaran saja.

***

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang