21. Chapter 10. 2 Untuk Waktu yang Hilang

810 158 2
                                    

Isia Ramadita, reporter TV Republik. Luhung beberapa kali pernah bertemu dia dalam event-event. Bagaimana cara mendekati wanita itu? Benarkah dia merupakan orang dekat Disioka, target mereka? Luhung berpikir, mendekati wanita? Mana mungkin dia bisa, dengan Neva saja butuh waktu lama. Tapi kalau memang informasi ini benar tentunya sangat penting mengawasi dia, skandal ini bisa menyeret Disioka.

Lamunannya terhenti, mendadak ia sadar sudah beberapa hari tak bertemu Neva. Apa dia samperin saja ke kantornya? Neva kemarin bilang kalau Prim telah kembali, sudah beberapa tahun tak melihatnya? Apakah dia masih gadis seperti dulu? Pastilah. Neva saja, sejauh ini tak berubah.

Malam ini, Luhung kebagian jadwal piket, mengantuk-ngantuk dia memeriksa akun media social milik Isia.

Besok coba aku ikuti saja dia, dia aktif di komunitas konservasi terumbu karang, pikir Luhung.

Luhung menelpon temannya yang ikut bergabung di komunitas itu dan infonya, minggu ini mereka akan mengadakan pertemuan, Luhung mendaftarkan namanya untuk ikut pertemuan tersebut.

Luhung pulang pukul 11 malam, dia membuka pintu dan tak sabar ingin segera melemparkan tubuhnya ke kasur. Dia kemudian melihat ada makanan di atas meja, senyum segera tersungging. Neva telah memiliki duplikat kunci rumahnya. Beruntung sekali kamu, Luhung. Melihat sup tulang itu perut Luhung segera berbunyi, dengan terkantuk-kantuk dia memanaskan sup dari Neva.

Setelah makan mendadak kantuknya hilang. Dia berbaring dan mengetik pesan, Thanks.

Singkat.

Kemudian Luhung berpikir apa nggak terlalu singkat? Harusnya tulis 'thanks atas supnya', lalu tambahkan embel-embel 'rindu'. Luhung tertawa.

***

Luhung bergegas menuju pantai panjang sore ini, ada pertemuan dengan komunitas Konservasi terumbu karang. Sekitar 30 orang tampak berkumpul, dia melihat temannya Roy dan melambaikan tangan. Roy mengenalkan Luhung dengan yang lain.

"Luhung!" Mendengar suara yang sangat familiar, dulu. Luhung menoleh.

"Reena!"

Reena mendatangi kemudian memukulinya habis-habisan. Seperti dulu, mengomelinya dengan kesal, sudah beberapa tahun mereka tak bertemu.

"Aduh! Udah donk, kamu masih kayak dulu tukang ngomel," ejek Luhung.

"Rasakan kamu, sampai mati kebiasaan ngomel ini nggak bakal hilang." Reena menyodorkan minuman kaleng ke Luhung dan mereka duduk di atas pemecah ombak. "Kamu apa kabar? Anak-anak pada kangen tuh."

"Yah ... beginilah." Luhung tersenyum. "Joe apa kabar?."

"Pengen ketemu tapi gengsi?" Reena balik bertanya, disambut tawa Luhung. "Dia masih sering banget nongkrong di sekretariat. Dan ... setiap ada kegiatan, aku dan dia sering janjian buat datang. Eh, tapi, kenapa kamu mendadak bisa ada di sini?"

"Memangnya nggak boleh? Cari aktivitas aja."

"Elaah seriusan? Aku dengar kabar, katanya kamu workaholic banget."

"Kota ini kecil yah ternyata, bahkan kabar mengenai aku pun santer ke kamu."

Percakapan mereka terhenti saat tiga orang anggota komunitas menghampiri dan bergabung.

"Kak Reena," panggil salah satunya.

Luhung melihat gadis ini umurnya sekitar 24-25? Tampaknya seumuran Neva. Entahlah Luhung sulit menebak usia seseorang.

"Haii," sahut Renna

"Looh ini kan?" dia melirik ke arah Luhung. "Luhung bukan?"

"Kamu kenal?" tanya Reena.

Rumah Kedua (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang