TIGA PULUH SATU

3.5K 353 63
                                    

Perempuan itu menatap sekali lagi penampilannya dari balik kaca, memastikan semua sudah sempurna, lalu menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan pikiran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan itu menatap sekali lagi penampilannya dari balik kaca, memastikan semua sudah sempurna, lalu menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan pikiran. Hari ini entah apa yang harus dia rasakan,  bahagia tapi juga ragu karena setelah sekian lama akhirnya pertemuan itu akan terlaksana. Dengan kilat Shira memasukan kembali alat make up-nya ke dalam tas, setelah itu keluar dari toilet. Kaki berlapis high heels itu mulai melangkah pasti, mengabaikan hatinya yang seperti akan meledak.

Ketika indra pengelihatannya menangkap sosok manusia yang entah sudah berapa tahun tidak dia jumpai, detik itu juga lututnya melemas. Ken Farrel Alandra, seseorang yang masih memiliki tahta tertinggi dalam hatinya. Mata Shira memanas, tubuhnya seketika mengigil, jika akalnya sudah menghilang pasti detik ini juga dia akan maju untuk menubruk tubuh Ken serta memeluknya kuat, tapi sayang itu semua tidak terjadi dan hanya menjadi sebuah ilusi semata.

Langkah kaki Shira semakin mendekat, dan untuk membuat hatinya tetap dalam keadaan normal perempuan itu mengambil banyak pasokan udara yang ada lalu menghembuskannya secara perlahan. Hanya cara itu yang bisa menenangkan dalam keadaan mendebarkan seperti ini.

Wanita paruh baya itu menengok, menyadari kehadiran Shira lalu mengangguk. Tangannya bergerak seolah mengajak menantunya untuk ikut bergabung di sana, masih dengan perasaan ragu dan tidak siap Shira menurut lalu ikut bergabung dengan keluarga yang tampaknya sedang berbahagia itu. "Selamat malam."

"Malam, Shira, silahkan duduk." Hanya Raya yang menyambutnya, wanita paruh baya itu tersenyum lalu menunjuk kursi tepat di samping sang putra. Shira tersenyum manis lalu mengangguk patuh, detik berikutnya suasana menjadi hening tanpa suara, hanya sorot mata yang saling berbicara satu sama lain.

"Ncus, aku mau pulang." Hening terpecah ketika gadis dengan dress selutut itu sudah turun dari kursi. Tangan mungil Kawa dengan paska menarik perlahan jemari sang pengasuh.

Shira ikut berdiri, netra-nya melirik rindu pada gadis yang ada di sebrang, sepertinya Kawa tidak menyukai kehadirannya di sini. "Biar saya saja yang pergi."

"Tidak." Raya ikut bersuara, sorot matanya yang tajam langsung menatap sang menantu yang akan melangkah. "Saya yang mengundang kalian ke sini, jadi duduklah kembali," lanjut wanita itu penuh penekanan membuat Shira akhirnya pasrah.

"Biar Kawa pulang sama saya." Kali ini lelaki itu yang bersuara.

"Farrel!" Bentak Raya ketika putranya sudah bangkit dan mengambil tangan kecil sang cucu .

"Anakku mau pulang," ujar Ken penuh tekanan.

Kawa menggeleng, melepaskan genggaman sang papa. "Aku nggak mau sama Farrel, aku mau sama Ncus."

Shira terdiam, menatap wajah Ken yang mengeras. "Kamu nggak mau dengerin perintah saya?"

"Apa-apaan kamu, Farrel!" Raya maju, menghempas kasar tangan anaknya yang akan menarik kasar jemari Kawa. "Ncus, bawa Kawa pulang sama pak supir, nanti saya dan Farrel biar nyusul."

Q U A L MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang