DUA PULUH DELAPAN

3.2K 361 34
                                    

Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya. Netra itu menelisik, mencari seseorang yang akan dirinya temui, dengan langkah anggun kaki jenjang itu bergerak, melewati beberapa meja yang sudah terisi, dan ketika wanita yang akan dirinya jumpai sudah terlihat, perempuan itu mempercepat langkahnya, menarik kursi lalu terduduk di sana.

"Sudah lama?" Tanyanya sambil menaruh tas kecil yang dirinya bawa ke atas meja.

Wanita paruh baya itu mendongak, lalu menaruh ponsel pintarnya. "Lumayan."

"Kamu semakin cantik dan sepertinya sudah tidak bodoh lagi." Raya menyeruput minumannya.

"Ken baik-baik saja?" Wajah cantik itu seketika sendu.

Raya tertawa. "Sepertinya saya salah, kamu masih saja seperti dulu."

"Apa Ken baik-baik saja?" Perempuan itu kembali mengulangi pertanyaannya.

"Hanya Ken? Kamu hanya menghawatirkan suamimu itu? Tidak dengan putrimu?" Alis wanita paruh baya itu terangkat.

"Mami," ujar perempuan muda itu penuh penekanan.

"Cucuku memang tidak butuh kamu, tapi setidaknya kamu peduli padanya." Raya menaruh cangkir minumannya di meja.

"Bagaimana keadaan Kawa?" Suara parau itu terdengar.

Senyum samar itu terpancar. "Mungkin dia merindukan kamu, tapi anak manis itu tidak pernah mengungkapkannya."

"Terima kasih, sudah menyayangi putriku sebanyak itu." Perempuan itu mendongak, menahan sesuatu yang sewaktu-waktu bisa menetes dari kedua bola matanya.

"Sudah sepantasnya begitu, karena sepertinya dari awal hanya saya yang menginginkan anak itu."

***

Suara tawa renyah memenuhi rumah minimalis berlantai dua yang terletak apik di tengah kota. Seorang gadis melompat sambil mengeluarkan seluruh mainan yang berada di dalam kardus. Siapa lagi kalau bukan Kawa, anak manis dengan sejuta tingkah lakunya itu sepertinya sudah mulai nyaman tinggal di Ibu Kota setelah kepindahannya dari Pontianak satu Minggu lalu.

"Tugasnya di selesaikan dulu dong, Kaw, mainnya nanti aja." Nana, pengasuh Kawa sejak bayi mulai berkomentar.

"Udah, tinggal menempel saja, aku nggak mau kayak yang Ncus suruh." Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyusun lego yang kemarin Raya belikan.

Nana terkekeh. "Biar Ncus aja yang menempel, boleh?"

"Iya, tapi aku harus lihat." Kawa memutar tubuhnya, mengawasi sang pengasuh yang mengambil alih tugas sekolahnya.

Q U A L MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang